Sebelum membaca lebih lanjut tulisan ini, pembaca diharapkan mempersiapkan segelas seduhan kopi asli yang dibuat dari biji kopi langsung dibeli dari petani (bukan kopi-kopian didalam sasetan yang berasal dari ampas kopi dimana pabriknya merugikan petani kopi lokal), ditemani dengan putaran lagu Homicide -- Siti Jenar Cypher Drive (agar pembaca bisa menikmati dan larut dalam kisah dibalik tulisan ini), dan jangan lupa untuk Iso Rumongso selama membaca tulisan ini sampai titik terakhir.
*
Setiap tanggal 16 November, Hari Toleransi Internasional dimeriahkan serta digaungkan diberbagai macam media baik media sosial, media cetak, maupun media elektronik lainnya. Beragam contoh kasus terkait dengan nilai-nilai toleransi serta kemanusiaan diangkat, dan dikampanyekan. Begitu juga contoh kasus hilangnya nilai-nilai toleransi, disebarluaskan, dan digaungkan agar masyarakat tahu mana yang harus diterapkan mana yang tidak harus diterapkan. Apakah itu semua perlu dilakukan? Lalu apa yang terjadi dengan hari setelah hari toleransi? Kembali bermusuh-musuhan dan kembali merasa paling benar, paling suci, paling cerdas, paling baik?
Berbicara toleransi maka tidak bisa dilepaskan dari kepekaan rasa dan sikap kemanusiaan yang secara alami terbentuk dari hati dan nurani, bukan dari tawaran jabatan atau momentum, atau tawaran pamor sekalipun (mengejar eksistensi). Seperti yang sekarang marak terjadi. Tidak sedikit gerakan-gerakan yang atas nama kemanusiaan, hak asasi manusia, cinta kasih, peduli manusia, bermunculan dan bisa ditemui dimanapun. Manusia punya hak yang sama, katanya. Nyatanya, tidak sedikit ada gerakan atau organisasi yang hanya berpihak pada sekumpulan orang saja, tidak merata, dan mengundang banyak tanya. Apakah toleransi dan kemanusiaan hanya diposisikan pada sebagian orang saja? Bukankah itu diskriminasi bagi orang yang tidak mendapatkan "pelayanan toleransi"? Atau mungkin organisasi atau gerakan-gerakan tersebut adalah bayaran, yang tidak murni dari "hati" dan "kesadaran diri"?
Banyak sekali yang bermunculan pada hari-hari tertentu, baik itu Hari Toleransi maupun hari besar lainnya. Kritis memang, tapi hanya dihari itu saja. Kapan lagi bisa menjual isu dihari besar, dengan timbal balik dikenal publik, nama terkenal, eksistensi merebak, popularitas meninggi, masa bodoh dengan kejujuran dan kemurnian, membuat rumah yang indah dipandang, tak penting dengan dalamnya yang penuh kebusukan.
Berkaca melalui puisi Gusmus berjudul "Negeri Haha Hihi", terdapat kalimat "Kalian jual janji-janji untuk menebus kepentingan sendiri, kalian hafal petatah-petitih untuk mengelabui mereka yang tertindih", sangat relevan dengan kenyataan saat ini. Baik di Hari Toleransi, Hari Kartini, dan hari besar lainnya, tidak sedikit kalimat manis dilemparkan oleh mereka-mereka yang teriak atas nama kemanusiaan, hak asasi manusia, dan sebagainya. Berbicara toleransi, toleransi kepada siapa? dan yang mana? Berbicara hak asasi manusia, manusia yang mana? Tidak sedikit fakta dilapangan berbeda jauh dengan "omongan manis" tersebut.
Menjadi Tanda Tanya Besar
Ada yang terang-terangan mengklaim dirinya Aktivisme, Sosialisme, Feminisme, Anarkisme, Naturalisme, Agamaisme, dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang sembarang membawa nama-nama orang lain menjadi bagian dari mereka-mereka. Lucunya, "Isme" yang mereka tempelkan pada dirinya dan diri orang lain, terkadang tidak kontekstual dan mengundang banyak tanya berdasarkan fakta-fakta dilapangan.
Sebagai contoh kasus, ada kelompok yang menamakan dirinya "Feminis" dan menyuarakan "Penghapusan gerbong wanita" berdasarkan bahwa adanya gerbong tersebut membuat perempuan seakan-akan lemah lalu dikhususkan gerbongnya untuk agar tidak terjadi apa-apa. Pertanyaannya, toleransikah "feminis" ini kepada nenek-nenek yang tua renta lalu nyaman tidur digerbong wanita sehabis berjualan kue disekitaran stasiun? lalu bagaimana dengan ibu yang menggendong bayinya yang tertidur lelap dan nyaman dalam gerbong wanita? Belum lagi pemikiran mereka yang "laki-laki jangan membantu perempuan menyebrang jalan raya, karena itu sama saja melemahkan perempuan". Bukankah sesama manusia harus saling membantu dan menolong siapa saja dimana saja berdasarkan hati nurani? Lalu bagaimana dengan perempuan yang kesulitan menyebrang, apakah kita harus "individualisme"? Toleransikah para "feminis" ini dengan hal-hal yang demikian? Atau toleransinya hanya ditujukan pada kelompoknya dan yang sepemikiran saja?
Contoh kasus yang lain, ada kelompok yang memposisikan dirinya diranah "agamaisme" dan gencar meneriakan toleransi terhadap umat beragama dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Nyatanya, nilai-nilai tersebut hanya berhenti di kelompok mereka sendiri atau yang sepaham dengan mereka. Yang berbeda agama, berbeda keyakinan, berbeda pandangan, tak perlu di tolerir. Maka timbul pertanyaannya : atas nama kepentingan bersama, atau ada niat terselubung dibalik lahirnya kelompok tersebut?
Mungkin para pembaca juga menemukan banyak "kejanggalan" dilingkungan maupun diluar rumah pembaca, yang berkaitan dengan toleransi maupun nilai-nilai kemanusiaan.
Teringat dengan puisi Gusmus berjudul "Amplop-amplop Di Negeri Amplop". Ada kalimat yang menarik : "Amplop-amplop dinegeri amplop mengatur dengan teratur. Hal-hal yang tak teratur menjadi teratur, hal-hal yang teratur menjadi tak teratur." Kalimat ini mungkin bisa dikaitkan dengan konteks "Mendadak Toleransi". Ada banyak acara dan kegiatan-kegiatan yang berlangsung yang bertemakan Toleransi dan Kemanusiaan, tapi ketika diselidiki mendalam acara tersebut adalah untuk menaikan popularitas panitia acara. Ada juga yang setelah diselidiki secara mendalam, acara tersebut disokong dana oleh kegiatan partai politik atau organisasi tertentu yang mempunyai misi tersembunyi, dimana merangkul masyarakat banyak dan setelah acara selesai, pelan tapi pasti visi misi tersembunyinya disuntik kedalam pemikiran masyarakat yang awam. Permainan, sangat permainan.
Kembali Menjadi Manusia Yang Mengedepankan Hati
Ada begitu banyak "isme" bertebaran dan disebarkan oleh mereka yang menyatakan dirinya sebagai "aktivisme", bahkan senang diberi label demikian. Begitu banyak juga teori-teori dari isme-isme tersebut mulai diajarkan baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, kepada pelajar dan masyarakat awam yang bisa dikatakan "sedang dicuci otaknya". Namun tetap saja, teori yang tidak kontekstual dan bertabrakan dengan "perasaaan nurani" tak akan ada gunanya dan selalu akan bisa dipatahkan oleh mereka-mereka yang mengedepankan hati nurani.
Berbicara mengenai toleransi dan kemanusiaan, hal ini harusnya dijiwai dan diberi ruh oleh hati nurani, bukan dengan metode "materialisme" dimana semua-semuanya dijalankan oleh akal namun dampaknya menimbulkan tanda tanya besar di dalam nurani. Semua isme-isme itu adalah bentukan dari akal manusia, tidak murni karena sejarah lahirnya belum tentu memakai hati nurani. Tidak heran banyak kelompok yang ditolak kelompok lain hanya karena metodenya yang tidak memakai hati, walau tujuannya sama, berbuat baik.
Tidak perlu menjadi Sosialisme, Naturalisme, Agamaisme, Feminisme, Anarkisme, dan isme lainnya yang teorinya belum tentu kontekstual dan sesuai. Karena selain diberi akal, manusia juga diberi hati, nurani, kalbu, rasa, dimana peran-peran dari ini semua adalah cinta, kasih sayang, iso rumongso, tepa salira, saling peduli dan saling mengayomi. Ada tidak adanya isme dan teori-teori tersebut, manusia pada dasarnya mahluk yang peka dan tinggi rasa nuraninya, sehingga untuk bertoleransi dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan tidak perlu teori ini itu dan tidak perlu mengkotak-kotakan dirinya jadi bagian dari ini, atau bagian dari itu. Jangan sampai niat tulus pribadi bertoleransi dan berperikemanusiaan, dimanfaatkan oleh mereka-mereka yang ingin organisasinya terkenal maupun ingin menghasilkan uang dari program-program yang mereka buat.
Timur Jakarta, 17 November 2017
Mascuppp
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H