Tahukah kamu bahwa untuk membuat satu kaos katun dibutuhkan sekitar 2.700 liter air? Jumlah ini setara dengan air minum yang cukup untuk satu orang selama 2,5 tahun!Â
Bayangkan, sebanyak itu air hanya untuk satu kaos saja.Â
Fakta ini menunjukkan betapa besarnya dampak industri tekstil terhadap lingkungan, terutama jika tidak dikelola dengan bertanggung jawab.Â
Fakta tersebut diungkap oleh parlemen Eropa melalui www.europarl.europa.eu (2020), yang menunjukkan ancaman besar kerusakan lingkungan dari industri tekstil yang tidak bertanggung jawab.Â
Limbah Tekstil: Masalah Global yang Mendesak
Limbah tekstil bukan hanya soal pakaian yang tidak terpakai, tetapi juga soal ancaman terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Contohnya, di Ghana, pakaian bekas dari negara-negara Barat diimpor dalam jumlah besar dan disebut "obroni wawu" yang artinya "pakaian orang kulit putih yang sudah meninggal."Â
Sayangnya, sebagian besar pakaian ini berakhir menjadi sampah karena tidak terjual atau terpakai. Sampah tersebut sering menyumbat saluran air, menyebabkan banjir di perkotaan, dan meningkatkan risiko penyakit bagi warga.Â
Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh moderndiplomacy.eu (2024). Kondisi seperti ini bukan hanya terjadi di Ghana. Industri tekstil secara global, yang didorong oleh tren fast fashion, menghasilkan banyak polusi, menguras sumber daya alam, dan memicu emisi gas rumah kaca. Menurut Sugihartono (2024), limbah tekstil menyumbang tantangan besar bagi lingkungan dan kehidupan sosial ekonomi di seluruh dunia.Â
Peran SDGs dalam Mengatasi Limbah Tekstil Masalah limbah tekstil ini terkait langsung dengan beberapa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).Â
Dengan pengelolaan yang lebih baik, kita bisa mengurangi dampak buruknya dan mendukung tujuan berikut:Â
- SDG 6: Air bersih dan sanitasi.Â
- SDG 12: Produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab.Â
- SDG 13: Penanganan perubahan iklim.
Artinya, mengelola limbah tekstil bukan hanya baik untuk lingkungan, tetapi juga membantu menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan.Â
Sampah Tekstil di IndonesiaÂ
Di Indonesia, industri tekstil juga menghadapi berbagai tantangan. Beberapa tahun terakhir, terjadi kasus seperti:
- Hancurnya ekonomi Pasar Tanah Abang, salah satu pusat perdagangan pakaian terbesar di Indonesia.Â
- Tutupnya pabrik SRITEX di Solo, pabrik tekstil legendaris yang pernah berjaya.Â
- Banjir produk tekstil impor dengan harga murah, yang membuat produk lokal sulit bersaing.Â
- Problematika impor sampah tekstil, yang menambah beban lingkungan.
Sederet fakta ini menunjukkan bahwa persoalan limbah tekstil di Indonesia tidak bisa dianggap remeh.
Industri tekstil lokal membutuhkan dukungan kebijakan yang kuat untuk melindungi pasar domestik sekaligus mendorong pengelolaan limbah yang lebih bertanggung jawab.Â
Melirik Cara Negara Maju Mengelola Sampah TekstilÂ
Pada dasarnya, negara-negara maju juga belum benar-benar mampu mengolah limbah tekstil dengan efektif.Â
Hal ini tercermin dalam publikasi parlemen Eropa yang mencatat rata-rata orang Eropa menggunakan hampir 26 kilogram tekstil dan membuang sekitar 11 kilogram setiap tahun.Â
Pakaian bekas yang tak terkelola diekspor ke luar UE, dan sebagian lainya dibakar atau dibuang ke tempat pembuangan akhir. Meski demikian, telah muncul berbagai cara untuk mengatasi limbah tekstil.Â
Seperti yang dilakukan oleh sebuah perusahaan Swedia yang mengembangkan fasilitas daur ulang limbah tekstil yang efektif, yang diyakini sebagai yang pertama di dunia (voaindonesia.com, 2023).Â
Perusahaan ini bernama Swedish Innovation Platform for Textile Sorting (SIPTEX) yang dapat memilah hingga 4,5 ton limbah tekstil per jam dengan memanfaatkan cahaya inframerah.Â
Selain itu, negara-negara Eropa mengembangkan kebijakan pengelolaan tekstil yang berkelanjutan dan sirkular. Hal ini sejalan dengan UNEP (Program Lingkungan PBB) yang bekerja untuk membantu pemerintah mengatasi masalah besar di industri tekstil.
Salah satunya lewat Dialog Kebijakan Tekstil Global, tempat mereka berbicara soal bagaimana cara mengurangi produksi dan konsumsi pakaian yang berlebihan (unep.org, 2024).Â
Selain itu, UNEP juga mendukung negara berkembang dan UKM untuk lebih banyak mendaur ulang pakaian dan menghilangkan bahan kimia berbahaya yang ada di produk tekstil.Â
Semua upaya ini didorong oleh data dan bukti yang kuat, untuk memastikan setiap keputusan yang diambil bisa memberikan dampak positif bagi lingkungan.Â
Sedemikian kompleksnya masalah limbah tekstil, bukan tidak mungkin 5-10 tahun mendatang limbah tekstil tersebut menyumbat saluran pipa anda karena tak tertangani dengan baik. Maka menjadi tanggungjawab kita Bersama untuk mengelola limbah tekstil pribadi dengan baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya