Mohon tunggu...
Agung Santoso
Agung Santoso Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti isu - isu kemanusiaan.

Tertarik dengan isu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan / Sustainable Development Goals (TPB/SDGs)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menerangi Senyum Samar "Raja Jawa"

27 Agustus 2024   13:04 Diperbarui: 27 Agustus 2024   13:07 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lebih baik beliau marah-marah, karena lebih berbahaya orang Jawa bila diam." -- kutipan dalam Buku Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya.

Baru-baru ini, istilah "Raja Jawa" mencuri perhatian publik setelah dilontarkan oleh Bahlil Lahadalia dalam Musyawarah Nasional (Munas) XI Partai Golkar di JCC, Jakarta, pada 21 Agustus 2024 (Tempo.co, 2024). 

Istilah ini memicu gelombang reaksi---kecaman, kontra, kritik, dan koreksi---yang memenuhi headline media-media nasional. 

Perdebatan ini menggambarkan sensitivitas istilah tersebut dan bagaimana sejarah serta budaya dapat menjadi bahan diskursus politik yang kompleks.

Jejak Sejarah di Balik Istilah 'Raja Jawa'

Istilah "Raja Jawa" memiliki akar historis yang mendalam, seperti yang tercatat dalam kitab-kitab lama seperti Pararaton dan Negarakertagama. 

Tokoh-tokoh seperti Ken Angrok, Airlangga, Brawijaya, Raden Fatah, Sultan Hadiwijaya, dan Sultan Agung adalah contoh pemimpin bersejarah yang termaktub dalam kedua kitab tersebut. 

Mereka mencerminkan kepemimpinan dan kebijaksanaan yang membentuk sejarah Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun