Sore itu tiba-tiba ada pengumuman lewat pengeras suara di masjid. Juga lewat pamflet-pamflet yang tersebar di berbagai tempat. Isi pengumuman itu; Kyai Jamil hendak membuka kembali pengajian rutin yang telah ia tinggalkan selama ini. Berita itu disambut gembira dan antusias oleh masyarakat. Kabar itu seakan membangkitkan kembali kerinduan mereka akan petuah-petuah sang kyai yang menyejukkan. Ternyata pendekatan yang dilakukan Kang Mahfud tidak sia-sia. Ia berhasil membujuk Kyai Jamil mau mulang ngaji seperti dulu. Ia juga yang jadi sponsor pelaksanaan kegiatan majlis taklimnya Kyai Jamil.
Sehabis subuh jelang pengajian dimulai, jamaah dari berbagai daerah datang berduyun-duyun. Mereka seperti hendak menumpahkan rindu setelah sekian lama kehilangan sosok kyai yang telah menuntun mereka menuju perubahan hidup menjadi lebih baik. Yang telah memberi inspirasi pada sikap dan cara mereka dalam memahami hakekat hidup.
Walaupun masyarakat sangat merindukan suasana seperti dulu pada kyai idolanya itu, perubahan tetap tidak bisa dihindari. Kali ini pengajian tidak diselenggarakan di musala yang sedang direnovasi menjadi masjid, tapi di rumah kyai yang cukup mewah untuk ukuran masyarakat sekitar. Rumah yang dibangun hanya dalam hitungan bulan itu tak ubahnya seperti istana.
Para jamaah sudah tak sabar menunggu Kyai Jamil keluar dari kamarnya. Sekitar pukul setengah enam, Kyai Jamil muncul dengan menenteng kitab di tangan kirinya dan tak lupa tangan kanannya membawa lampu teplok. Mungkin ia ingin mengobati kerinduan jamaahnya dengan tetap membawa lampu teplok, meski cahaya lampu di rumahnya cukup terang.
Sesaat setelah duduk dan mengucapkan salam, ia mulai membuka kitab. Kitab baru rupanya. Bukan Tafsir Jalalain, seperti yang biasa ia baca. Tapi tafsir terjemahan terbitan baru. Aroma yang muncul dari baju yang dikenakan kyai juga menjadi sesuatu yang baru bagi para jamaah. Kang Mahfud, sang sponsor, duduk bersila di samping sahabat karibnya itu. Ia yang menyalakan lampu teplok sebelum pengajian dimulai.
“ Prang!!!”. Tiba-tiba seekor kucing berlari menabrak lampu teplok, memuntahkan minyak lampu dan dalam sekejap apinya membakar tempat itu. Kang Mahfud meraih Kyai Jamil dan menyelamatkannya. Sementara jamaah yang lain berhamburan keluar menyelamatkan diri. Kobaran api itu begitu dahsyat hingga melumat habis Rumah Kyai jamil. Rumah senilai milyaran rupiah itu ludes dilalap api.
Semua tertunduk lesu menyaksikan kemarahan api yang melahap habis rumah Kyai Jamil. Setelah api bisa dipadamkan, Kang mahfud menemani Kyai Jamil menuju puing-puing rumah untuk mengais barang-barang yang mungkin masih bisa dimanfaatkan. Sepertinya tak ada yang tersisa, selain lampu teplok yang masih bisa digunakan dan sebuah almari kuno, kenang-kenangan waktu masih di pesantren.
Perlahan Kyai Jamil melangkah, ditemani Kang Mahfud, mendekati almari kuno yang menjadi salahsatu benda terselamatkan dalam peristiwa nahas itu. Airmata Kyai Jamil menetes membasahi pipi penuh kesedihan. Ia kemudian memberi isyarat kepada karibnya untuk membuka almari kuno itu. Dengan sedikit gemetar Kang Mahfud membuka almari yang sangat dikenali itu.
Tak disangka ternyata almari itu berisi Kitab Tafsir Jalalain, kupluk beirut, baju serta sarung yang dulu biasa dipakai Kyai Jamil. Hanya benda-benda itu yang tak tersentuh oleh api. Benda yang bertahun-tahun telah memberi pelajaran berharga bagi jamaahnya tentang makna kesahajaan dalam hidup. Benda-benda yang sesungguhnya telah menghidupi dan menerangi jalan hidup Kyai Jamil menjadi lebih qana’ah, sumeleh dan nrima ing pandum.
Kyai Jamil tertegun. Ia baru menyadari kekhilafannya memutuskan meninggalkan umat demi godaan materi yang ternyata menipu dan tak mendatangkan kebahagiaan hakiki.
Sesaat kemudian ia menoleh ke balakang. Dilihatnya para jamaah pengajiannya masih terpaku seakan tak percaya atas apa yang terjadi. Dia begitu terharu atas kesetiaan mereka terhadap dirinya. Kesetiaan yang menjadi penanda, mereka lebih mampu menerapkan nilai-nilai yang diajarkannya.