“ Dan yang lebih aneh, ngajinya juga hambar. Nggak ngena di hati”, imbuh Samsul yang nggak pernah absen nongkrong di warung Cak Sidik.
Ia termasuk orang yang paling kecewa dengan perubahan yang terjadi pada kyai Jamil. Kearifannya tak lagi nampak dari sikap dan cara dia menyampaikan petuah-petuahnya. Pesonanya pun mulai memudar. Aura yang selalu memancar dari raut wajahnya yang teduh, perlahan surut seperti ditelan senja.
Semua perubahan itu tetap disesali walaupun di sisi lain ada sesuatu yang positif. Musala yang sudah uzur dimakan usia, kini telah disulap Kyai Jamil menjadi masjid.
Walau baru mulai dibangun, masjid itu akan menjadi yang terbesar di daerah kaki gunung Merapi, setidaknya bila melihat maket dan gambar yang terpampang di balai desa. Rumah Kyai Jamil juga telah berubah total. Termasuk penampilan kyai sehari-hari.
Semua berubah. Lingkungan sekitar juga kecipratan berkah pembangunan yang dananya bersumber dari orang asing yang sering bertandang ke rumah Kyai Jamil. Tapi perubahan itu tetap tidak diamini oleh sebagian besar jamaah beliau. Hanya sebagian kecil saja yang beranggapan, perubahan itu sebagai hasil dari apa yang selama ini ditanam oleh Kyai jamil.
“Menurutmu, perubahan drastis ini pertanda apa, Cak?”, tanya Pak Agus pada Cak Sidik. Pak Agus sebenarnya termasuk orang yang melihat perubahan itu dari sisi positif. Cuma karena banyak orang yang menyayangkan hal itu, ia jadi ingin tau, apa yang sebenarnya terjadi.
Cak Sidik hanya diam menggeleng. Ia sebenarnya tak peduli dengan apa yang sedang terjadi. Ia hanya menyesal warungnya tidak lagi seramai dulu. Sepi, seiring dengan vakumnya kegiatan pengajian Kyai Jamil. Pengajian yang diselenggarakan kini jauh berbeda dari biasanya. Pengajian hanya diselenggarakan selapan sekali. Belum lagi jamaah yang datang, orang-orang asing yang tak mereka kenal, terkesan ekslusif dan menutup diri.
Jamaah setianya yang dulu rutin mengikuti pengajian, satu per satu pergi meninggalkan kyai pujaannya. Sebagian dari mereka memilih ngaji sama Kang Mahfud, yang sekarang menyempatkan ngaji seminggu sekali di rumahnya.
Semua telah berubah. Penampilan Kyai Jamil 180 derajat berubah menjadi sosok kyai kota yang necis. Walau pakaian yang dikenakan tidak terlalu pantas, ia nampak tetap menikmatinya. Ia juga tak terlalu risau dengan perubahan sikap masyarakat terhadap dirinya. Juga mereka, para jamaah majlis taklim yang meninggalkan dirinya. Toh dia kini punya komunitas baru yang telah memberi banyak gelimang materi, yang tak pernah ia dapat sebelumnya. Bahkan pada perkembangannya, rumahnya lebih sering dipakai kumpul orang-orang asing itu. Sedang kegiatan ngajinya lebih banyak dilakukan di luar. Dari mobil yang datang menjemputnya, pengundang kegiatan ngaji Kyai Jamil datang dari jauh.
Rupanya perubahan tidak hanya terjadi pada Kyai Jamil. Kang Mahfud, si kernet angkot yang juga teman sejawat Kyai Jamil waktu di pesantren, mendadak berubah. Ia kini menjadi idola baru bagi masyarakat sekitar sejak membuka kegiatan majlis taklim di rumahnya.
Kegiatan ngajinya tiap pekan lambat laun berkembang pesat. Tapi ada yang tak berubah dari dirinya. Ia tetap sosok yang santun dan rendah hati. Yang paling mengagumkan adalah sikap dia terhadap Kyai Jamil. Ia mencoba bersikap bijak terhadap apa yang sedang terjadi pada karibnya waktu di pesantren itu. Saat banyak orang meninggalkan Kyai Jamil, ia menjadi satu-satunya orang yang rajin nyambangi dan tetap bergaul baik dengannya. Entah apa yang dibicarakan dua sejawat itu manakala sedang berbincang. Menurut rumor, Kang Mahfud sedang mendekati Kyai Jamil untuk kembali mulang ngaji seperti dulu.