Hal yang sudah lumrah terjadi, harga-harga barang tidak terkecuali harga kebutuhan pokok dan transportasi, biasanya jika sudah terlanjur naik maka sulit sekali untuk turun, berbeda jika terjadi kenaikan harga BBM, maka pedagang cepat sekali merespon dengan menaikkan harga dagangannya dengan alasan harga BBM naik. Tapi jika harga turun mereka tetap keukeh tidak menurunkan harga barangnya dengan berbagai macam alasan: masih stok lama lah, ongkos angkutan yg tetap lah dan lain sebagainya.
Hmmm... Bayangkan jika dikalkulasi kebutuhan BBM dalam setahun 1.294.000 barel dengan 1 barel sebanyak 159 liter, maka jika dikali 365 hari, kemudian dikali dana pungutan premium sebesar Rp350 tiap liternya untuk premium dan Rp. 1050 tiap liternya untuk solar, ditambah lagi hasil dari pencabutan subsidi BBM yang sudah "dinikmati" pemerintah selama ini, ditambah lagi penghematan yang diperoleh Pertamina sebesar lebih dari US$ 1 per liter sejak pengadaan BBM dan minyak tidak lagi dilakukan melalui PES, anak usaha Petral yang beroperasi di Singapura. Maka percepatan pelunasan hutang luar negeri yang menggrogoti kekayaan alam Indonesia tapi memperkaya pihak asing itu bukan MUSTAHIL akan SEGERA terwujud. Apalagi dilansir dari beberapa situs berita yang dapat dipercaya, bahwa diperkirakan tren penurunan harga minyak mentah dunia akan terus berlanjut hingga beberapa tahun mendatang, hal ini tentu saja memperpanjang durasi pemerintah dalam memanfaatkan momen ini.
Jika sudah begini kenyataannya, apa salahnya jika kita bergotong royong memikul beban hutang negara tersebut, supaya tidak lagi dirasakan oleh anak cucu kita, toh kita sudah menyesuaikan diri dengan harga premium saat ini dan sudah terbiasa, ini semua untuk kita juga, semoga jika hutang negara kita sudah lunas, APBN kita tidak perlu lagi terbebani bunga yang segunung itu.
Demikian usul dari salah seorang warga negara Indonesia yang tidak ingin anak cucunya kelak, kehilangan kebanggaan terhadap bangsanya karena tidak ada lagi yang bisa dibanggakan, sebabnya Negerinya sudah digadai oleh Pemimpinnya dengan terus menerus berhutang sehingga tidak mungkin lagi bisa terbayar, karena kekayaan negerinya sudah habis untuk membayar bunga rentenir asing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H