Lucunya, sebagian orang tua merasa bangga karena telah mampu menjadikan si anak tidak bergerak lincah, yang menurutnya dapat berakibat kurang baik dengan cara menakut-nakuti sejak si anak berusia balita. Bahkan di dalam dirinya seakan terukir dan terbersit suatu keberhasilan karena telah dapat menjadikan sang anak diam tidak membuat kerusuhan. Padahal, jika kita tinjau secara psikologi, tindakan semacam itu bukanlah yang tepat. Walau dalam diri orang tuanya seakan telah berhasil, tetapi tanpa disadari yang sesungguhnya adalah kegagalan yang diperolehnya.Â
Lantas..., apa efek negatif yang bakal timbul akibat dari tindakan yang diperbuat itu? Tidak adakah cara-cara lain yang lebih menyentuh dan mendidik untuk menyikapi sikap anak yang sedang tumbuh dan berkembang itu? Untuk kepentingan ini, kiranya akan terdapat beberapa efek dan siasat mengakhirinya.Â
Anak Menjadi Minder dan Penakut
Bagi sebagian orang atau masyarakat yang kurang memahami perkembangan anak balita, maka cara meredakan kegaduhan buah hatinya sebagaimana dikemukakan bagian sebelumnya, itu dianggap sudah cukup benar. Padahal, itu mutlak salah. Tanpa disadari, reaksi yang ditimbulkannya sangatlah fatal. Dengan cara menakut-nakuti, si anak akan merasa minder.Â
Minder merupakan gejala jiwa yang terselubung dalam diri si anak karena dia menganggap dirinya lebih rendah daripada orang lain, sehingga tidak mampu berbuat apa-apa. Hal itu dapat kita temukan di dalam kehidupan. Manakala si anak tersebut kita minta melakukan sesuatu, yang menurut kita itu hal biasa saja, maka dengan serta merta dia menolak permintaan itu dengan alasan tidak bisa atau tidak mampu. Juga tidak tertutup kemungkinan, saat itu dia langsung menjawab, "Saya gak bisa itu, minta buat sama orang lain aja, anak itu lebih pandai! "
Begitu juga dengan penakut. Gejala jiwa ini lebih parah daripada minder. Si anak bukan saja merasa kurang atau tidak mampu dalam berbuat tapi rasa takut yang menyelimutinya. Misalkan saja ketika kita minta tolong ambil HP di kamar saat senja atau kamar agak gelap jika tidak dihidupkan lampu. Dengan spontanitas suruhan itu ditolak mentah-mentah. Katanya, "Gak mau tu, adek takut gelap ada hantu nanti! " Padahal, saat itu kita hanya di luar dinding kamar tersebut tapi begitulah kejadiannya.Â
Apa yang diungkapkan itu, kedua jawaban itu bukanlah suatu olok-olokan. Akan tetapi, hal tersebut semata-mata disebabkan rasa minder dan rasa takut yang telah mengelabuinya akibat ditakut-takutinya. Yang paling mengecewakan penyakit terpuruk ini akan berkelanjutan sampai si anak mencapai usia remaja bahkan dewasa sekalipun.Â
Menjadikan Generasi Kurang Kreatif
Pepatah jadul pernah mengemuka. Bahwa gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Bayangkanlah, dengan gara-gara menghantuinya sejak balita, maka timbul minder dan takut. Tumbuh kembangnya rasa minder dan takut akan berdampak pada kreativitasnya. Apabila si anak akan berbuat sesuatu sesuai dengan aturan atau petunjuk, maka ia akan merasa terbebani. Menjalankan yang sudah tertata saja susah, apalagi untuk menciptakan yang belum ada. Ini suatu mala petaka baginya. Memahami yang sudah termaktub saja kurang mampu apalagi untuk menciptakan yang belum ada.Â
Tidak Mandiri dalam Kehidupan
Di dalam kehidupan, mandiri itu sangat menentukan. Dengan tertatanya sikap mandiri, maka hidupnya lebih leluasa karena tanpa terikat dengan bantuan orang atau pihak lain. Namun, bila jiwa minder, takut, dan kurang kreatif selalu terbelenggu dalam dirinya, jangan berharap anak tersebut akan selalu mandiri sepanjang hidupnya. Apapun pekerjaannya yang mesti diselesaikan secara mandiri tidak bisa terwujud dengan baik. Hal ini tidak terlepas daripada kiprah yang disandangkan kepadanya saat balita. Dengan demikian, seringan apa pun tugas yang bakal dihadapinya harus selalu bergantung pada pihak lain.Â