Rasanya cukup jelas bukan? Bahwa di dalam pertumbuhan dan perkembangannya, pendidikan dan pembelajaran yang positif adalah suatu keniscayaan yang tidak boleh diabaikan. Keunikan, kebenaran, kepercayaan, dan keberanian serta kesenangan harus senantiasa diungkapkan bagi mereka.
Dengan demikian, perjalanan hidup mereka akan terus mengalir pada alur yang benar tanpa dipengaruhi oleh hal-hal negatif terhadap moral dan mentalnya.Â
Hari demi hari, sang anak terus saja dapat mengerti cakapan orang tuanya dan orang-orang lain ketika bersamanya. Nada suruhan dan larangan sebagai pilar utama pendidikan keluarga, sedikit demi sedikit kian dapat dipahami dan diikutinya. Apalagi kedua pilar tersebut datang dari orang tua tercintanya. Namun, yang namanya balita disertai dengan egonya yang masih cukup tinggi, adakalanya suruhan itu dimaknai larangan.
Demikian sebaliknya, larangan kadang-kadang dianggap suruhan. Fenomena itu tak jarang membuat kita ketawa terkekeh-kekeh atau juga geram terhadapnya.Â
 Di sela keharmonisan dan kedamaian, tak disangka yang namanya balita sering membuat tingkah, yang menurut perhitungan orang tuanya atau lainnya dapat berakibat kurang baik bahkan bakal menjadi mala petaka baginya.
Gelagat tersebut secara spontan mendapat reaksi pengasuhnya itu, sekaligus melarangnya. Namun, apa yang dilakukannya? Bagaimana cara yang digerakkan guna mengantisipasi kekeliruan sang anak di saat itu?Â
Saat itu pula sang orang tuanya menyatakan, "Dek...dek..., jangan...jangan buat itu, jangan ke situ, tu ada ma'op. Hayoooo...ada ma'op, mamak takut iiiiih ngeri. Sini...cepet! "Â
Larangan yang berwujud pendidikan atau pembelajaran seyogianya tidaklah dengan menakut-nakuti buah hatinya seperti itu. Ibunya melarangnya dengan suatu bayangan yang menakutkan seperti itu, yaitu dengan kata ma'op (bahasa Aceh) atau hantu. Anehnya, jika kita tanyakan bagaimana bentuk dan wujud hantu itu, ibunya pun tidak tau, tapi itu dianggap suatu solusi yang ajaib untuk mengubah perilaku anak
Budaya larangan balita lainnya yang dianggap mustajabah adalah dengan sosok pencuri atau figur penculik serta orang gila. Kalau saja si anak dengan serta merta mau keluar rumah dan lari ke arah jalan misalnya, sang orang tua atau keluarganya segera mengekang si anak tersebut dengan salah satu istilah dinaksud (pencuri, penculik, atau orang gila). Ditambah lagi dengan hentakan atau gertakan lainnya. Akhirnya, si balita tersebut mau tidak mau, suka tidak suka terpaksa mundur menuruti larangan tersebut.Â
Selain itu, di saat musim hujan tentu banyak air yang tergenang di mana-mana, termasuk di saluran tersier (parit jalan) atau juga dalam irigasi. Itu pun tidak jarang sang balita mendapat teguran dan bahkan cegahan menakutkan, sehingga keinginan untuk mandi sekaligus berenang di air tersebut terpaksa diurungkan.Â
Bahkan, kalau kita kaji lebih mendalam masih banyak sekali kekangan-kekangan yang menghantui jiwa sang anak sejak balita. Belajar manjat dilarang, ini-itu dilarang. Dengannya, semua uji coba menurut egonya jarang mendapat restu dari orang tua atau keluarganya, baik yang dilakukan secara bujukan atau hentakan sadis. Dalam hal ini juga sering kita jumpai sang anak yang garang selalu mendapat cubitan sampai-sampai ia menangis karenanya.Â