Mohon tunggu...
Marzuki
Marzuki Mohon Tunggu... Guru - Guru sains di Dinas Pendidikan Kabupaten sumenep

Senang berkolaborasi dan berguru kepada siapa saja.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjadi Pemimpin Pembelajaran yang Adil Sesuai Wasiat Ki Hadjar Dewantara

21 Oktober 2022   13:33 Diperbarui: 21 Oktober 2022   13:37 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Paradigma baru pendidikan Indonesia sejatinya telah lama digagas oleh Ki Hadjar Dewantara, seorang filsuf, budayawan, seniman, sastrawan, pendidik sekaligus agamawan. Meski sekian banyak rentetan gelar yang sematkan kepada beliau, sampai hari ini tidak sedikit orang yang berprofesi sebagai guru skeptis terhadap paradigma baru pendidikan Indonesia yang saat ini sedang ingin bangkit sesuai filosofi Ki Hadjar Dewantara, adapun komentar yang sering dilontarkan adalah "ganti menteri ganti kurikulum atau kurikulum berbeda tapi ujung-ujungnya itu-itu saja".

Bertitik tolak dari hal di atas maka marilah kita tengok esensi apa sebenarnya yang ditawarkan oleh paradigma baru pendidikan Indonesia saat ini khususnya guru sebagai pemimpin pembelajaran. Mari kita mulai dengan pertanyaan ke dalam diri ketika seorang guru masuk kelas kemudian mengajarkan materi tertentu sudahkah bersikap adil terhadap murid-muridnya? Bagaimanakah merancang pembelajaran yang adil itu terhadap murid dengan karakteristik yang beragam?

Ki Hadjar Dewantara mewasiatkan kepada kita semua bahwa hakikat pendidikan adalah menuntun kekuatan kodrat iradat anak agar mereka menuju kepada keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Konsep pendidikan yang digagas sang maestro pendidikan Indonesia ini sangat mengutamakan cinta, kasih sayang dan keadilan.

Sekolah sebagai institusi moral diharapkan menjadi kebun-kebun yang subur sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya tanaman. Guru diibaratkan seorang petani yang merawat tanamannya, petani tidak mungkin memaksakan tumbuhnya mangga  menjadi apel atau tumbunya semangka menjadi melon, petani hanya bisa merawat tanaman-tanaman tersebut sampai tumbuh secara optimal sehingga dapat berbuah dengan kualitas terbaik.

Sebagai pemimpin pembelajaran seorang guru diharapkan mampu menempati posisi kontrol sebagai seorang manajer yang dituntut mampu bersikap adil dalam memperlakukan semua muridnya dengan keunikannya masing-masing yakni murid dengan kesiapan belajar(readness), minat dan profil murid yang berbeda, disinilah letak tantangannya dalam memperlakukan semua murid secara adil.

Mari kita lihat apa yang pernah disampaikan  oleh sang Filsuf Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara "Serupa seperti para pengukir yang  memiliki pengetahuan mendalam  tentang keadaan kayu, jenis-jenisnya,  keindahan ukiran, dan cara-cara  mengukirnya. Seperti itulah seorang  guru seharusnya memiliki  pengetahuan mendalam tentang seni  mendidik, Bedanya, Guru mengukir  manusia yang memiliki hidup lahir  dan batin."

Berdasarkan hal tersebut maka asesmen awal(asesmen diagnostik) baik kognitif maupun nonkognitif menjadi sangat penting dilakukan sebagai landasan bagi guru agar memahami keadaan(karakteristik) muridnya yang akan diajar(difasilitasi). Dengan memahami karakter para muridnya maka guru akan siap untuk merancang pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Misalnya seorang guru Pendidikan Jasmanani Olahraga dan Kesehatan(PJOK) Sekolah Dasar yang akan mengajarkan muridnya tentang kompetensi berenang, Dari hasil asesmen awal diketahui bahwa murid-muridnya terdiri dari tiga katagori berdasarkan kesiapan belajarnya yaitu kelompok (1) murid yang takut dengan air kolam,(2) murid yang berani dengan air kolam tapi belum bisa berenang dan kelompok (3) murid yang telah mahir berenang dengan gaya bebas.

Bagaimana guru PJOK SD tersebut dapat memperlakukan muridnya secara adil? 

Maka yang dapat dilakukan adalah mengubah tujuan dan indikator belajar murid-muridnya sesuai dengan kesiapan belajar mereka, yaitu murid pada kelompok satu diberikan tujuan belajar berani bermain air di kolam, sedangkan kelompok dua murid bisa berenang dengan gaya bebas, dan untuk  kelompok tiga murid dapat berenang dengan tiga macam gaya, setelah pembelajaran guru dapat melakukan refleksi dan evaluasi untuk perbaikan pembelajaran berikutnya.

Mengapa guru perlu mengelompokkan murid berdasarkan perbedaan kesiapan belajarnya? Karena kita akan menjadi tidak adil ketika menuntut kompetensi yang sama sementara kita telah mengetahui fakta bahwa kesiapan belajar anak berbeda-beda, disinilah seni seorang guru dalam menuntun kodrat(potensi) para muridnya.

Para pembaca yang budiman, Dari pengalaman bekerja pada institusi pendidikan, memang dilema etika adalah tantangan berat yang harus dihadapi dari waktu ke waktu, seorang guru yang masuk kelas dengan rancangan pembelajaran seadanya atau semau gurunya, secara aturan tentu sah-sah saja karena tidak ada aturan yang dilanggar namun dari kebermaknaan pembelajaran akan terasa kering, pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita akan mengajar semaunya atau mencari bentuk lain agar hadir kebermaknaan pembelajaran? Semua kembali kepada hati nurani kita masing-masing.

Ketika kita menghadapi situasi dilema etika, akan ada nilai-nilai kebajikan mendasar yang bertentangan seperti cinta dan kasih sayang, kebenaran, keadilan, kebebasan, persatuan, toleransi, tanggung jawab dan penghargaan akan hidup. Selanjutnya jika berangkat dari contoh diatas maka seorang pemimpin pembelajaran dituntut untuk membuat keputusan yang terbaik seadil-adilnya.

 "Dan apabila kamu berkata maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat[mu]"(Qur'an Surat Al-An'am: 152) Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan kata 'adl di dalam kalimat diatas mengandung arti "perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya". Pengertian inilah yang didefinisikan dengan 'menempatkan sesuatu pada tempatnya' atau 'memberi pihak lain terhadap haknya melalui jalan yang terdekat. Lawannya adalah 'kezaliman', yakni pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain.

Agar keputusan dari seorang pemimpin pembelajaran yang adil atau minimal mendekati keadilan maka dasar pengambilan keputusannya harus jelas. Ada tiga prinsip dasar dalam pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran dalam menghadapi bujukan moral atau dilemma etika yaitu pertama harus sesuai dengan kebenaran universal, kedua berdasar kebutuhan murid, dan yang ketiga adalah  tanggungjawab.

Kemudian yang penting untuk diketahui adalah Secara umum paradigma yang terjadi pada situasi dilema etika yang bisa dikategorikan seperti di bawah ini: 1. Individu lawan kelompok (individual vs community) 2. Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy), 3. Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty) 4. Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term).

Dari keempat paradigma tersebut mari kita telaah paradigma yang terakhir yaitu jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term), boleh jadi sebuah keputusan sangat cocok pada keadaan zaman dan keadaan alam saat itu tetapi mengalami "penyusutan" pada saat ini atau yang akan datang, contoh Kurikulum KBK, KTSP dan Kurikulum 2013 tentu cocok dengan zaman dan alamnya pada waktu itu yang menitikberatkan pada konten materi, tetapi hari ini dimana kita berjalan pada era industri 5.0 maka harus ada paradigma baru pembelajaran yang memerdekakan yaitu pembelajaran yang tidak hanya menitikberatkan pada selesainya konten materi pembelajaran tetapi lebih kepada kemerdekaan murid berproses membangun pengetahuannya dan mengembangkan diri sesuai potensi mereka.

Memang berat mengambil keputusan untuk berubah mengingat pembelajaran pada tiga kurikulum sebelumnya yang telah "mendarah daging", guru terbiasa memberikan pembelajaran dengan murid-murid duduk manis di bangku dan guru berceramah, namun pada kurikulum paradigma baru hari ini semuanya seolah dibalik, pembelajaran yang berpusat kepada murid dan sesuai kebutuhan mereka, dimana murid perlu terlibat dalam perencanaan, proses, refleksi dan evaluasi pembelajaran.

Pertanyaannya adalah apakah kita akan memakai pola lama atau mengikuti perubahan? Apakah kita akan keluar dari zona nyaman kemudian move-on menuju paradigma baru yang sesuai dengan perubahan zaman dan keadaan alam? Ingatlah bahwa murid akan menghadapi zaman dan keadaan alam yang berbeda dengan kita hari ini.

Untuk mewujudkan pemimpin pembelajaran yang adil sesuai wasiat Ki Hadjar Dewantara diperlukan kerja kolaboratif semua pihak khususnya pemangku kepentingan dalam hal ini para pemimpin negeri ini perlu bahu membahu memberikan dukungan lahir dan batin karena di tangannyalah palu kebijakan pendidikan ditentukan.

Para kepala sekolah sebagai pemimpin institusi dan pengawas bina sebagai mitra kepala sekolah juga perlu melakukan  supervisi akademik dengan gaya coaching berdasar pada kemitraan sehingga guru sebagai coachee merasa nyaman karena komunikasi yang terbangun berdasar asas kesetaraan. Keterampilan coaching akan membantu karena dalam proses coaching seorang Coach akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mampu membangkitkan potensi coachee, kemudian memprediksi hasil, dan melihat berbagai opsi sehingga dapat mengambil keputusan dengan baik.

Kemudian yang tidak kalah penting adalah dalam pengambilan keputusan diperlukan kompetensi kesadaran diri (self awareness), pengelolaan diri (self management), kesadaran sosial (social awareness) dan keterampilan berhubungan sosial (relationship skills) untuk mengambil keputusan, diharapkan proses pengambilan keputusan dapat dilakukan secara sadar penuh (mindful), sadar dengan berbagai pilihan dan konsekuensi yang ada.

Sebagai penutup untuk memandu kita dalam mengambil keputusan dan menguji keputusan yang akan diambil dalam situasi dilema etika ataupun bujukan moral yang membingungkan, menurut M.Kidder R, 1995 Artikel disarikan dari Buku "How Good People Make Tough Choices: Resolving the Dilemmas of Ethical Living, ada 9 langkah yang dapat dilakukan.

Mengenali nilai-nilai yang saling bertentangan

Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini.

Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini.

Pengujian benar atau salah(Uji Legal, Uji Regulasi, Uji Intuisi, Uji Publikasi, Uji Panutan/Idola)

Perlu dicatat dari kelima uji keputusan tadi, ada tiga uji yang sejalan dengan prinsip pengambilan keputusan yaitu: Uji Intuisi berhubungan dengan berpikir berbasis peraturan (Rule-Based Thinking) yang tidak bertanya tentang konsekuensi tapi bertanya tentang prinsip-prinsip yang mendalam. Uji publikasi, sebaliknya, berhubungan dengan berpikir berbasis hasil akhir (Ends-Based Thinking) yang mementingkan hasil akhir. Uji Panutan/Idola berhubungan dengan prinsip berpikir berbasis rasa peduli (Care-Based Thinking), dimana ini berhubungan dengan golden rule yang meminta kita meletakkan diri  pada posisi orang lain.

Bila situasi dilema etika yang  dihadapi, gagal di salah satu uji keputusan tersebut atau bahkan lebih dari satu, maka sebaiknya jangan mengambil resiko membuat keputusan yang membahayakan atau merugikan diri kita karena situasi yang kita hadapi bukanlah situasi  dilema etika, namun bujukan moral.

Pembaca yang budiman, akhirnya  semoga kita semua menjadi pemimpin pembelajaran yang adil sesuai wasiat Ki Hadjar Dewantara karena pada hakikatnya siapapun kita adalah pemimpin pembelajaran baik di rumah, di masayarakat atau di institusi moral yang bernama sekolah. Bagaimana paradigma pendidikan Ki Hadajar Dewantara  menyala disetiap kelas dan sudut-sudut sekolah bahkan  mengakar dan membudaya ditengah-tengah masyarakat. 

Mari kita bertanya kepada ombak atau kepada angin seberapa adilkah kita terhadap para murid dalam setiap kegiatan pembelajaran? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun