Sumber: Laporan DSNI Th. 2015
Sampai akhir 2015 telah terbentuk 27 kelompok usaha kecil,melalui program Kelompok Ibu Mandiri Sejahtera (IMS) dan Permodalan Hibah Terencana(PHT).Masing-masing kelompok berkembang dengan caranya masing-masing, dan dengan melihat potensi usaha yang ada. Misalnya, ada yang usaha kolam lele, kerupuk, empek-empek dan warung makanl, empek-empek, warung makan, kue basah, dan kripik/makanan ringan, pembuatan batik tulis dan cap, memanfaatkan tulang-tulang ikan lele sisa produksi abon lele kue kering (kue bawang) dalam kemasan dan aqiqah kue basah, kue dan minuman, gorengan, empek-empek, lontong pecel dan warung kopi, dan sebagainya. Mereka juga menghadapi tantangan sendiri-sendiri. Misalnya, ada anggotanya yang tiba-tiba keluar karena harus pindah ke daerah lain; ada yang kesulitan air bagi yang beternak kolam ikan terpal, ada yang karena masalah keluarga suami, dst.
Masyarakat Hinterland sebagai sasaran
Dimaksud masyarakat hinterland adalah warga yang hidup di sepanjang pantai kepulaian sekitar pulau Batam. Umumnya mereka bekerja sebagai nelayan, dan berpendapatan rendah, Galang adalah nama sebuah pulau kecil sekaligus nama Kecamatan, yang menjadi bagian dari kota Batam. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kecamatan Bulang di sebelah barat, Kecamatan Senayang (Kabupaten Lingga) di sebelah Selatan, Kecamatan Tanjungpinang Kota (Kota Tanjungpinang) di sebelah Timur. dan Kecamatan Bintan Utara (Kabupaten Bintan) di sebelah utara. Pulau ini merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 120 pulau besar dan kecil. Ketinggian sekitar 60 m di atas permukaan laut dengan luas 2018,494 Km. Sebagian pulau berpenghuni dan sebagian lagi tidak berpenghuni. Terdapat 38 pulau 82 pulau belum berpenghuni di Kecamatan Galang.
DSNI adalah pihak yang pertama menoleh kepeduliannya pada masyarakat di pulau ini. Belum ada pembinaan lain selain DSNI, yang bergerak sejak tahun 2005. Selain di pulau Galang sendiri, ada pulau-pulai kecil seperti Belakang Padang, Bulang, pulau Karas.
DSNI menempatkan para da’i , termasuk di pulau-pulau tersebut. Tujuan penempatan da’i tidak lain adalah untuk melakukan pembinaan usaha mikro melalui pendekatan agama. Sambil berdakwah mereka juga menanamkan kesadaran akan pentingnya pemberdayaan potensi diri dan potensi alamnya, yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Jadi, sang da’i merupakan duta-duta DSNI, yang terus-menerus hidup bersama masyarakat sasaran.
Namun karena persoalan budaya, ternyata dengan da’i dari luar wilayahnya belum tentu cocok. Kemenag Batam waktu itu juga turun tangan bersama DSNI, tapi pembinaan masih sekedarnya saja. Menurut penuturan seorang penyuluh, seorang pendakwah harus menfasilitasi sendiri kegiatannya. Ia sendiri kesana –kemari berdakwah, dilengkapi dengan perangkat pemutaran film layar tancap, speaker, dan bahkan membawa sembako. “Jangan harap memperoleh imbal jasa seperti di tempat lain, karena yang terjadi di sini justru sebaliknya” katanya[1].
DSNI dengan penempatan da’i di berbagai tempat di kawasan tersebut, diharapkan ia menjadi agent of change. Namun dalam perjalanan waktu, cara tersebut masih kurang efektif. Ada yang karena rumahnya terlalu jauh, dari sawah menuju ke pasar. Sementara kendaraan umum tidak tersedia. Masyarakat kesulitan untuk mengangkut hasil pertaniannya.
Ada contoh pembinaan kelompok usaha, dengan menanam jenis umbi-umbian. Seorang ustadz yang memang ditugasi membina mereka, mengajak para warga untuk menanamnya. Dimulai dengan ajakan menanam jenis tanaman tersebut, sebagai pancingan dalam rangka memenuhi kebutuhan sekaligus sebagai lahan berdagang. Para warga yang sudah biasa hidup menjadi nelayan tersebut, pada tidak mau. Karena harus menunggu sekitaar 4 bulan baru panen. Maunya mereka punya usaha yang agak instan.
Setiap da’i, dalam pengalamnnya membina warga, ternyata menghadapi tantangan sendiri-sendiri. Terbanyak adalah menghadapi masalah budaya kerja kaum dhuafa. Mereka sudah lama berpandangan, bahwa bantuan itu adalah santunan, dan tidak mengenal kata “pemberdayaan”. Santunan itu untuk dikonsumsi, dan habis. Sesuatu usaha yang menghasilkan keuntungan, itu, adalah seperti mencari ikan di laut, yaitu cepat dapat, cepat dibawa pulang, dan cepat terjualnya. Maka kalau diajak berladang, dengan menanam tumbuh-tumbuhan, dan hasilnya harus menunggu beberap bulan, secara mental-kultural, mereka tidak siap.
Ketidaksiapan mereka, tampaknya dilatarbelakangi oleh budayanya sendiri yang memang tidak terbiasa bekerja keras di ladang, seperti petani di Jawa. Di samping itu adalah pengaruh budaya kota, yang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya serba instan. Ini adalah bagian dari potret budaya pemiskinan. Menurut Parsudi Suparlan, kebudayaan kemiskinan di negara-negara modern bukan hanya menyangkut masalah kelumpuhan ekonomi, masalah disorganisasi atau masalah kelangkaan sumber daya, melainkan di dalam beberapa hal juga bersifat positif karena memberikan jalan ke luar bagi kaum miskin untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya. Kemiskinan menurutnya juga, adalah suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin[2].