Mohon tunggu...
marzani anwar
marzani anwar Mohon Tunggu... -

Peneliti Utama at Balai Litbang Agama Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

DSNI dalam Pemberdayaan Ekonomi Mikro di Batam

30 Agustus 2016   13:50 Diperbarui: 30 Agustus 2016   14:10 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cuplikan hasil Penelitian

Oleh Marzani Anwar

DSNI (Dana Sosial Nurul Islam) adalah lembaga swasta semacam LSM, non Baznas atau non Bazda, yang berdiri dalam naungan Masjid Nurul Islam kawasan Btamindo. Insiator berdirinya lembaga pengelola zakat DSNI adalah dari remaja masjid di kawasan tersebut.

Program pengelolaan zakat DSNI menyasar mustahik sesuaai kondisi setempat, dalam wilayah Batam. Diantaranya adalah: bantuan kebutuhan hidup; bantuan kesehatan; bantuan pendidikan; bantuan sewa rumah; bea asatidz/guru; antar jemput anak sekolah, bantuan orang jompo (pelita hati) dan muallaf. Bidang CSS di bawah direktorat sendiri di bawah manajemen DSNI.

 Sebagaimana diketahui, bahwa dana yang diperoleh lembaga (DSNI Amanah) adalah bersumber dari: zakat, infaq, sadaqah, hibah, kemitraan dana CSR perusahaan, dan sumber-sumber lain yang baik dan halal. Selain untuk kegiatan yang bersifat bantuan adalah untuk pemberdayaan mustahik. Dikenal dengan Center for Micro Enterpreneurship Development ( C-MED)

Program C-MED merupakan bentuk penyaluran dana zakat secara produktif. Pemberdayaan dana zakat sebagai upaya  mengangkat kelompok fakir miskin atau dhuafa keluar dari kemiskinan, memperbaiki kualitas hidup serta melakukan proses transformasi dari mustahik menjadi muzakki. Salah satu proses tersebut adalah dengan pemberdayaan di bidang ekonomi. Pemberdayaan di bidang ekonomi dimaksudkan untuk meningkatkan penghasilan kelompok fakir miskin atau dhuafa, sehingga kesejahteraannya bisa ditingkatkan. Dengan meningkatnya penghasilan diharapkan memberikan dampak besar (multiplier effect) terhadap perbaikan kualitas perumahan, pendidikan, kesehatan, serta bidang-bisang lainnya.

Program pemberdayaan zakat di bidang ekonomi adalah dilakukan dengan ‘bagi-bagi habis’ dana zakat kepada kelompok-kelompok fakir dan miskin, namun diarahkan dan didorong untuk membangkitkan semangat berwirausaha kalangan dhuafa. Dalam hal ini keluarga menjadi sasaran utama dengan basis kelompok.

C-MED (Center Micro Economic Develeopment) adalah bagian dari klaster program pemberdayaan ekonomi dengan kegiatan utama mengembangkan kewira-usahaan di kalangan dhuafa (mikro-kecil), melalui program-program sebagai berikut:

a) IMS (Ibu Mandiri Sejahtera), menghimpun dan membantu ibu rumah tangga pra-sejahtera melalui usaha-usaha produktif;

b) PHT (Permodalan Hibah Terencana), menyediakan bantuan permodalan usaha kecil kepada kepala rumah tangga tidak mampu; dan

c) I-PRO (Infaq Barang Produkktif). Adalah program galang donasi, melalui pemanfaatan barang-barang/benda-benda bekas yang sudah tidak terpakai untuk diproduktifkan kepada usaha-usaha mustahiq. Bentuknya bermacam2, ada motor, ada mobil, atau barang apa saja yang secend. Dikumpulkan, kemudian diperbaiki, terus dijual. Ada baju2 yang umumnya, tidak layak lakai, kemudian dijadikan lap-lap saja menerima barang layak pakai yang digunakan untuk mendukung keberlangsungan program pemberdayaan ekonomi.

Setiap sasaran dilakukan pendataan terlebih dahulu, untuk mengetahui tingkat kebutuhan mereka. Program pemberian dibuat laporan secara tertulis, yang memuat jumlah hasil penghimpunan dana, target capaian, dan jumlah capaian penyaluran. Laporan disebar ke masyarakat melalui majalah bulanan bernama “News Letter EMPATI”. Majalah ini di samping memuat pelaporan hasil kegiatan penyaluran dana-dana umat juga memuat berita-berita tentang kegiatan DSNI dan artikel lepas lainnya.

Ruang Lingkup bantuan usaha ekonomi produktif diberikan kepada sasaran program yang terdiri dari: a) Modal Usaha, terdiri dari modal kerja dan modal investasi; meliputi pembelian peralatan usaha, lahan/bangunan/tempat usaha, serta bantuan pemasaran; b) Pendampingan, meliputi pendampingan pencatatan administrasi usaha, monitoring, dan konselling di dalam perteman rutin kelompok.

Manfaat bagi Masyarakat (peserta program) adalah: 1) Perbaikan pendapatan keluarga; 2) Pengembangan pengetahuan dan keterampilan; dan 3) Mendapat akses jaringan usaha atau networking.

Bagi DSNI Amanah, sebagai: Wujud tanggung jawab sosial untuk menyiapkan dan mendukung masyarakat sejahtera dan mandiri; Menjadi pendamping program pemberdayaan masyarakat; Membangun kepercayaan atas titipan dana dari stakeholder atau pihak lain; dan  Menjadi sarana silaturrahmu, serta penguatan modal sosial.

Bagi kalangan Perusahaan (donatur) merupakan wujud keberpihakan kepada usaha-usaha masyarakat terutama kalangan pra-sejahtera, mengokohkan diri di dalam program ekonomi kerakyatan; dan branding perusahaan.

Bagi dunia pendidikan (Kejuruan & Perguruan Tinggi), program ini menjadi tempat pembelajaran (magang) di bidang pemberdayaan masyarakat; dan sebagai bentuk keberpihakan dunia pendidikan terhadap problematika sosial kemasyarakatan melalui kontribusi dalam program pemberdayaan masyarakat.

Peserta program kelompok adalah mereka: yang beragama Islam dan masuk kriteria dhuafa (pra-sejahtera). Adapaun peserta perorangan adalah: seorang kepala keluarga, janda dan anggota keluarga, yaitu individu yang memiliki tanggung jawab untuk menghidupi dirinya sendiri dan/atau anggota keluarga; dan bu rumah tangga, yaitu individu yang memiliki suami namun memerlukan tambahan penghasilan untuk menghidupi keluarganya.

Pendamping program adalah tenaga yang ditunjuk oleh C-MED atau tenaga sukarela (volunteer) untuk melakukan pendampingan kepada peserta program dengan tugas-tugas sebagai berikut: a) Mengunjungi peserta secara berkala; b) Memastikan persyaratan pendampingan dipenuhi/dilaksanakan oleh peserta program; c) Melakukan rekaman data pendampinig, menyusun laporan pendampingan dan menyerahkan data beserta laporan kepada petugas yang ditunjuk oleh penanggungjawab atau lembaga; d) Memastikan pertemuan berkala (bulanan) dilakukan oleh peserta program; e) melakukan coaching dan counseling disesuaikan dengan situasi serta latar pendamping dan peserta program.

Pelaksanaan Program dimulai setelah disetujui oleh manajer C-MED. Kegiatan dilaksanakan pencairan dana kepada peserta program sesuai plafon bantuan yang besarnya menurut skema bantuan program. Penyerahan bantuan diserahkan secara kelompok kepada peserta program oleh Direktur DSNI atau Manager program C-MED dengan dihadiri oleh tenaga pendamping. Besaran bantuan usaha, adalah antara 2,5 s,d, 3 juta. Jumlah bantuan awal yang dicairkan minimal Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) per-peserta atau disesuaikan dengan jenis usaha yang dikelola oleh peserta program. Peserta program harus menjalankan usaha dengan memperhatikan aspek pencatatan dan tabungan. Selama periode program, peserta program didampingi oleh pendamping yang ditunjuk oleh lembaga.

Pendampingan selama periode program, dengan melakukan tugas-tugas sebagai berikut: a) kunjungan berkala; 1) kunjungan bersifat tatap muka baik di lokasi usaha ataupun tempat tinggal peserta program; 2) kunjungan dilakukan sekurang-kurangnyaa 1 (satu) kali setiap periode (dua minggu) untuk masing-masing peserta program; 3) dalam setiap kunjungan, pendamping akan merekan data perkembangan usaha, merekam permasalahan yang dihadapi dan bila memungkinkan memberikan solusi; 4) data pendampingan yang direkam sekurang-kurangnya meliputi: transaksi usaha, jumlah tabungan, kondisi usaha peserta program; 5) pendamping akan menyerahkan rekaman data pendampingan kepada petugas yang ditunjuk oleh penanggung jawab C-MED untuk selanjutnya dilakukan dokumentasi data pendampingan; b) Pertemuan Kelompok: 1) pertemuan kelompok dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali untuk setiap periode (dua minggu) dan dihadiri oleh pendamping; 2) kelompok dapat mengambil inisiatif untuk melakukan pertemuan tambahan tanpa dihadiri oleh pendamping; 3) waktu dan tempat pertemuan ditentukan oleh kelompok.

Pertemuan C-MED (gabungan), dengan tujuan melakakuan koordinasi dan evaluasi bulanan. Untuk pertemuan C-MED dilakukam minimal satu kali dalam sebulan. Pertemuan diikuti oleh seluruh peserta program C dan dihadiri oleh pendamping serta perwakilan dari bagian C-MED. Materi pertemuan terdiri dari: pembukaan, pembacaan Al-Ma’tsurat dan Asma’ul Husna, Pembacaan 7 (tujuh) Prinsip Aksi Nurul Islam, Materi motivasi; dapat terdiri atas materi pengembangan diri, pengelolaan usaha, pengelolaan keuangan, pelatihan keterampilan atau materi sejenis lainnya, peluncuran, pencairan dana tahap berikut, sharing dari peserta program, buka tabungan, informasi dari C-MED dan/atau DSNI. Penanggung jawab C-MED dalam kesempatan ini melakukan koordinasi dengan pendamping sebelum atau setelah pertemuan dengan peserta program.

Pembinaan usaha ini, DSNI bekerjasama dengan pihak perbankan. Pendampingan perbankan dilakukan dalam bentuk: bahwa peserta program didorong untuk memiliki rekening perbankan baik pada Bank Umum Nasional, BPR maupun BMT. Berikutnya, peserta program didorong untuk melakukan transaksi secara aktif pada rekening tersebut.

Pengukuran kinerja peserta program dilakukan terhadap hal-hal berikut: aset awal (modal usaha); nilai aset diakhiri periode program (buku aset usaha); penghasilan keluarga; dan kontribusi sosial.

Tabel

Penyaluran Program DSNI 2015

KET

CSS

CEP

PDP
PLAN
 2.305.000.000
   793.600.000
    796.255.000
ACTUAL
 1.834.742.401
   810.751.235
 1.157.400.130
CAPAIAN

80%

102%

145%

Sumber: Laporan DSNI Th. 2015

Sampai akhir 2015 telah terbentuk 27 kelompok usaha kecil,melalui program Kelompok Ibu Mandiri Sejahtera (IMS) dan Permodalan Hibah Terencana(PHT).Masing-masing kelompok berkembang dengan caranya masing-masing, dan dengan melihat potensi usaha yang ada. Misalnya, ada yang usaha kolam lele, kerupuk, empek-empek dan warung makanl, empek-empek, warung makan, kue basah, dan kripik/makanan ringan, pembuatan batik tulis dan cap, memanfaatkan tulang-tulang ikan lele sisa produksi abon lele kue kering (kue bawang) dalam kemasan dan aqiqah kue basah, kue dan minuman, gorengan, empek-empek, lontong pecel dan warung kopi, dan sebagainya. Mereka juga menghadapi tantangan sendiri-sendiri. Misalnya, ada anggotanya yang tiba-tiba keluar karena harus pindah ke daerah lain; ada yang kesulitan air bagi yang beternak kolam ikan terpal, ada yang karena masalah keluarga suami, dst.

Masyarakat Hinterland sebagai sasaran

Dimaksud masyarakat hinterland adalah warga yang hidup di sepanjang pantai kepulaian sekitar pulau Batam. Umumnya mereka bekerja sebagai nelayan, dan berpendapatan rendah, Galang adalah nama sebuah pulau kecil sekaligus nama Kecamatan, yang menjadi bagian dari kota Batam. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kecamatan Bulang di sebelah barat, Kecamatan Senayang (Kabupaten Lingga) di sebelah Selatan,  Kecamatan Tanjungpinang Kota (Kota Tanjungpinang) di sebelah  Timur. dan Kecamatan Bintan Utara (Kabupaten Bintan) di sebelah utara. Pulau ini merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 120 pulau besar dan kecil. Ketinggian sekitar 60 m di atas permukaan laut dengan luas 2018,494 Km. Sebagian pulau berpenghuni dan sebagian lagi tidak berpenghuni. Terdapat 38 pulau 82 pulau belum berpenghuni di Kecamatan Galang.

DSNI adalah pihak yang pertama menoleh kepeduliannya pada masyarakat di pulau ini. Belum ada pembinaan lain selain DSNI, yang bergerak sejak tahun 2005. Selain di pulau Galang sendiri, ada pulau-pulai kecil seperti Belakang Padang, Bulang, pulau Karas.

DSNI menempatkan para da’i , termasuk di pulau-pulau tersebut. Tujuan penempatan da’i tidak lain adalah untuk melakukan pembinaan usaha mikro melalui pendekatan agama.  Sambil berdakwah mereka juga menanamkan kesadaran akan pentingnya pemberdayaan potensi diri dan potensi alamnya, yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Jadi, sang da’i merupakan duta-duta DSNI, yang terus-menerus hidup bersama masyarakat sasaran.

Namun karena persoalan budaya, ternyata dengan da’i dari luar wilayahnya belum tentu cocok. Kemenag Batam waktu itu juga turun tangan bersama DSNI, tapi pembinaan masih sekedarnya saja. Menurut penuturan seorang penyuluh, seorang pendakwah harus menfasilitasi sendiri kegiatannya. Ia sendiri kesana –kemari berdakwah, dilengkapi dengan perangkat pemutaran film layar tancap, speaker, dan bahkan membawa sembako. “Jangan harap memperoleh imbal jasa seperti di tempat lain, karena yang terjadi di sini justru sebaliknya” katanya[1].

DSNI dengan penempatan da’i di berbagai tempat di kawasan tersebut, diharapkan ia menjadi agent of change. Namun dalam perjalanan waktu, cara tersebut masih kurang efektif. Ada yang karena rumahnya terlalu jauh, dari sawah menuju ke pasar. Sementara kendaraan umum tidak tersedia. Masyarakat kesulitan untuk mengangkut hasil pertaniannya.

Ada contoh pembinaan kelompok usaha, dengan menanam jenis umbi-umbian. Seorang ustadz yang memang ditugasi membina mereka, mengajak para warga untuk menanamnya. Dimulai dengan ajakan menanam jenis tanaman tersebut, sebagai pancingan dalam rangka memenuhi kebutuhan sekaligus sebagai lahan berdagang. Para warga yang sudah biasa hidup menjadi nelayan tersebut, pada tidak mau. Karena harus menunggu sekitaar 4 bulan baru panen. Maunya mereka punya usaha yang agak instan.

Setiap da’i, dalam pengalamnnya membina warga, ternyata menghadapi tantangan sendiri-sendiri. Terbanyak adalah menghadapi masalah budaya kerja kaum dhuafa. Mereka sudah lama berpandangan, bahwa bantuan itu adalah santunan, dan tidak mengenal kata “pemberdayaan”. Santunan itu untuk dikonsumsi, dan habis. Sesuatu usaha yang menghasilkan keuntungan, itu, adalah seperti mencari ikan di laut, yaitu cepat dapat, cepat dibawa pulang, dan cepat terjualnya. Maka kalau diajak berladang, dengan menanam tumbuh-tumbuhan, dan hasilnya harus menunggu beberap bulan, secara mental-kultural, mereka tidak siap. 

Ketidaksiapan mereka, tampaknya dilatarbelakangi oleh budayanya sendiri yang memang tidak terbiasa bekerja keras di ladang, seperti petani di Jawa. Di samping itu adalah pengaruh budaya kota, yang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya serba instan. Ini adalah bagian dari potret budaya pemiskinan. Menurut Parsudi Suparlan, kebudayaan kemiskinan di negara-negara modern bukan hanya menyangkut masalah kelumpuhan ekonomi, masalah disorganisasi atau masalah kelangkaan sumber daya, melainkan di dalam beberapa hal juga bersifat positif karena memberikan jalan ke luar bagi kaum miskin untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya. Kemiskinan menurutnya juga, adalah suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin[2].  

Strategi yang ditempuh DSNI dengan menerjunkan para da’i untuk mendampingi mereka, adalah salah satu upaya “orang kota” untuk membantu pengembangan potensi mereka sendiri. Namun dalam kenyataannya tidak semudah yang diperkirakan. Orang-orang miskin memiliki pola kehidupan yang sudah mapan dari generasi ke generasi, yang belum tentu bisa diakomodasi oleh orang kota.

DSNI punya 30 da’i di pulau Galang dan sekitarnya. Awalnya penempatan da’i tersebut dikerjasamakan dengan Kemenag. Tapi hanya setahun karena Kemenag kesulitan biaya. Akhirnya yang melanjutkan DSNI sendirian. Dulu namanya program pendampingan Desa Nelayan. Pernah juga kerjasama dengan Persatuan Mubaligh Batam (PMB), kemudian DSNI yang ambil alih, tapi mandeg juga di tengah jalan. Sekarang sudah berjalan sampai 16 tahun, DSNI juga yang terus bergulir dengan program-program pembinaannya.

Dari sekian da’i yang di tempatkan beberapa tempat dalam wilayah pulau Galang tersebut, ada yang gagal dan ada yang berhasil. Yang berhasil sampai kini ada empat yang jadi pengusaha besar, untuk ukuran warga pulau Galang.  Ia biasa mengapalkan ikan hasil tangkapan para nelayan, untuk dijual ke Singapura atau Malaysia. Orang ini juga biasa dijadikan sumber informasi, tentang keadaan warga di lingkungannya. Ada juga pengalaman  seorang da’i di pulau Petong. Hampir setiap hari ia mampu menggerakkan warga binaannya. Sang da’i punya kapal, untuk bisa mengangkut hasil melautnya. Para nelayan mengumpulkan hasilnya, ditampung di kapal tersebut. Sekarang da’inya juga ceramah di Batam, sampai Singapore.

Dalam pengalaman pembinaan oleh DSNI, ketika da’inya menjadi pelaku usaha, masyarakat baru bisa digerakkan. Tidak bisa sang da’i hanya menyuruh nyuruh. Kalau hanya ceramah saja, mereka sulit di suruh-suruh.  Masyarakat hinterland biasa berkutat di laut atau pantai. Di samping yang berkebun di darat. Mereka butuh motor karena akses antar desa tidak cukup tersedia kendaraan umum. Apalagi untuk mendukung usahanya.

Simpulan dan Rekomendasi

Dari apa yang teruai di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan, diantaranya: bahwa DSNI Amanah merupakan salah satu lembaga yang mengelola zakat secara profesinal.  Lembaga ini  lahir dari Remaja Masjid yang berpusat di masjid Nurul Islam Komplek Batamindo Muka Kuning. Lembaga ini telah beraktivitas sejak berdirinya, tahun 2007, hingga sekarang (th 2016) lembaga ini masih eksis, bahkan mengalami perkembangan yang dinamis.

Mustahik zakat, dalam pandangan DSNI, adalah bagian warga berkebutuhan yang identik dengan kaum dhuafa dan pra-sejahtera (dalam bahasa Pemerintah). Mereka adalah kalangan yang tidak memiliki penghasilan tetap, dan yang karenanya tidak bisa mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari, termasuk di dalamnya adalah kebutuhan untuk sekolah, kebutuhan menjaga kesehatan.

Dalam megusung semangat pengembangan ekonomi mikro dimaksudkan untuk melayani mustahik agar tidak berhenti pada pendekatan karitatif. Gerakan ekonomi produktif menyasar kaum dhuafa kota Batam dan dhuafa pulau Galang. Bentuk pembinaan di kota Batam berupa pembinaan kelompok-kelompok  usaha kecil. Sementara untuk pulau Galang, adalah dengan menerjunkan da’i , yang sekaligus berfungsi pendamping usaha mandiri.

Tantangan yang dihadapi DSNI, dalam program karitatif, antara lain,: (a) pandangan warga mustahik dan juga muzakki bahwa dana zakat itu hanya untuk konsumtif; (b) mentalitas masyarakat hinterland  yang  tidak mau bekerja keras; (c)  kondisi tanah pertanian yang keras, dan hanya bisa menumbuhsuburkan tanaman manakala dibantu pupuk kandang; (c) pengelompokan usaha kecil dalam program IMS, masih tidak menjamin keberhasilan karena pengaruh kondisi makro.


[1] Wawancara dengan Maryono, Penyuluh Kantor Kemenag Kota Batam, tanggal 15  Februri 2016.

[2] Suparlan, Parsudi,. Kemiskinan di Perkotaan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 5

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun