Lail duduk di bangku kedua, barisan paling kanan di kelas.
Dia meninggal kemarin sore.
Tidak ada kata yang bisa terucap dari bibirku, dan tidak ada pula yang mengatakan kalimat menenangkan. Bukan karena mereka tidak peduli denganku, tapi masalahnya adalah tidak ada yang tahu apa yang terjadi diantaraku dan Lail.
Memang tidak ada hal khusus yang terjadi.
Lail teman sekelasku. Dia berambut sebahu lewat sedikit dan berwarna coklat gelap. Lail senang mengikat rambutnya dan aku tahu pelajaran favoritnya adalah seni teater. Aku pernah menangkap dengar bahwa dia ingin menjadi sutradara suatu hari nanti. Semester depan, Lail akan lulus dari sekolah dan masuk ke perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta. Lail adalah teman sekelas yang berisik dan pendiam di saat bersamaan, kadang kala aku juga tidak mengerti. Aku rasa dia juga.
Kalau kau tanya padaku, dia adalah gadis tercantik di kelas. Dulu, aku menyukai isi kepalanya. Waktu kami beberapa kali bertukar pembicaraan mengenai sejarah---meskipun aku tidak menunjukkannya secara gamblang---tapi aku akui itu adalah momen terbaik yang pernah seseorang berikan kepadaku.
Ada sesuatu didalam diriku mengenai penutupan petinya hari ini. Aku tidak menangis tapi rasanya seperti dia masih disini. Entah itu hal yang baik atau sebaliknya, aku tidak akan pernah tahu.
"Aku pikir Lail tidak akan pergi secepat ini." Radi berujar, waktu kami berdua memutuskan untuk keluar dari ruangan tempatnya sudah dibaringkan. Didalam penuh dengan anggota keluarganya. Apalah kami ini yang sebatas teman sekelas untuk masuk begitu saja? "Dia bukan tipe yang akan melakukan hal seekstrem itu."
"Ku rasa, setelah hari ini, tidak ada yang benar-benar mengenalnya." Aku menyahut, tidak tahu apakah Radi bahkan butuh kalimatku.
"Rasanya tidak nyaman. Rasanya dia masih disini dan mengeluarkan candaannya yang receh itu." Radi kembali berujar. Aku biasanya tertawa diam-diam tiap ia mengeluarkan candaannya.
"Mungkin karena kau pernah menyukainya." Hanya itu yang bisa aku pikirkan mengenai Radi dan Lail.
"Memangnya siapa yang tidak?" benar.
"Eh, Sa. Aku masuk lagi, ya. Mau pamit duluan. Kau bagaimana?"
"Mungkin agak nanti." Aku tidak mau pulang. Aku mau disitu saja, ada Lail. Dia mengangguk sekali, paham maksudku dan masuk ke dalam lagi.
Waktu Radi pergi, seseorang duduk menggantikannya. Wanita berambut hitam legam sebahu dan raut yang terlihat lelah. Ia tidak melakukan sesuatu selain menjatuhkan pandangannya pada seberang ruangan tempat Lail ditempatkan. Tidak ada apa-apa disana selain pohon mangga yang menjulang tinggi dan ban yang dikaitkan ke tali pada pohonnya.
"Anak saya membuat surat sebelum pergi." Wanita ini ibunya Lail? "Ada namamu disana." Dia pasti menanyakan nama kami satu persatu pada wali kelas.
"Maaf, Bu. Ada sesuatu yang harus disampaikannya pada saya?"
"Hanya ucapan selamat."
Sungguh Lail. Dia benci membuat karangan bebas yang puitis. Apakah aku perlu memberikannya ucapan terima kasih karena dia sudah merepotkan dirinya sebelum pergi untuk menuliskan sesuatu untukku?
"Selamat. Ku dengar kau juara satu lagi."
Selamat. Ku dengar kau juara satu lagi. Kalimat itu sudah ku dengar darinya sejak kami bersama-sama menempuh pendidikan dari sekolah dasar.
"Kalian ini apa? Teman? Saya tidak pernah dengar namamu."
"Bukan teman, apalagi kekasih. Kami bukan apa-apa."
"Dia menyukaimu?"
"Saya yang suka." Aku menatap langsung ke dalam mata Ibu Lail yang temaram dan kuyu di hari yang berjalan amat cepat ini.
Radi akan menertawaiku. Selain karena dia juga sempat menaruh rasa pada si gadis yang menolaknya itu, Radi juga sudah berkali-kali bilang aku sebaiknya menyampaikan perasaanku secepatnya. Aku menepisnya dengan berkata bahwa aku tidak menyukainya. Sungguh pembohong yang tidak handal, dan sekarang dia datang di acara penutupan peti ini.
"Sayang sekali." Tidak ada kehangatan darinya, dan aku juga tidak membutuhkannya. Beliau lebih perlu.
"Hamsa." Aku mengalihkan pandangan dan menemukan---kali ini---Ibuku sendiri, berdiri didekat mobilnya, menunduk sekilas pada Ibu Lail yang masih duduk disampingku tanpa keinginan untuk berpindah tempat. Ah, Ibu, padahal aku kan sudah bilang pada Radi, akan tinggal lebih malam disini, tapi engkau datang.
Aku tidak ingat memberitahunya karena nama Lail juga tidak pernah ku sebutkan tapi disinilah dia, menjemputku untuk pulang. "Ayo pulang."
Nada suara Ibu terdengar tercekat dan tidak nyaman. Aku buru-buru menunduk sebagai tanda bahwa aku pamit kepada Ibunya Lail.
Tidak bertele-tele, Ibu masuk kembali ke dalam mobil, disusul olehku. Dia membawa mobil kesayangannya yang dulu sering digunakan oleh Ayah sebelum keduanya bercerai. Tidak lama, di tempat yang agak leluasa, Ibu menghentikan mobil dan kami sama-sama tidak bersuara. Setidaknya, tidak sampai Ibu kembali membuka suaranya. "Kenapa tidak bilang kamu ke pemakaman temanmu?"
"Kami tidak---"
"Jangan bilang kalian tidak berteman, Hamsa!" ia memukul stir dan pukulannya itu menyisakan aku yang langsung mengalihkan pandangan. Air mata Ibu mengalir begitu saja, tapi aku tidak. Bukannya aku tidak merasa sedih dan tidak tahu maksud Ibu yang sebenarnya. Tetapi, karena aku tahu air mata itu tidak akan berhenti kalau aku membiarkannya begitu saja. "Dia mati bunuh diri, kan?"
Aku merasa tidak nyaman. Kenapa pembicaraan ini harus kami bahas?
Orang-orang mungkin bertanya-tanya, mengapa Ibuku ini bertindak amat emosional padahal dia baru mengetahui nama Lail hari ini.
"Katakan Januar tidak mengenal temanmu itu."
"Januar pergi duluan sebelum aku sempat menyebut nama Lail, Ibu."
"Hamsa!"
Januar dan Lail begitu mirip. Ketika mereka masih hidup, aku bisa menyaksikan sayu temaram sorot mata keduanya di beberapa momen. Sekarang, karena mereka sama-sama pergi dengan keputusan sepenuhnya ditangan mereka, aku rasa itu bukanlah kebetulan lagi karena dari sekian hal yang tampaknya amat terencana ini, satu-satunya yang tidak aku antisipasi hanyalah menyukai teman sekelasku yang duduk di bangku kedua dari depan, barisan paling kanan di 11Â IPA 3.
"Januar anak Ibu." Katanya lagi, menegaskan.
Ibu melupakan satu hal. "Januar kakak aku juga." Dan Lail adalah orang yang paling aku sukai. Tidak tahu mengapa aku tiba-tiba teringat Lail, tapi mereka berdua jadi sosok yang begitu mirip sekarang.
Ibu jadi begini: jadi sensitif dan irit kata semenjak Januar meninggal. Meskipun aku sudah berkali-kali menunjukkan bahwa bukan dia saja yang merasa demikian, Ibu malah menjaga jarak dari semua orang dan pernikahannya menjadi imbasnya.
Jika aku adalah Hamsa, putra bungsu keluarga Wijaya yang dikenal sebagai orang yang rasional dan pendiam, si juara kelas yang irit bicara, Januar Wijaya adalah kakak sekaligus sosok yang diidam-idamkan oleh semua orang. Dia berisik tapi tidak menganggu, dia pintar dan dicintai. Tetapi, ada satu hal rupanya yang tidak bisa dia lakukan: hidup.
"Ibu, sampai kapan kita mau seperti ini?" Ia membenamkan wajahnya di telapak tangannya. "Kalau Ibu masih tidak bisa, tidak apa-apa. Tapi, kalau satu hari ini saja aku gunakan untuk tidak memikirkan Januar dan menangisi Lail saja, apa tidak apa-apa?"
Kita semua berduka dalam cara yang berbeda.
Ibu mungkin harus meluapkan dukanya dengan menjaga jarak dan menangis didalam mobil. Ibu Lail mungkin dengan berwajah tegas meski sorot matanya rapuh, Radi mungkin dengan membawa masa lalu kembali ke permukaan. Lalu aku, mendengarkan lagu dan membayangkan Lail Birana di hari terakhir sebelum libur kenaikan kelas lalu.
Di detik terakhir sebelum musim panas Bandung itu---aku dengar, Lail senang menyebutnya sebagai musim panas karena ia suka meromantisasi kota ini agar terasa seperti di mancanegara---aku tidak mengatakan apa-apa.
Walaupun demikian, Lail Birana melepas ikat rambutnya dan sudah menggendong tas, mengucapkan sampai jumpa dengan beberapa anak kelas yang masih ada. Aku kira itu saja, dan kami akan bertemu kembali seperti biasa di kelas 12 usai libur panjang yang akan segera dimulai itu.
Aku kira begitulah yang akan terjadi, sampai Lail berbalik. Senyumannya begitu lebar dan ia tampak bahagia. Dia melihat kearahku. "Semoga musim panasmu menyenangkan, Hamsa."
Di detik itu, jawabanku terucap, tapi tidak akan sampai padanya. Aku menyukai Lail Birana. Tidak ada "sebab", "karena" dan "seperti". Bukan lagi karena isi kepalanya. Aku menyukainya dan lebih, tidak menginginkannya karena dia adalah manusia merdeka---bebas dari keinginan dan ambisi apapun yang seseorang mungkin miliki. Satu-satunya keinginan yang tidak bisa aku abaikan hanyalah aku ingin melihat Lail Birana lebih lama lagi, karena hanya dia saja yang membuatku senang. Mungkin juga karena matanya berbahasa dalam lantunan yang sedih. Aku ingin menangis sambil memeluknya.
Semoga musim panasmu dan saat itu berakhir pun menyenangkan, Lail.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H