"Memangnya siapa yang tidak?" benar.
"Eh, Sa. Aku masuk lagi, ya. Mau pamit duluan. Kau bagaimana?"
"Mungkin agak nanti." Aku tidak mau pulang. Aku mau disitu saja, ada Lail. Dia mengangguk sekali, paham maksudku dan masuk ke dalam lagi.
Waktu Radi pergi, seseorang duduk menggantikannya. Wanita berambut hitam legam sebahu dan raut yang terlihat lelah. Ia tidak melakukan sesuatu selain menjatuhkan pandangannya pada seberang ruangan tempat Lail ditempatkan. Tidak ada apa-apa disana selain pohon mangga yang menjulang tinggi dan ban yang dikaitkan ke tali pada pohonnya.
"Anak saya membuat surat sebelum pergi." Wanita ini ibunya Lail? "Ada namamu disana." Dia pasti menanyakan nama kami satu persatu pada wali kelas.
"Maaf, Bu. Ada sesuatu yang harus disampaikannya pada saya?"
"Hanya ucapan selamat."
Sungguh Lail. Dia benci membuat karangan bebas yang puitis. Apakah aku perlu memberikannya ucapan terima kasih karena dia sudah merepotkan dirinya sebelum pergi untuk menuliskan sesuatu untukku?
"Selamat. Ku dengar kau juara satu lagi."
Selamat. Ku dengar kau juara satu lagi. Kalimat itu sudah ku dengar darinya sejak kami bersama-sama menempuh pendidikan dari sekolah dasar.
"Kalian ini apa? Teman? Saya tidak pernah dengar namamu."