Aku merasa tidak nyaman. Kenapa pembicaraan ini harus kami bahas?
Orang-orang mungkin bertanya-tanya, mengapa Ibuku ini bertindak amat emosional padahal dia baru mengetahui nama Lail hari ini.
"Katakan Januar tidak mengenal temanmu itu."
"Januar pergi duluan sebelum aku sempat menyebut nama Lail, Ibu."
"Hamsa!"
Januar dan Lail begitu mirip. Ketika mereka masih hidup, aku bisa menyaksikan sayu temaram sorot mata keduanya di beberapa momen. Sekarang, karena mereka sama-sama pergi dengan keputusan sepenuhnya ditangan mereka, aku rasa itu bukanlah kebetulan lagi karena dari sekian hal yang tampaknya amat terencana ini, satu-satunya yang tidak aku antisipasi hanyalah menyukai teman sekelasku yang duduk di bangku kedua dari depan, barisan paling kanan di 11Â IPA 3.
"Januar anak Ibu." Katanya lagi, menegaskan.
Ibu melupakan satu hal. "Januar kakak aku juga." Dan Lail adalah orang yang paling aku sukai. Tidak tahu mengapa aku tiba-tiba teringat Lail, tapi mereka berdua jadi sosok yang begitu mirip sekarang.
Ibu jadi begini: jadi sensitif dan irit kata semenjak Januar meninggal. Meskipun aku sudah berkali-kali menunjukkan bahwa bukan dia saja yang merasa demikian, Ibu malah menjaga jarak dari semua orang dan pernikahannya menjadi imbasnya.
Jika aku adalah Hamsa, putra bungsu keluarga Wijaya yang dikenal sebagai orang yang rasional dan pendiam, si juara kelas yang irit bicara, Januar Wijaya adalah kakak sekaligus sosok yang diidam-idamkan oleh semua orang. Dia berisik tapi tidak menganggu, dia pintar dan dicintai. Tetapi, ada satu hal rupanya yang tidak bisa dia lakukan: hidup.
"Ibu, sampai kapan kita mau seperti ini?" Ia membenamkan wajahnya di telapak tangannya. "Kalau Ibu masih tidak bisa, tidak apa-apa. Tapi, kalau satu hari ini saja aku gunakan untuk tidak memikirkan Januar dan menangisi Lail saja, apa tidak apa-apa?"