Setelah memberikan nasehat yang cukup panjang, akhirnya susana kelas mulai tenang. Tak ada lagi yang menanyakan hal itu. Bukan berarti aku membiarkan hal semacam itu terjadi dalam kelas, namun aku harus menyelidiki dulu, apa yang terjadi dengan Alvian. Apakah benar bahwa dia adalah  pelakunya. Karena bagaimanapun, pencurian adalah salah satu perbuatan yang tidak bisa ditolerir begitu saja. Apapun alasannya tetap saja tidak bisa dibenarkan.
Suasana sekolah mulai sunyi, anak-anak sudah pulang. Suara riuh mereka yang kadang sangat mengganggu gendang telinga saat ini tidak terdengar lagi. Aku melangkah masuk ke dalam ruang kepala sekolah.
Wanita bijak yang sudah mengahampiri usia pensiun itu meyambutku dengan senyuman. Dia dengan sabar mendengar ceritaku tentang Alvian.
Setelah berdiskusi dan meminta pertimbangan dengan rekan-rekan yang lain, akhirnya diputuskan bahwa aku harus datang sendiri ke rumah anak didikku itu. Mencoba untuk mencari tahu tentang apa yang terjadi padanya.
Langkahku gontai menyusuri lorong-lorong kecil perumahan padat penduduk yang tidak jauh dari sekolah tempatku mengajar. Bertanya pada beberapa warga letak rumah Alvian. Cukup jauh dari jalan raya kecamatan.
Bau busuk dari got-got yang tetutup oleh sampah yang dibuang secara tidak bertanggung jawab oleh warga sekitar membuat perutku mual. Apalagi aku belum makan sesuatu sejak tadi pagi. Mungkin karena terlau syok dengan keadaan Alvian, akhirnya aku lupa untuk makan sesuatu.
Sampai di depan rumah yang ditunjuk oleh salah satu warga yang mengatakan bahwa itulah rumah Alvian.
Langkah kakiku melambat, kuperhatikan pintu terbuat dari triplek yang terkelupas di mana-mana. Keadaan terasnya cukup berantakan. Sepatu bertebaran di mana-mana. Ada juga beberapa piring plastik bekas makan yang dijilati kucing secara bergantian menghiasi teras yang hanya berlantaikan tanah.
Baru saja aku mau mengetuk pintu yang tertutup rapat itu. Tiba-tiba terdengar suara teriakan panjang dari dalam. Yah, aku kenal suara itu. Teriakan Alvian yang terdengar seperti lolongan permintaan tolong. Tanpa pikir panjang, kudobrak pintu yang memang terlihat sudah hampir rubuh itu.
Aku terkesiap menyaksikan pemandangan yang mengiris hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H