"Kamu nggak mau cerita sama, Ibu?"
Bocah itu kembali menundukkan wajahnya, sedikit ragu dia melirikku. Ada ketakutan tergambar  di matanya. Â
"Alvian jangan takut apapun, ibu bisa jaga rahasia," ucapku tersenyum sembari membuat gerakan mengunci mulut agar dia percaya. Walau masih sangat syok, aku berusaha bersikap tenang.
"Ibu janji tidak akan bilang ke ibuku tentang ini, kan?" bibirnya bergetar seolah menyimpan kesedihan yang begitu dalam. Sesak rasanya membayangkan penderitaan yang dialami bocah tampan yang tengah duduk di depanku.
"Iya, Ibu, janji," balasku memperlihatkan jari kelingkingku. Alvian mengaitkan jarinya sambil menyapu air matanya dengan punggung tangan. Ada sedikit senyum yang terbit di bibir mungilnya yang membuat hatiku sedikit lega.
Kriiiiiingg!
Baru saja Alvian mau bercerita, lonceng tanda istirahat terdengar nyaring berbunyi. Aku dan dan Alvian terperanjat kaget. Mungkin karena suasana tegang yang tercipta di antara kami membuatku tidak memperhatikan jam.
Anak-anak berhamburan keluar kelas. Sebahagian dari siswa didikkku langsung menyerbu kantor. Mereka pasti penasaran apa yang terjadi dengan Alvian setelah insiden yang terjadi di kelas tadi pagi.
Alvian terlihat kikuk karena jadi pusat perhatian teman-temannya yang mengintip melalui jendela. Entah sudah berapa ratus kali aku menegur mereka agar mereka  tidak mengintip dan menumpuk di depan pintu kantor , akan tetapi rasa ingin tahu mereka yang mungkin begitu besar sehingga larangan dan teguran seolah adalah perintah.
Aku berdiri melindungi tubuh Alvian dari tatapan sinis teman-temannya. Gelar pencuri telah sekian lama melekat padanya. sehingga dia acapkali disoraki oleh teman-teman kelasnya.
"Bu, Ayu, apa Alvian buat ulah lagi?" Baru saja Bu Hamidah masuk ke dalam kantor dia sudah menyerbuku dengan pertanyaan yang tak seharusnya dilontarkan pada Alvian sekarang.