Mohon tunggu...
Maryam
Maryam Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

Pengajar di salah satu sekolah terpencil SDN 215 Inpres Taipa

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Dia yang Terabaikan

6 Juli 2023   10:15 Diperbarui: 6 Juli 2023   10:21 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bab 2

"Alvian, cerita sama ibu, siapa yang melakukan semua ini padamu?'' kuangkat wajahnya yang terus menunduk dengan jemariku.

Dia masih terdiam, tatapan matanya meredup. Amarah yang tadinya terlihat di matanya  telah terganti dengan mendung kesedihan.

Posisiku yang berjongkok di depannya membuatku bisa terus mengamati perubahan wajahnya. Jujur aku sedih melihat keadaannya saat ini, menyesal karena telah membentaknya di depan teman-temannya tadi. Tidak seharusnya aku berbuat seperti demikian. Harusnya aku menanyainya terlebih dahulu sebelum mempermalukan dirinya di depan teman-temannya.

Kugiring tubuh kecilnya menuju mejaku, rasanya kakiku mulai pegal karena terus berjongkok di depannya, berharap dia mau bercerita, namun hasilnya nol. Alvian meringis, saat tak sengaja kusentuh bagian tengkuknya.

"Ya Allah, apa ini, Alvian?" Sekali lagi aku syok, ada benjolan di bagian tengkuknya. Segera kubuka kerah baju yang menutupi tengkuknya.

"Ya Allah!" tanpa sadar aku memekik, terkejut.
Memar  dan juga benjolan sebesar telur ayam terpampang nyata di hadapanku.

Sungguh  pemandangan yang sulit kupercaya. Bagaimana mungkin anak sekecil ini mengalami penganiyayaan sekejam ini. Sulit kugambarkan persaaanku, pikiranku sudah melayang-layang entah kemana? Apa mungkin ibunya yang melakukan ini? apakah ada ibu yang tega melakukan hal sekeji ini terhadap anak kandungnya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berseliweran di kepalaku.

Setelah dia duduk di hadapanku, segera kuhapus linangan air mata yang sejak tadi membajiri pipinya. Kuberi  waktu padanya untuk menenangkan diri.

Segelas air minum langsung tandas saat kusodorkan di hadapannya. Aku sendiri juga merasa haus, namun segelas air yang kuminum tak mampu menawarkan rasa itu.

"Bu, boleh aku pulang?"

"Kamu nggak mau cerita sama, Ibu?"

Bocah itu kembali menundukkan wajahnya, sedikit ragu dia melirikku. Ada ketakutan tergambar  di matanya.  

"Alvian jangan takut apapun, ibu bisa jaga rahasia," ucapku tersenyum sembari membuat gerakan mengunci mulut agar dia percaya. Walau masih sangat syok, aku berusaha bersikap tenang.

"Ibu janji tidak akan bilang ke ibuku tentang ini, kan?" bibirnya bergetar seolah menyimpan kesedihan yang begitu dalam. Sesak rasanya membayangkan penderitaan yang dialami bocah tampan yang tengah duduk di depanku.

"Iya, Ibu, janji," balasku memperlihatkan jari kelingkingku. Alvian mengaitkan jarinya sambil menyapu air matanya dengan punggung tangan. Ada sedikit senyum yang terbit di bibir mungilnya yang membuat hatiku sedikit lega.

Kriiiiiingg!

Baru saja Alvian mau bercerita, lonceng tanda istirahat terdengar nyaring berbunyi. Aku dan dan Alvian terperanjat kaget. Mungkin karena suasana tegang yang tercipta di antara kami membuatku tidak memperhatikan jam.

Anak-anak berhamburan keluar kelas. Sebahagian dari siswa didikkku langsung menyerbu kantor. Mereka pasti penasaran apa yang terjadi dengan Alvian setelah insiden yang terjadi di kelas tadi pagi.

Alvian terlihat kikuk karena jadi pusat perhatian teman-temannya yang mengintip melalui jendela. Entah sudah berapa ratus kali aku menegur mereka agar mereka  tidak mengintip dan menumpuk di depan pintu kantor , akan tetapi rasa ingin tahu mereka yang mungkin begitu besar sehingga larangan dan teguran seolah adalah perintah.

Aku berdiri melindungi tubuh Alvian dari tatapan sinis teman-temannya. Gelar pencuri telah sekian lama melekat padanya. sehingga dia acapkali disoraki oleh teman-teman kelasnya.

"Bu, Ayu, apa Alvian buat ulah lagi?" Baru saja Bu Hamidah masuk ke dalam kantor dia sudah menyerbuku dengan pertanyaan yang tak seharusnya dilontarkan pada Alvian sekarang.

"Nggak, Kok, Bu. Alvian sakit,  jadi kubawa ke sini," jawabku berbohong.

Bu Hamidah langsung berlalu menuju mejanya setelah mendengar jawabanku. Dia memang termasuk salah satu guru yang cuek jika berurusan dengan sakit atau luka pada siswa. Akan tetapi, jika ada siswa yang melanggar, dia yang lebih dulu ambil tindakan. Karena itu anak-anak segan dan takut  padanya.

"Alvian, mau ibu antar pulang?" tanyaku pada bocah tujuh tahun itu, karena tak mungkin lagi aku menanyainya terkait dengan kondisinya. Bocah itu terlihat sangat takut begitu mendengar pertanyaan Bu Hamidah.

"Nggak perlu diantar, Bu. Aku bisa pulang sendiri," tanpa menunggu jawaban dariku, alvian langsung melesat dari hadapanku. Aku hanya bisa terdiam, tak tahu harus berbuat apa. Tak lama kemudian tubuh kecilnya melintas di depan kantor dengan tas kecil di punggung nya. Aku yang memang menunggunya di depan pintu berusaha mencegat langkahnya.

"Alvian, Ibu antar, Yah!" sekali lagi kutawarkan untuk pulang bersama, namun yang kudapati adalah tatapan sendu dengan ketakutan yang terselip di sana. Tanpa sepatah katapun, dia berlalu dari hadapanku. Larinya cukup kencang untuk anak yang mengalami luka lebam disekujur  tubuhnya. Aku hanya bisa menarik nafas berat, berupaya memikirkan cara untuk mendekati orang tuanya, agar aku bisa tahu kejadian apa yang sebenarnya menimpa anak kecil itu.

Aku kembali masuk ke dalam kelas setelah bunyi lonceng tanda masuk berbunyi. Belum mampu menceritakan kepada siapapun tentang keadaan Alvian pada rekan-rekan maupun atasanku. Aku tak tahun harus mulai dari mana.

Di dalam kelas, aku menasehati siswa untuk bisa lebih peka terhadap penderitaan teman. Kujelaskan kepada mereka agar mudah untuk berbagi pada teman yang tidak membawa uang jajan atau teman yang terlihat kekurangan. Mereka semua hanya manggut-manggut, entah mereka mengerti atau tidak. Aku hanya merasa ini penting untuk kusampaikan.

"Alvian benar-benar mencuri, ya, Bu?" celetuk si Rezky, siswa paling aktif di kelas ini. Sementara Fauzan yang mengaku sebagai korban Alvian tadi pagi, terlihat antusias mendengar pertanyaan dari Rezky.

"Anak-anak ibu yang baik dan sholeh. Ibu minta maaf karena tadi belum menanyai Alvian, itu karena teman kalian itu sedang sakit. Lagipula kita belum punya tidak punya bukti apa-apa untuk menuduh Alvian sebagai pencurinya, Kan?"

"Tapi, Bu. Aku melihatnya sendiri!" teriak Fauzan dengan nada sedikit emosi. Pasti dia berharap Alvian mendapatkan hukuman atas tuduhannya.

"Apakah Fauzan melihat dengan jelas bahwa yang diambil Fauzan adalah uang?" tanyaku padanya dengan lembut. Aku juga tidak ingin mematahkan hatinya jika harus langsung tidak percaya ucapannya. Aku sendiri jujur tidak tega menanyakan pada Alvian tentang kebenaran tuduhan temannya. Hatiku tak sampai hati membahas hal itu setelah melihat keadaan Alvian.

Setelah memberikan nasehat yang cukup panjang, akhirnya susana kelas mulai tenang. Tak ada lagi yang menanyakan hal itu. Bukan berarti aku membiarkan hal semacam itu terjadi dalam kelas, namun aku harus menyelidiki dulu, apa yang terjadi dengan Alvian. Apakah benar bahwa dia adalah  pelakunya. Karena bagaimanapun, pencurian adalah salah satu perbuatan yang tidak bisa ditolerir begitu saja. Apapun alasannya tetap saja tidak bisa dibenarkan.

Suasana sekolah mulai sunyi, anak-anak sudah pulang. Suara riuh mereka yang kadang sangat mengganggu gendang telinga saat ini tidak terdengar lagi. Aku melangkah masuk ke dalam ruang kepala sekolah.
Wanita bijak yang sudah mengahampiri usia pensiun itu meyambutku dengan senyuman. Dia dengan sabar mendengar ceritaku tentang Alvian.

Setelah berdiskusi dan meminta pertimbangan dengan rekan-rekan yang lain, akhirnya diputuskan bahwa aku harus datang sendiri ke rumah anak didikku itu. Mencoba untuk mencari tahu tentang apa yang terjadi padanya.

Langkahku gontai menyusuri lorong-lorong kecil perumahan padat penduduk yang tidak jauh dari sekolah tempatku mengajar. Bertanya pada beberapa warga letak rumah Alvian. Cukup jauh dari jalan raya kecamatan.

Bau busuk dari got-got yang tetutup oleh sampah yang dibuang secara tidak bertanggung jawab oleh warga sekitar membuat perutku mual. Apalagi aku belum makan sesuatu sejak tadi pagi. Mungkin karena terlau syok dengan keadaan Alvian, akhirnya aku lupa untuk makan sesuatu.

Sampai di depan rumah yang ditunjuk oleh salah satu warga yang mengatakan bahwa itulah rumah Alvian.
Langkah kakiku melambat, kuperhatikan pintu terbuat dari triplek yang terkelupas di mana-mana. Keadaan terasnya cukup berantakan. Sepatu bertebaran di mana-mana. Ada juga beberapa piring plastik bekas makan yang dijilati kucing secara bergantian menghiasi teras yang hanya berlantaikan tanah.

Baru saja aku mau mengetuk pintu yang tertutup rapat itu. Tiba-tiba terdengar suara teriakan panjang dari dalam. Yah, aku kenal suara itu. Teriakan Alvian yang terdengar seperti lolongan permintaan tolong. Tanpa pikir panjang, kudobrak pintu yang memang terlihat sudah hampir rubuh itu.

Aku terkesiap menyaksikan pemandangan yang mengiris hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun