Sabtu, 18 Mei 2024, diselenggarakan "Ngobrol Asik (Ngobras) tentang Hidup dan Karya Romo Mangun" di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Penyelenggara Ngobras ini adalah Ikafite (Ikatan Alumni Filsafat Teologi Sanata Dharma) kampus tempat Romo Mangun pernah belajar di Seminari Tinggi Yogyakarta dulu.Â
Bersama keluarga dan para sahabat Romo Mangun dari pelbagai kalangan, Ikafite membentuk Panitia Peringatan 25 Tahun Wafat Romo Mangun. Panitia sudah merancang sejumlah kegiatan sepanjang tahun 2024, dalam memperingati 25 tahun wafat Romo Mangun. Ngobras di BBJ ini salah satunya. Ada alasan khusus, mengapa acara "Ngobras" diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta. BBJ dipilih karena arsitek BBJ tempat diselenggarakan acara adalah Romo Mangun.
Terdapat 150an orang datang pada acara "Ngobras Romo Mangun" di BBJ. Sebagian besar yang datang adalah orang-orang muda. Mereka mewakili undangan dari kampus, sekolah, dan organisasi orang muda lintas agama. Terlihat hadir wakil orang muda dari NU (Ansor), Muhammadiyah, Hindu, Buddha dan wakil dari OMK (Orang Muda Katolik).Â
Rupanya acara ini memang ditujukan untuk orang-orang muda dan undangan terbatas. Panitia nampak sekali mendesain acara "ngobras" dengan tujuan agar hidup, karya dan semangat Romo Mangun dikenal oleh orang-orang muda. Salah seorang anggota penyelenggara cerita, sebelum acara diadakan, Panitia membuat semacam survey kecil di kalangan orang muda.Â
Dari 10 anak muda yang ditanya : "apakah kamu kenal Romo Mangun atau YB Mangunwijaya ?", semua menjawab tidak. Romo Mangun guru bangsa, guru kemanusiaan dan guru iman, yang wafat 25 tahun lalu, kalau tidak dihadirkan kembali memang akan makin tidak dikenal dan terlupakan.
Selain acara sarasehan santai yang dikemas dalam bentuk "Ngobras", diadakan pula peluncuran buku tentang Romo Mangun dan peluncuran website: www.romomangun.com.Â
Buku yang diluncurkan hari itu berjudul: "Yuk, Belajar Ujaran dan Teladan Rama Mangun". Buku ini melengkapi buku berjudul "Romo Mangun, Guru Bangsa, Guru Kemanusiaan, Guru Iman" yang dibuat Panitia sebagai buku acara pada "Peringatan 25 Tahun Wafat Romo Mangun" di Kentungan Yogyakarta 10 Februari 2024.Â
Buku "Yuk, Belajar Ujaran dan Teladan Rama Mangun" ini berisi bunga rampai ucapan-ucapan dan pandangan Romo Mangun tentang hidup sehari-hari bersama orang-orang kecil yang dilayaninya, tentang kebangsaan, tentang pendidikan, tentang kebangsaan, keimanan dan lebih-lebih tentang manusia dan martabatnya.Â
Bekerjasama dengan penerbit Kompas dan Gramedia, digelar pula banyak buku yang pernah dicetak tentang Romo Mangun. Salah satu sahabat, pengagum, editor dan penulis beberapa buku Romo Mangun yaitu Dr.Ignatius Haryanto, menggelar pula koleksi buku-bukunya tentang Romo Mangun.Â
Buku milik jurnalis dan pengajar jurnalistik di UMN ini banyak yang sudah langka dan tidak dicetak lagi. Di dinding tempat pertemuan, dikenalkan pula beberapa sketsa garis besar hidup dan karya Romo Mangun sejak jaman penjajahan Belanda sampai wafatnya.Â
Menjelang acara dimulai, ditayangkan pula petikan-petikan video dan film tentang Romo Mangun, khususnya dari film besarnya: "Sang Manyar. Nyanyian Pinggir Kali".Â
Ojing, tokoh pemeran Romo Mangun juga hadir pada acara itu. Ia seolah menjadi simbol sosok Romo Mangun yang ingin membuka tangan dan menyapa mereka yang hadir.Â
Tentu selain buku-buku, di depan pintu masuk, digelar pula beberapa merchandise Romo Mangun yang dijual seperti kaos, payung, tumbler dan pernak-pernik peringatan. Panitia kelihatan sekali sangat serius ingin mengenalkan sosok Romo Mangun kepada orang-orang muda dalam acara tersebut.
Yang juga menarik, di halaman BBJ dipajang sebuah jip tua berwarna hijau tentara. Menurut Romo FX Mudji Sutrisno SJ, yang pernah membuat disertasi doktoralnya di Universitas Gregoriana Roma tentang Romo Mangun, jip tua itu adalah jip yang sangat bersejarah. Ketika menjadi tantara pelajar di Yogya, YB Mangunwijaya muda pernah menyopiri Sri Sultan Hamengkubuwana IX memakai jip itu.Â
Ceritanya, sesudah kerusuhan Mei 1998, Romo Mudji dan kawan-kawan datang ke rumah Romo Mangun di Gang Kuwera Gejayan Yogya. Romo Mudji cs ingin mengundang Romo Mangun hadir pada acara di Istora Senayan tahun 1998 menghibur mereka yang menjadi korban kerusuhan Mei 1998.Â
Melihat Romo Mudji datang diantar teman-temannya memakai pakai jip baru Daihatsu Feroza B-2343-SE warna hijau-kebiruan metalik, Romo Mangun nyeletuk: "Wah jip bagus ini. Saya juga suka naik jip. Tapi yang saya sukai bukan jip baru seperti ini. Saya suka jip Willys tua yang dulu dipakai Sri Sultan dan saya sopirnya".
Sepulang dari Yogya Romo Mudji menceritakan jip Willys tua kesukaan Romo Mangun itu kepada teman-teman dari Perduki (Persekutuan Doa Usahawan Katolik Indonesia). Teman-teman Perduki itu akhirnya berhasil melacak jip tua yang pernah disopiri Romo Mangun itu. Jip tahun 1945 itu rupanya terdampar di Cimahi. Mereka lalu membeli jip legendaris itu dari kolektor. Para sahabat ingin memberikan jip itu sebagai hadiah ulang tahun Romo yang ke-70 pada 6 Mei 1999.Â
Beberapa bulan sebelum ulang tahun yang ke-70, Romo Mangun sebenarnya sempat melihat dan memakai sebentar jip itu. Wajah Romo Mangun nampak begitu berbinar ketika diberitahu jip itu adalah hadiah ulang tahunnya yang ke-70.Â
"Gembiranya seperti anak kecil yang mendapat mainan yang sudah begitu lama diidamkan", kata seorang teman pemberi jip tua itu. Sayang, 3 bulan sebelum Romo Mangun berulang tahun ke 70, Tuhan memanggilnya pada 10 Februari 1999. Jip tua yang dipajang di halaman BBJ hari itu masih menunggunya, entah sampai kapan. Jip Willys tua tahun 1945 kini dilelang untuk membantu sekolah Dinamika Edukasi Dasar, karya Romo Mangun di Yogyakarta.
Romo Mangun dan karyanya, apakah masih menyapa orang muda?
Narasumber yang diundang pada ngobrol santai 18 Mei 2024 di BBJ itu adalah Prof.Dr.Komaruddin Hidayat (Rektor Universitas Islam Internasional), Romo Dr.C.B.Mulyatno Pr (Dosen Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma serta Ketua Yayasan Dinamika Edukasi Dasar) dan Inayah Wahid (Pelaku Budaya).Â
Menarik bahwa ketiga narasumber itu seolah mewakili orang-orang pada jamannya. Prof Komaruddin mewakili generasi usia 70 tahunan. Romo Mulyatno mewakili generasi usia 50 tahunan. Inayah Wahid mewakili generasi usia 30 tahunan. Kurang lebih ada rentang usia 20 tahunan di antara mereka.Â
Dalam diskusi yang santai namun terasa berbobot, ketiga narasumber berhasil menampilkan sosok Romo Mangun dengan jeli. Potret dan cara para narasumber itu memotret sosok Romo Mangun yang besar ini, sungguh sangat mengesankan.
Bagi Prof. Komaruddin, Romo Mangun yang menjadi sahabat dekat Kiai Hamam di pondok pesantren Pabelan tempat ia menimba ilmu, adalah sosok yang tak tergantikan. Kebesaran Romo Mangun sebagai guru bangsa karena ia menjadi guru iman dan mewujudkan hidup berimannya dengan solidaritas kemanusiaannya yang sangat mengagumkan.Â
Romo Mangun tidak hanya bicara dan menulis. Ia menghidupi dan melaksanakan idealisme yang ia bicarakan itu. Bagi Romo Mulyatno, kata kunci Romo Mangun adalah kesetiakawanan.Â
Romo Mangun mewariskan kepada kita semua agar kesetiakawanan itu tidak menjadi kata-kata kosong. Inayah Wahid cerita, bagaimana Romo Mangun sangat dekat dengan keluarga Gus Dur.
"Coba waktu bapak saya jadi Presiden, Romo Mangun masih ada dan belum meninggal, beliau pasti akan menjadi tandem dahsyat dalam membangun bangsa ini bersama Gus Dur", ujarnya.
Ngobras 18 Mei 2024 di BBJ itu cuma 3 jam. Namun dalam waktu sesingkat itu, anak-anak muda yang hadir mulai bisa mengenal dengan baik siapa Romo Mangun. Juga hidup dan karyanya yang luar biasa bagi bangsa ini.Â
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, yang kemudian dikenal sebagai Romo Mangun ini, lahir di Ambarawa pada 6 Mei 1929. Ia wafat pada 10 Februari 1999 di Hotel Le Meridien Jakarta, di sela-sela seminar tentang buku dan pendidikan karena serangan jantung. Ia meninggal dalam pelukan sahabatnya Sobari.Â
Jenazah Romo Mangun kemudian disemayamkan di gereja Katedral Jakarta. Presiden Habibie datang melayat bersama ibu Ainun. Presiden juga mengirim pesawat Hercules untuk menerbangkan jenazah Romo Mangun ke peristirahatan terakhir di Yogyakarta. Ketika belajar di Aachen Jerman, Habibie muda adalah sahabat baik Romo YB Mangunwijaya.
Tidak terasa, 25 tahun sudah Romo Mangun meninggalkan kita semua. Tidak terasa seperempat abad sudah kita ditinggal tokoh yang besar. Romo Mangun adalah seorang tokoh dengan sejumlah predikat.
Ia adalah tokoh multidimensional: dari tentara pelajar hingga pastor, dari arsitek hingga novelis, dari dosen hingga pekerja kemanusiaan, yang bergumul dengan penderitaan masyarakat bawah. Ia berperang melawan Belanda, dalam arti yang sesungguhnya.
Ia berperang melawan kesewenang-wenangan kekuasaan dengan tulisan tulisannya, dalam arti yang sangat real. Dan, ia berperang melawan kemiskinan rakyat, juga dalam arti yang paling konkret. Ia adalah manusia dengan gagasan gagasan besar, ketulusan mendalam seorang pastor, ketajaman dan sarkasme seorang kritikus, tapi juga aplikasi seorang arsitek.
Banyak hal bisa dikatakan tentang Romo Mangun: imam katolik, sastrawan dan budayawan, penikmat dan kritikus sastra, guru dan pendidik, arsitek, aktivis dan pemikir sosial politik, dan teolog katolik. Sejumlah predikat itu dikukuhkan oleh kenyataan tak terbantahkan bahwa Romo Mangun mengumumkan pemikiran-pemikiran dan kepeduliannya itu baik dalam bentuk karya tulis maupun dalam bentuk tindakan dan praksis hidup.
Dengan wafatnya Romo Mangun, kita sangat kehilangan seorang cendekiawan besar Indonesia. Mungkin dia juga salah satu dari hanya beberapa cendekiawan besar terakhir dari generasi 1945 yang dimiliki bangsa ini.Â
Salah satu ciri kebesaran itu adalah kebesaran jiwa. Kebesaran jiwa dalam pengertian ini berarti tidak memiliki rasa canggung apa pun untuk memasuki bidang apa pun dan berhadapan dengan siapa pun dari kelompok mana pun.
Dalam arti inilah Romo Mangun harus dikenang. Dia berkiprah di mana-mana, lintas kelas, lintas-agama, lintas wilayah kesukuan. Sebagai seorang yang berjalan lintas kelas, sahabat-sahabatnya bisa dideretkan dari para tukang semir sepatu sampai Presiden Republik Indonesia. Ia tidak canggung bergaul dengan Presiden, sama seperti dia tidak canggung bergaul dengan para pemulung.
Dia sahabat kaum muslim, dia sahabat dari banyak kiai dari berbagai pesantren. Dia seorang pastor katolik yang tidak konvensional. Dalam dirinya, dia adalah gabungan langka sosok seorang tentara pelajar pada usia muda dengan spesialisasi zeni, dengan sosok seorang pastur yang dilakoninya sampai akhir hayat.
Romo Mangun dikenang sebagai manusia yang multidimensional. Beberapa sisi penting bisa dikemukakan : dia seorang sastrawan; dia seorang arsitektur; dia seorang pendidik; dia seorang rohaniwan yang tekun; dan terakhir dia adalah seorang aktivis politik yang begitu peka dalam segala soal. Di mana tempatnya sebagai seorang sastrawan?Â
Kesusastraan bagi Romo Mangun adalah suatu pengalaman religi. Ini terlalu sering diasosiasikan dengan agama. Dia malah tidak menghubungkan karya sastra itu dengan keagamaan tetapi dengan suatu jenis pengalaman keilahian. Malah sastra menjadi medan di mana seorang manusia menjumpai Sang Khalik melalui sesuatu yang sangat duniawi.Â
Di dalam dunia sastranya dia ingin membebaskan pemikiran kita dari semua pengkotakan dan sekat-sekat entah itu agama, suku, ras, atau ideologi. Dalam dunia arsitektur, Romo Mangun adalah seorang arsitektur yang tangguh, pemenang beberapa penghargaan internasional.Â
Perhatian dan hati Romo Mangun untuk pendidikan tidak diragukan. Dia seorang pendidik utama. Dari semua unsur yang harus dididik, dia memberikan tempat paling utama pada pendidikan anak Sekolah Dasar.
Sebegitu rupa dia mementingkan pendidikan Sekolah Dasar, sehingga dia pun pernah melontarkan suatu yang sangat kontroversial ketika dikatakannya, "biar hancur seluruh sistem pendidikan tinggi, suatu bangsa masih akan tetap bertahan asal pendidikan sekolah dasar bisa diselamatkan".Â
Keprihatinannya yang besar kepada pendidikan dasar mendorongnya untuk mendirikan suatu sekolah eksperimen di Yogyakarta. Di situ Romo Mangun turun tangan mendidik anak-anak miskin untuk mengenal ilmu dan menemukan hidup itu sendiri sejak masih kanak-kanak. Dia tidak berilusi bahwa mendidik anak-anak dengan pikiran seperti yang diembannya itu bisa dilepaskan dari seluruh lingkungan sosial dan politik di kelilingnya.
Pada dasarnya, Romo Mangun adalah seorang rohaniwan. Akan tetapi agama baginya bukan suatu doktrin. Baginya agama adalah hubungan manusia dengan Sang Khalik, dan kehidupan itu sendiri.Â
Dalam pengertian itu yang paling menentukan baginya bukan religi yang lebih mementingkan organisasi dan formalitas. Organisasi memberikan batas-batas, formalitas memberikan rumusan-rumusan yang pada dasarnya tidak lain dari batas-batas. Akan tetapi religiositas tidak sempit.Â
Religiositas membuka batas, menyatukan. Dalam hubungan itu apa yang dikatakan Kiai Haji Said Aqil Siraj pada Seminar di Istora Senayan 6 September 1998 sangat tepat.Â
Pada seminar bersama Romo Mangun, Kiai Aqil Siraj mengatakan: "Saya seagama dengan Soeharto tetapi kami tidak seiman. Saya berbeda agama dengan Romo Mangun, akan tetapi kami seiman."
Romo Mangun sampai akhir hayatnya, adalah seorang aktivis politik. Naluri berpolitiknya sangat tajam. Atau lebih tepat bila dikatakan bahwa nalurinya sebagai seorang aktivis politik hampir tak tertandingkan. Dia menyatukan semua yang dikatakan di atas di dalam suatu praktik hidup. Apa yang menjadi pandangan sastranya diterjemahkan ke dalam politiknya. Apa yang menjadi pandangannya dalam Pendidikan diterjemahkan ke dalam politiknya. Apa yang menjadi pandangan agamanya diterjemahkan ke dalam politiknya. Bahkan apa yang diyakininya dalam arsitekturnya diterjemahkan ke dalam politiknya.
Romo Mangun tidak pernah bermimpi untuk mencari dan memegang kekuasaan. Tetapi dengan itu dia menjadi kritik kekuasaan yang sangat efektif. Di dalam seluruh peristiwa yang menggemparkan ketika ribuan petani seperti dihanyutkan air Kedungombo, dia praktis tampil berada di balik rakyat biasa yang akan dihancurkan itu dan berbaur dengan mereka untuk membelanya.
Ketika bangunan yang dirancang dan didirikannya, di Kali Code, Yogyakarta, terancam akan digusur pemerintah, dia memberikan protes terbuka dan mengancam akan melakukan mogok makan sampai mati. Yang terjadi kelak adalah seluruh program pemerintah itu dibatalkan.
Aktivitas politik pribadinya sebelumnya ajal merenggutnya, adalah komitmen penuh bagi reformasi. Sebagai reformis sejati semuanya ditarik menjadi karya pribadinya.Â
Dalam salah satu bentuknya dia menulis surat pribadi yang sangat menyentuh kepada Presiden Habibie. Dia mengajak presiden untuk menyelenggarakan suatu pemilihan umum yang ditangani lembaga independen. Namun, dari semuanya adalah keterlibatan pribadinya secara penuh dalam politik Timor Timur.Â
Timor Timur adalah suatu tragedi. Bagi Indonesia sendiri kasus Timor Timur adalah kekeliruan. Dia mendesak presiden agar Indonesia harus berubah pandangan dan menghentikan kekerasan di Timor Timur untuk menjaga muka di depan dunia internasional.
Kini pribadi besar itu sudah berpulang. Apakah karya besar pribadi besar seperti ini bisa diwariskan? Karyanya adalah warisan abadi. Kepribadiannya mungkin tidak bisa diwariskan. Konsistensi seorang pribadi besar seperti Romo Mangun tidak mudah diwariskan begitu saja kepada seseorang atau satu lembaga sekalipun.Â
Acara "Ngobras Hidup dan Karya Romo Mangun" di Bentara Budaya Jakarta, adalah bentuk kecil terima kasih dan kenangan kita pada kehadiran sosok besar YB Mangunwijaya bagi Indonesia. Semoga kita semua bisa terus mewarisi dan menghidupi kembali semangat Romo Mangun sebagai guru bangsa, guru kemanusiaan dan guru iman.Â
Gus Dur sahabat Romo Mangun yang amat dekat, pada hari wafat Romo Mangun 10 Februari 1999, di harian Kompas mengenang sahabatnya itu demikian:
Kini Romo Mangun telah tiada. Kita kehilangan salah seorang tokoh humanis, seorang kritikus sosial yang andal sekaligus seorang pejuang agama yang gigih. Dunia terasa kosong tanpa kehadirannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H