Kedua:
Tatkala seseorang memberat-beratkan dirinya untuk melaksanakan kekhusyu'an pada anggota badannya sedangkan hatinya kosong dari kekhusyu'an maka itu adalah khusyu' kemunafikan atau khusyu' pura-pura, berdasarkan dua riwayat yang isinya senada.
Hadits Riwayat Al-Baihaqi[xx] dan Ahmad[xxi] dari Abu Darda yang mengatakan, "Mintalah perlindungan kepada Allah dari khusyu' kemunafikan". Abu Darda ditanya, "Apa khusyu' kemunafikan itu?" Beliau menjawab, "Badan terlihat khusyu' tetapi hati tidak." Syaikh Al-Albani saat mentahqiq hadits tersebut dalam kitab Al-Iman karya Ibnu Taimiyyah mengatakan, "Riwayat Abu Darda adalah mauquf"[xxii].
Adapun Riwayat Al-Baihaqi[xxiii] dan Al-Hakim At-Tirmidzi[xxiv] dari Abu Bakar Ash-Shiddiq bahwa Rasulullah saw. mengatakan, "Berlindunglah kepada Allah dari khusyu' kemunafikan". Mereka bertanya, "Ya Rasulullah apakah khusyu' kemunafikan itu?" Beliau menjawab, "Badan khusyu' dan hati munafik (tidak Khusyu')", adalah hadits dha'if dikarenakan Al-Harits bin Ubaid didha'ifkan oleh Ahmad dan Ibnu Ma'in[xxv].
Ketiga:
Dari definisi yang dikatakan oleh Ibnu Katsir di atas, bahwa seseorang yang sedang melaksanakan shalat dengan khusyu' dia tetap mendengar, melihat dan merasakan apa yang terjadi di sekitarnya serta memahami seluruh aktivitas shalat dan bacaannya. Kekhusyu'an dalam shalat menghilangkan perasaan dan pikiran-pikiran serta gerakan yang tidak berhubungan dengan shalat yang sedang ia lakukan.
Kalaulah seseorang melakukan gerakan di luar gerakan shalat maka hal itu untuk menjaga kekhusyu'annya. Seperti menggaruk badan karena gatal, karena kalau dia tidak menggaruknya maka akan terus mengganggu kekhusyu'annya, begitu pula gerakan-gerakan yang lain asalkan tidak sampai membatalkan shalatnya.
Wallahu a'lam bish shawab.
Catatan Kaki
i Sebagai contoh, Ibnul Qayyim menyatakan,
ولم يكن من هديه صلى الله عليه و سلم تغميض عينيه في الصلاة