Namun demikian, jika dicermati hampir semua batasan sikap memiliki kesamaan padang, bahwa sikap merupakan suatu keadaan internal atau keadaan yang masih ada dalam dari manusia. Keadaan internal tersebut berupa keyakinan yang diperoleh dari proses akomodasi dan asimilasi pengetahuan yang mereka dapatkan, sebagaimana pendapat Piaget’s tentang proses perkembangan kognitif manusia. Keyakinan diri inilah yang mempengaruhi respon pribadi terhadap obyek dan lingkungan sosialnya. Jika kita yakin bahwa mencuri adalah perbuatan tercela, maka ada kecenderungan dalam diri kita untuk menghindar dari perbuatan mencuri atau menghidar terhadap lingkungan pencuri. Jika seseorang meyakini bahwa dermawan itu baik, maka mereka merespon positif terhadap para dermawan, dan bahkan mungkin ia akan menjadi dermawan.
Sekilas, di atas terlihat bahwa antara sikap dan perilaku ada kesamaan. Oleh karena itu, psikolog sosial, seperti Morgan dan King, Howard dan Kendler, serta Krech dkk., mengatakan bahwa antara sikap dan perilaku adalah konsisten. Apakah selalu bahwa sikap konsisten dengan perilaku? Seharusnya, sikap adalah konsisten dengan perilaku, akan tetapi karena banyaknya faktor yang mempengaruhi perilaku, maka dapat juga sikap tidak konsisten dengan perilaku.
Dalam keadaan yang demikian terjadi adanya desonansi nilai. Para psikolog, di antaranya Morgan dan King, Howard dan Kendler, Krech, Crutchfield dan Ballachey, mengatakan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan hereditas. Faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku adalah beragam, di antaranya pendidikan, nilai dan budaya masyarakat, politik, dan sebagainya. Sedang faktor hereditas merupakan faktor bawaan seseorang yang berupa karunia pencipta alam semesta yang telah ada dalam diri manusia sejak lahir, yang banyak ditentukan oleh faktor genetik. Kedua factor secara bersama-sama mempengaruhi perilaku manusia. Jika kita ingin menumbuhkan sikap, kita harus memadukan faktor bawaan berupa bakat dan factor lingkungan pendidikan dan belajar. Pandangan ini sejalan dengan hokum konvergensi perkembangan yang menyeimbangkan antara faktor bawaan dengan faktor lingkungan, tanpa mengorbankan satu faktorpun.
Jika seorang pendidik menginginkan menumbuhkan sikap sasaran didik, Â seharusnya mengetahui bakat yang ada pada sasaran didik, keinginan sasaran didik, nilai dan pengetahuan yang seharusnya didapat sasaran didik, serta lingkungan lain yang kondusif bagi penumbuhan sikap mereka, termasuk lingkungan politik. Keadaan ini sulit dilakukan, tetapi harus diusahakan. Jika kita ingin pendidikan berkembang dan bermanfaat bagi masyarakat, maka kita tidak boleh diam. Apapun hasilnya, pendidik harus berusaha melakukan inovasi proses pendidikan. Perlu disadari, bahwa segala sesuatu membutuhkan proses yang cukup panjang untuk mencapai suatu keberhasilan.
Sebagaimana diketahui oleh umum, bahwa sistem pendidikan kita masih bersandar pada prinsip, teori, dan konsep behavioristik. Konsep dan teori terbut jika diaplikasikan dalam pendididikan kejuruan dan profesi, sudah tidak relevan lagi.
Model pendidikan klasikal, seperti yang sekarang ini banyak diterapkan, berangkat dari konsep behavioristik, sulit untuk menumbuhkan sikap wirausaha. Pada masa pembangunan, seperti terjadi di negara kita pada saat ini, sangat membutuhkan tenaga wirausahawan untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan demikian, manakala kita masih mempertahankan model pendidikan behavioristik, tidak akan mampu menumbuhkan wirausahawan yang menjadi pelaku pembangunan ekonomi nasional yang handal. Dengan demikian, perubahan sistem dan model pendidikan, khususnya dalam pendidikan bisnis, perlu dilakukan, yang mengarah pada pembelajaran kewirausahaan.
2. Â Menumbuhkan dan Mengembangkan Sikap
Bagaiman sikap dapat ditumbuhkan? Seperti di atas dijelaskan, bahwa sikap dapat ditumbuhkan dan dikembangkan melalui proses belajar. Dalam proses belajar tidak terlepas dari proses komunikasi dimana terjadi proses transfer pengetahuan dan nilai. Jika sikap merupakan hasil belajar, maka kunci utama belajar sikap terletak pada proses kognisi dalam belajar siswa. Menurut Bloom, serendah apapun tingkatan proses kognisi siswa dapat mempengaruhi sikap (Munandar, 2002). Namun demikian, tingkatan kognisi yang rendah mungkin saja dapat mempengaruhi sikap, tetapi sangat lemah pengaruhnya dan sikap cenderung labil.
Proses kognisi yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan sikap secara signifikan, sejalan dengan taksonomi kognisi Bloom, adalah pada taraf analisis, sintesis, dan evaluasi. Pada taraf inilah memungkinkan sasaran didik memperoleh nilai-nilai kehidupan yang dapat menumbuhkan keyakinan yang merupakan kunci utama untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap. Melalui proses akomodasi dan asimilasi pengetahuan, pengalaman, dan nilai ke dalam otak sasaran didik, seperti pendapat Pieget, pada gilirannya akan menjadi referensi dalam menanggapi obyek atau subyek di lingkungannya.
Pertanyaan yang muncul, apakah semua informasi dapat mempengaruhi sikap?
Tidak semua informasi dapat mempengaruhi sikap. Informasi yang dapat mempengaruhi sikap sangat tergantung pada isi, sumber, dan media informasi yang bersangkutan. Dilihat dari segi isi informasi, bahwa informasi yang menumbuhkan dan mengembangkan sikap adalah berisi pesan yang bersifat persuasif. Dalam pengertian, pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi haruslah memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keyakinan sasaran didik, meskipun sebenarnya keyakinan tersebut akan didapat siswa sendiri melalui proses belajar. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa untuk dapat memberikan pesan yang persuasif kepada sasaran didik haruslah dibawa pada obyek telaah melalui proses penganalisaan, pensintesisan, serta penilaian, yang dilakukan sasaran didik untuk memperoleh keyakinan. Langkah ini akan dapat berhasil manakala dilaksanaan secara individual, dan dibawa ke model belajar sambil bekerja yang selaras dengan motivasi, minat dan bakat sasaran didik.