Driyarkara selalu menekankan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah proses memanusiakan manusia menuju taraf insani. Dan, manusia adalah sebuah sosok sinergis yang harus dikembangkan. Akhirnya, pembelajaran yang mendidik bukanlah sekedar proses transfer ilmu belaka tetapi menjadi proses pendampingan anak didik secara utuh dengan menyeimbangkan aspek kognitif (Head), afektif, (Heart), dan psikomotorik (Hand).
Celakanya, pendidikan kita sangat dominan dengan satu aspek saja, yakni mengembangkan kognitif belaka. Anak didik dicekoki dengan begitu banyak mata pelajaran yang begitu banyak pula materi yang harus dipahami. Pendidikan kita semakin parah tatkala anak didik harus menentukan nasib mereka di sekolah lewat ujian-ujian yang juga sangat condong pada aspek kognitif.Â
Pendidikan kita hanya bertujuan membentuk anak-anak menjadi orang pintar dengan nilai (skor) tinggi dan khususnya lulus ujian sesuai batas minimal kelulusan.Â
Aspek nurani (heart) dan kepedulian (hand) mulai tergadaikan dengan kebijakan politis yang ada. Bisa jadi, apa yang dilakukan oleh John Keating akan menjadi sebuah musuh besar dari pendidikan Indonesia.
Sekolah bukanlah pabrik pendidikan yang akan menghasilkan robot-robot pendidikan dengan standar mutu tertentu sesuai standar pemerintah. Sekolah adalah tempat belajar anak-anak dengan keragamannya.Â
Sangat salah kaprah ketika mutu pendidikan seorang anak ditentukan dan dikontrol dengan standar mutu ujian. Menghadirkan pembelajaran ala John Keating adalah sebuah nafas kehidupan yang bisa menjaga kesinergisan pendidikan itu dalam pembelajaran yang sinergis pula.
Sekolah dan masyarakat bukanlah sesuatu yang terpisah. Dengan mengkombinasikan keduanya dalam sebuah pembelajaran adalah sebuah media yang baik untuk membantu anak cerdas dalam pikiran, halus dalam nurani, dan peka dalam kepedulian.Â
Bukan sebuah aib atau pun hal yang tabu, ketika guru harus menembus tembok kelas bahkan sekolah untuk memberi kesempatan pada anak-anak belajar akan kehidupan ini.
Ketika guru berani melakukan itu semua demi anak didik, yakinlah anak-anak itu pun akan berseru balik dengan "O Captain! My Captain!" Hal itu adalah sebuah penghargaan atas keberanian para guru membantu mereka menjadi manusia utuh. Carpe Diem!
 Pendidikan Humanis: diambil dari sebuah buku yang berjudul #The_Educatorship, Seni Memanusiakan Wajah Pendidikan, yang ditulis oleh FX Aris Wahyu Prasetyo, 2016, PT Kanisius, Yogyakarta. Nilai-nilai humanis yang sangat kental dalam kisah-kisah yang tertuang dalam buku ini patut untuk dibagikan ulang sebagai inspirasi dan motivasi mengembangkan pendidikan dewasa ini. Pendidikan sejatinya memanusiakan manusia menuju taraf insani, maka mari mengembangkan humanisme dalam dunia pendidikan secara kontekstual, bermakna, dan reflektif.Â
@Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H