Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Humanis (3): Kembali ke Masyarakat, Pedulinya Pembelajaran

1 September 2021   04:05 Diperbarui: 1 September 2021   04:03 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku #The_Educatorship, 2016.

Pendidikan bisa menjadi penghalang besar atas berkembangnya peradaban manusia yang humanis ketika tidak berani menembus batas kemapanan. Saatnya pendidikan membiasakan anak-anak dengan rasa peduli pada sesama.

Teringat dengan sekolah Tomoe Gakuen, sekolah di gerbong kereta di mana Totto-Chan belajar, ada harapan besar mengambil spirit pembelajaran di sekolah itu.  Di sekolah itu anak didik  belajar tentang persahabatan, rasa hormat, menghargai orang lain, mandiri, dan memiliki kebebasan menjadi diri sendiri lewat dinamika dan pengalaman hidup secara nyata. 

Bukan bergelut dengan hafalan teori-teori membosankan dan drill latihan untuk menghadapi ujian. Sekolah Tomoe Gakuen justru menjadi kerinduan bagi anak-anak di saat malam mulai tiba. Ingin rasanya pagi segera datang dan kembali ke sekolah untuk belajar. 

Hal ini sangat kontras dengan sekolah di negeri kita tercinta ini. Sekolah menjadi sosok yang membosankan dan melelahkan serta menjadi monster yang menakutkan. Ingin sekali anak-anak segera mengucapkan "Selamat Tinggal Sekolah".

Menembus Tembok Kelas

Terinspirasi dari film Dead Poets Society yang dibintangi oleh aktor terkenal Robin Williams  yang menjadi guru Bahasa Inggris, John Keating namanya, ada konsep baru untuk menembus tembok kelas dalam pembelajaran. Kadangkala tembok kelas telah memenjarakan pengembangan kemampuan anak didik dengan teori-teori yang ampuh pada jamannya. 

Guru Keating telah mendobrak banyak hal tentang kebiasaan dan tradisi di sekolah itu. Dia mengatakan bahwa para siswa boleh memanggil dia dengan "O Captain! My Captain!" jika mereka merasa tertantang dan berani. Sebutan itu merupakan judul dari puisi Walt Whitman. Ini adalah cara yang unik dan tidak lazim di sekolah itu. Tidak berhenti sampai di situ.

Dead Poets Society. www.esquire.com
Dead Poets Society. www.esquire.com
Pertama kali dia masuk kelas, dia jalan santai dengan menyiulkan sebuah musik intro dari tahun 1812-an lalu mengajak para siswa keluar kelas untuk fokus tentang sebuah ide "Carpe Diem" (Bahasa Latin untuk Seize the day) dengan melihat foto-foto siswa Welton yang sudah lulus yang dipajang di lemari tropi. Dia mengantar para siswa pada sebuah permenungan dan refleksi tentang hidup. 

Itu semua dia lakukan untuk mengajarkan kualitas puisi yang ada dalam essainya Dr. J. Evans Pritchard, Phd yang berjudul "Understanding Poetry" dengan cara lain.

Keating benar-benar membuka kesadaran kita bahwa pembelajaran itu sangat luas. Kelas dan buku bisa menjadi penjara tatkala keduanya dijadikan fokus utama dalam pembelajaran. Di luar kelas ada begitu banyak materi pembelajaran yang justru menghubungkan antara ilmu pengetahuan dan kehidupan itu sendiri. 

Anak-anak tidak hanya belajar tentang kehebatan teori belakan tetapi lebih dari itu mereka belajar tentang seni menjalani hidup ini. Dead Poets Society dengan apa yang dilakukan guru Keating menjadi sebuah visualisasi yang hebat akan pembelajaran yang menembus tembok kelas.

Kembali ke Masyarakat

Seorang guru Keating versi Indonesia, sang guru, pun sedang berjalan dengan santai menuju kelas Bahasa Indonesia. Tak lama dia bicara dengan para siswa di depan kelas, tampak para siswa keluar kelas berdua-dua. Lebih heran lagi, para siswa itu juga keluar tembok sekolah melalui gerbang utama sekolah. Ke manakah mereka? Apa yang akan mereka lakukan?

Setelah hampir empat puluh menit semuanya itu berjalan, tampak para siswa mulai memasuki kelas kembali. Lalu, apa yang mereka bawa dari luar sekolah? Beberapa saat kemudian tampak seorang siswa menceritakan pengalamannya saat keluar sekolah. 

Dengan suara yang halus, dia begitu runtut menyampaikan proses komunikasi dia dengan masyarakat menengah bawah yang ada di sekitar sekolah. Dia bersama temannya sempat berbincang-bincang dengan penjual mie ayam. 

Dan mereka berdua merasa bahwa perjuangan penjual mie ayam itu begitu berat karena uang seribu rupiah sangat berarti baginya, beda dengan dia yang setiap hari mendapat uang saku lima ribu dengan mudah.

Ada juga siswa yang bercerita tentang tukang becak yang dia ajak berbincang-bincang. Dia bersama temannya dibuat kaget sekaligus kagum pada bapak itu karena bapak itu dalam sehari hanya mendapat 15.000 sampai 30.000 tapi dia bisa menghidupi keluarganya dan juga menyekolahkan tiga orang anaknya. 

Mereka begitu kagum akan perjuangan bapak becak itu karena bapak itu menginginkan anak-anaknya harus tetap sekolah walau penghasilannya sedikit.

Masih begitu banyak kisah yang didapat para siswa ketika mereka belajar tentang kehidupan di luar sekolah.

Mereka tidak hanya sekedar belajar tentang materi wawancara dan menulis laporan yang menjadi pokok bahasan Bahasa Indonesia siang itu tetapi yang lebih penting dan bermanfaat adalah mereka belajar tentang perjuangan hidup dan bagaimana mereka mesti menghargai hidup mereka sendiri.

Pembelajaran Sinergis

Driyarkara selalu menekankan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah proses memanusiakan manusia menuju taraf insani. Dan, manusia adalah sebuah sosok sinergis yang harus dikembangkan. Akhirnya, pembelajaran yang mendidik bukanlah sekedar proses transfer ilmu belaka tetapi menjadi proses pendampingan anak didik secara utuh dengan menyeimbangkan aspek kognitif (Head), afektif, (Heart), dan psikomotorik (Hand).

Celakanya, pendidikan kita sangat dominan dengan satu aspek saja, yakni mengembangkan kognitif belaka. Anak didik dicekoki dengan begitu banyak mata pelajaran yang begitu banyak pula materi yang harus dipahami. Pendidikan kita semakin parah tatkala anak didik harus menentukan nasib mereka di sekolah lewat ujian-ujian yang juga sangat condong pada aspek kognitif. 

Pendidikan kita hanya bertujuan membentuk anak-anak menjadi orang pintar dengan nilai (skor) tinggi dan khususnya lulus ujian sesuai batas minimal kelulusan. 

Aspek nurani (heart) dan kepedulian (hand) mulai tergadaikan dengan kebijakan politis yang ada. Bisa jadi, apa yang dilakukan oleh John Keating akan menjadi sebuah musuh besar dari pendidikan Indonesia.

Sekolah bukanlah pabrik pendidikan yang akan menghasilkan robot-robot pendidikan dengan standar mutu tertentu sesuai standar pemerintah. Sekolah adalah tempat belajar anak-anak dengan keragamannya. 

Sangat salah kaprah ketika mutu pendidikan seorang anak ditentukan dan dikontrol dengan standar mutu ujian. Menghadirkan pembelajaran ala John Keating adalah sebuah nafas kehidupan yang bisa menjaga kesinergisan pendidikan itu dalam pembelajaran yang sinergis pula.

Sekolah dan masyarakat bukanlah sesuatu yang terpisah. Dengan mengkombinasikan keduanya dalam sebuah pembelajaran adalah sebuah media yang baik untuk membantu anak cerdas dalam pikiran, halus dalam nurani, dan peka dalam kepedulian. 

Bukan sebuah aib atau pun hal yang tabu, ketika guru harus menembus tembok kelas bahkan sekolah untuk memberi kesempatan pada anak-anak belajar akan kehidupan ini.

Ketika guru berani melakukan itu semua demi anak didik, yakinlah anak-anak itu pun akan berseru balik dengan "O Captain! My Captain!" Hal itu adalah sebuah penghargaan atas keberanian para guru membantu mereka menjadi manusia utuh. Carpe Diem!

 

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
@ Pendidikan Humanis: diambil dari sebuah buku yang berjudul #The_Educatorship, Seni Memanusiakan Wajah Pendidikan, yang ditulis oleh FX Aris Wahyu Prasetyo, 2016, PT Kanisius, Yogyakarta. Nilai-nilai humanis yang sangat kental dalam kisah-kisah yang tertuang dalam buku ini patut untuk dibagikan ulang sebagai inspirasi dan motivasi mengembangkan pendidikan dewasa ini. Pendidikan sejatinya memanusiakan manusia menuju taraf insani, maka mari mengembangkan humanisme dalam dunia pendidikan secara kontekstual, bermakna, dan reflektif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun