Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Senja (47): Mengisi "Gelas Baru"...

11 Maret 2021   04:04 Diperbarui: 11 Maret 2021   04:17 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia dipenuhi berbagai warna dengan segala kombinasinya yang menyelaraskan mata dan rasa dalam sebuah keserasian dan kekaguman. Terkadang warna itu menjadi pudar dan hilang meninggalkan cerita dan harapan. Hidup manusia pun penuh warna dan ada kalanya pudar, manusia kuat siap menghadapinya.

Malam ini, hatiku rasanya sedih sekali, hingga aku tak berani keluar kamar. Aku mengurung diri, duduk dekat jendela sembari menatap langit malam. Rasanya tenang sekali mengobrol bersama bintang-bintang. Aku menggenggam sebuah buku berwarna biru, usang sekali penampakannya. 

Namun di dalamnya, tersimpan ribuan kata yang teruntai membentuk cerita kehidupanku. Dari halaman pertama, mengingatkanku ketika pertama kali mendapatkan sepeda dari ayah ketika naik kelas 3 SD. Hingga halaman terakhir, yang baru saja terisi tulisanku, yang membuat air mataku mengalir.

Baru sore tadi, aku dan Jo, mantan kekasihku, berpisah. Kami berjanji untuk bertemu di Menara Bata, di sebelah Sungai Biru. Perjalananku cukup jauh dari rumah, tetapi menara itu tempat kesukaan kami. Menara Bata inilah yang menjadi saksi revolusi kisah kami. 

Di sana ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Padahal, awal aku datang menunggunya, aku sangat antusias. 

Sembari memandang Desa Coklat di bawah menara dan bermain ilalang di halaman rooftop menara. Namun ternyata, bukan hal baik yang kutunggu, tetapi kedatangannya mematahkan hatiku.

Ah, sudahlah. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Aku tidak akan larut dalam kesedihan. Tiba-tiba ibu berteriak dengan suara yang terdengar panik dari luar kamarku, "Nak, Lala kecelakaan. Apa kamu tidak akan keluar untuk menjenguknya?" 

Aku kaget dan menghentikan tangisku. Ketika aku hendak beranjak berdiri, aku tambah terkejut karena tanganku sudah penuh dengan luberan tinta. Kemudian aku hanya membersihkannya sebentar dan pergi ke rumah sakit. 

Ketika sampai, ibu Lala menceritakan bagaimana kronologinya di jalan raya. Batinku, pantas tadi masih ada darah segar mengalir walau sudah ditutup Koran setelah daun lebar di tempat kejadian. Sambil menunggu dokter, aku menemani ibu yang menangis tanpa koma di dalam pelukanku.

Dokter keluar dari ruangan dan kami menghampirinya segera. Dokter tidak mengatakan apa pun pada kami. Ia hanya memberi hormat sembari menundukkan badannya. Dan saat itu pun tangisanku sungguh pecah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun