Lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan formal, dan rendahnya kadar pengakuan pemerintah terhadap sistem pemerintahan tradisional yang pernah ada, merupakan dasar terjadinya bebagai persoalan yang sering menghadapkan dua elemen sosial yakni : pemerintah formal dan pemerintahan adat.Â
Persoalan tanah misalnya, kadang secara kwantitatif persentasi rumitnya sangat kecil bila dilihat dari perspektif pemerintah, namun bila dilihat dari perspektif kultur masyarakat adat yang bersangkutan begitu rumit.
Hal ini didasarkan pada dua cara berpikir yang dilatari oleh setting kultur yang berbeda. Pemerintah daerah memiliki tradisi-tradisi dalam menyelesaikan berbagai masalah pemerintahanya.
Sedangkan masyarakat dalam kapasitasnya sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum adat (pemerintah adat), sudah memiliki berbagai kebiasaan dalam menyelesaikan masalah.
Dalam konteks Ilmu pemerintahan versi Kybernologi, pemerintahan dilihat sebagai suatu gejala sosial yaitu hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah (hubungan pemerintahan). Pengertian sosilogis ini menempatkan dua komponen utama dalam poses pemerintahan yaitu : pemerintah dan masyarakat sebagai pihak yang diperintah.Â
Pola hubungan ini menunjukan bahwa antara pemerintah dengan masyarakat berada dalam kerangka interaksi yang tidak vertikal tetapi horisontal dengan menekankan aspek interdependency. Namun ketika pemerintahan dalam tataran normatif-praktis, pola ini mengalami pergeseran menjadi vetikal dan subordinat.
Masyarakat tersubodinasi ke dalam praktek otonomi dengan luasnya kewenangan formal pemerintah. Masyarakat terdominasikan ke dalam struktur pemerintahan formal sehingga otonomi daerah ini dipahami sebagai otonominya pemerintah bukan otonomi masyarakat. Budaya masyarakat kadang menjadi kambing hitam kegagalan pembangunan. Budaya dianggap sulit berubah.
Menghadapi pandangan demikian penulis menawarkan konsep "revitalisasi sistem masyarakat adat yang selama ini ada menurut eksistensi dirinya", dan rekontekstualisasi adat di dalam hubungan pemerintahan" sehingga secara proporsional mereka memiliki trilogi ketaatan yang proporsional yakni kepada "Tuhan, Kaisar, dan kepada leluhurnya".Â
Dalam penelitian di Lio Signe Howell mengatakan bahwa "orang Lio itu telah memberi kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar, dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah, dan selanjutnya kepada embu Mamo apa yang menjadi hak Embu Mamo (ancestor)". Pemerintah secara organisatoris harus mulai membangun budaya pemerintahanya secara apolitis".Â
Secara inisiatif, semua masyarakat adat dan pemimpin adatnya harus memiliki komitmen mengembangkan potensi dan kekuatan budaya yang ada di dalam dirinya.
Semua unit pemerintahan adat yang pernah ada hendaknya kembali dibina untuk menemukan jati dirinya dengan mengembangkan kebijakan pemerintah tentang pembentukan unit-unit pemerintahan lokal formal yang akomodatif terhadap unit-unit pemerintahan adat itu.Â