Cara berpikir masyarakat sudah mengarah kepada tidak sekedar pada karena adanya sebab akibat tetapi lebih daripada itu, mereka telah menyadari suatu proses sosial yang harus diikuti secara cermat, karena ia tidak dapat digeneralisir, unik dan mengandung nilai-nilai tersendiri.Â
Pada masa lalu proses penyerahan tanah berjalan tanpa persoalan berarti. Namun pada tahun-tahun teakhir ini menjadi persoalan yang begitu rumit. Mosalaki dengan otoritas kulturalnya menyerahkan kepada pemerintah, dan pemerintah dengan otoritas formal menerima sebidang tanah melalui ceremoni adat versi Mosalaki.
Selanjutnya melalui ceremoni formal, pemerintah menetapkan produk legalitas antara hak dan kewajiban atas tanah menurut peraturan perundangan yang berlaku.
Proses ini menghadapkan dua komponen sosial yang secara institusional harus dibedakan secara tegas. Mosalaki adalah pemimpin kolegial dalam sistem pemerintah adat.
Pemerintah adalah unsur penyelenggara pemerintahan dalam sistem pemerintahan Nasional. Di sini terbangun suatu tradisi bersama yang lebih banyak unsur konvensionalnya lalu diterapkan unsur literannya.
Terapan tradisi literan ini kemudian mengalami pelemahan secara kultural manakala nilai formal yuridisnya menjadi semakin tidak kuat, padahal telah menjadi bukti hukum yang sah sekalipun telah ditandatangani oleh para pihak dan pejabat yang berwenang.Â
Berbagai berita acara penyerahan tanah, sekalipun sertifikat tanah yang sah dan resmipun tak dihirauklan ketika persoalan tanah mengemuka. Orang Lio tidak akan mundur selangkahpun untuk mempertahankan tana watunya walau sudah diserahkan dan telah memiliki bukti hukum yang formal dan sah.Â
Alasan kultural yang sudah lazim bahwa proses pemindahan hak atas tanah pada suatu masa lalu, tidak melibatkan unsu-unsur adat secara utuh. Pemilikan tanah di Lio umunya adalah milik persekutuan sehingga segala peristiwa yang terjadi di atasnya harus melibatkan seluruh komponen persekutuan yang ada.Â
Bahasan ini tidak untuk membedah aspek hukum daripada pesoalan tanah, tetapi mencoba mengemukakan suatu analisis atas fenomena kultur dalam menghadapi masalah-masalah tanah yang akhir-akhir ini terjadi. Sistem kepemimpinan kolegial dengan struktur dan kewenangan konvensional sering menjadi persoalan.Â
Pola pembagian hak garap, dan hak milik di atas tanah adat yang belum memiliki kekuatan hukum adat karena prosedur dan mekanisme kultural yang pernah dibuat melemah kadar resiliensinya, dan jarang dilakukan lagi.
Mosalaki sebagai pemimpin adat kurang memiliki taring adat lagi karena kecenderungan sekularisme yang melemahkan unsur kekuatan magis dan kurang disegani oleh ana kalo fai walu. Cara berpikir masyarakat adat yang sangat didominasi oleh cara berpikir strukturalis dan normatif.