Mohon tunggu...
Marthinus Selitubun
Marthinus Selitubun Mohon Tunggu... Penulis - Hanya seorang hamba

Seorang warga dari Keuskupan Agats Asmat, Papua. Mencoba menginspirasi orang-orang terdekat lewat doa dan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Albertus dan Seekor Anjing

16 November 2019   22:56 Diperbarui: 16 November 2019   23:12 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Albertus, 62 tahun, adalah salah seorang bapak tua yang terkenal sangat aktif. Saking aktifnya semua kegiatan yang diselenggarakan, baik oleh gereja dan pemerintah, selalu diikutinya. Selain sebagai bapak keluarga, dia juga terlibat di sekolah sebagai guru bantu, bahkan ikut serta dalam semua kegiatan Orang Muda yang diselenggarakan gereja dan pemerintah, 

Luar biasa si bapak ini, kataku dalam hati. 

Rumahnya yang terbuat dari papan terlihat sangat asri, karena terletak di lekukan sungai kecil dan dihiasi puluhan pohon kelapa. Bahkan ada perahu tradisional di dermaga kecilnya. Kebunnya selalu menjadi sasaran hampir semua petugas pastoral saat berkunjung ke desanya. 

Tomat, cabe, singkong, atau sayur sesawi, dan lain lain, adalah hal-hal yang selalu menghiasi kebunnya. Dia juga bisa membuat ikan asin, berburu, dan masiiiih banyak lagi. Hampir semua orang di pesisir wilayah pantai selatan mengenal dia. 

Pribadinya yang terbuka dengan semua petugas pastoral dan pemerintah, menjadikannya pemimpin ulung di desa. Soal kerja, jangan ditanya. Bapak Albertus selalu nomor satu dalam bekerja. 

Semangatnya bisa menulari seisi kampung, lho !. Anak-anak bisa dibubarkan dari sekolah jika pastor akan berkunjung untuk merayakan ekaristi. 

Bahkan para ibu yang sedang menjaring ikan di pantai pun, bisa bergegas ke kampung meninggalkan jaringnya di atas pasir berlumpur, ketika mendengar Albertus berteriak "hoiiiiiii...mace-mace, kamu semua bubar.... pastor su datang untuk misa ini...!!". Orang desa yang memiliki jiwa kepemimpinan yang luar biasa, pujiku tak habis-habis. 

Di suatu pagi yang cerah saya sedang bekerja dengan beberapa anak muda di rumah pastoran. Sambil memotong kayu api, tiba-tiba terdengar ada ketukan di pintu belakang.

"Hallo anak pater, selamat siang anak pater... apa kabar?"

"Eh, Bapak Albertus.... masuk!", kataku mengajak dia masuk ke dalam pastoran dan meminta seorang anak muda membuatkan kopi kental manis kesukaannya. 

Setelah berbincang sejenak, beliau berkata,

"Pater, anak saya ulang tahun hari ini, saya bawa satu ekor anjing besar. Saya belum toki. Hanya dua ratus ribu, pater..", jawab Albertus ketika ditanya apa yang ada di dalam karung yang dipanggulnya.

"Wah, Bapak..dormom. Dor ense wapak oo..... Uang saya tidak ada. Uang di Agats", kata saya sembari meminta maaf sambil sambil memegang tangannya.
"ah...anak Pater....tidak-tidak apa. Saya coba tawarkan ke guru-guru nanti, pasti laku", jawabnya penuh keyakinan. 

Sebelum dia beranjak pergi segera kuambil sepuluh ribu rupiah, sebungkus gula dan rokok, dan sebotol air minum, lalu  memberikannya kepadanya.

"Bapa, maaf ya".

Kulihat matanya memerah.

"Ini sedikit bekal saat jalan kaki pulang nanti ya, bapa", kata saya sambil tak lupa mengusulkan agar lebih baik anjingnya di bawah ke lokasi perumahan guru, kalau-kalau ada yang berminat.

Pada sore hari sekitar pukul 16.00 saya dan beberapa anak muda memutuskan untuk mencangkul dan membersihkan kebun kecil di depan rumah pastoran kami. Tidak lama kemudian lewatlah Albertus. 

Di pundaknya masih terlihat karung yang sama. Saya pun merasa kaget dan penasaran karena hari sudah sore dan dia masih belum kembali ke kampungnya.


"Selamat sore bapa, belum pulang?"
"Slamat sore apaaaa  !! Anak pater ko tidak baik! Ko tidak mau ambil anjing saya", teriak Bapak Albertus tanpa menoleh ke arah kami.
"Ah..bapa...saya tadi kan sudah bilang ... uang tidak ada", jawab saya sambil tertawa karena melihat si bapak mencibirkan bibirnya. 

"Terus,...kalau beli siapa yang akan makan ?".  Anak-anak muda yang ada di dekat pastoran mulai tertawa terbahak-bahak.


"Kalian pastor-pastor Indonesia ini sombong sekali. Kalian tidak bisa makan anjing sedikit, kah?. Saya tahu bahwa hanya pastor bule-bule yang tidak makan anjing. Anak pater kau bukan bule....Kamu terlalu!!, teriaknya sambil bergegas menuju ke perumahan guru yang lain.


Melihat tingkahnya sore itu, kami tidak bisa berhenti tertawa. Saya dibilang keterlaluan karena tidak membeli anjingnya. Beberapa anak muda menambahkan, "tidak usah dipikirkan, pater. Sejak semalam Albertus minum dengan beberapa orang tua di kampungnya. Mereka kecewa karena dana desa belum juga cair, sehingga dia agak stres". 

"tapi dia kan harus pulang karena anaknya ulang tahun?", tanyaku sambil tertawa. 

"Tidak ada yang ulang tahun. Itu buat beli miras, pater", canda seorang anak muda sambil tertawa.
 
Selang dua minggu kemudian, saya memilih duduk santai di teras pastoran yang menghadap ke arah pantai. Kulihat dari jauh seorang bapak berjalan sambil menenteng sebuah kantong. Setelah dia agak mendekat, saya pun tertawa terbahak-bahak. Rupanya ada Albertus datang dan membawakan hadiah sagu untuk saya. 


"Ah..anak pater..jangan ketawa saya. Minta maaf hari itu saya bingung dan takut anjingnya tidak laku. Jangan marah...saya juga sedikit mabuk", kata Bapak Albertus sambil tertawa.
"Tidak apa-apa bapa... saya yakin bapa pasti datang kembali. Lain kali kalau jualan tidak laku jangan mengamuk ya", kata saya. 

Tidak untuk memaksakan kehendak, bro...

Dalam hidup kita sehari-sehari seringkali kita berjumpa dengan kata memaksa dan dipaksa. 

Dalam https://kbbi.web.id/paksa, kata memaksa berhubungan erat dengan mendesakkan sesuatu kepada; memaksa orang agar mau menerima: kita tidak boleh ~ kehendak kita kepada orang lain; 2 berbuat melebihi batas kenyataan yang sebenarnya: jika tidak mampu, Anda jangan ~ diri. Dalam posisi memaksa, kita sebenarnya sedang memainkan peran sebagai seorang pencuri otonomi dan kendali dalam diri seseorang. 

Dari arti dan kisah unik bersama Albertus diatas pun mengajarkan saya untuk tidak ngotot memaksakan kehendak kepada orang lain. 

Interaksi dalam kondisi terpaksa pun, tetap membutuhkan seni komunikasi dari pihak kita, selaku orang yang tidak mabuk, agar nilai-nilai yang kita usung dapat tersampaikan dengan baik. Dalam posisi seperti ini pun, sangatlah diutamakan untuk memahami posisi orang lain. 

Dalam tugas pastoral, terkadang saya lebih mementingkan apa yang saya pikirkan ketimbang yang dipikirkan oleh umat beriman. Saya cenderung memikirkan struktur, target, dan hasil yang memuaskan, lalu melupakan bahwa saya sedang berhadapan dengan umat manusia, bukan konsep-konsep diatas kertas yang harus direalisasikan. 

Anda pun bisa mengalami hal yang sama. Kita bisa tampil sebagai seorang pemaksa atau korban yang dipaksa dalam hidup kita setiap hari. Hal ini bisa terjadi dalam hal sekecil apapun di kantor, sekolah, rumah tangga, bahkan di dalam relasi cinta sekalipun.

Sebagai penutup, jauh lebih baik bagi kita untuk mendengarkan keinginan dan kehendak orang lain dan membantu mereka mencapai hal itu, daripada memaksakan keinginan kita sendiri. Setelah kita sanggup memahami keinginan orang lain, kita dapat memberi mereka rekomendasi terbaik kita berdasarkan apa yang mereka inginkan. 

Jika kita ingin mengubah opini orang lain sekalipun, kita harus membuktikan bahwa kita sudah memahami pemikiran orang tersebut sebelum melanjutkan gagasan kita.  

Terima kasih Pak Albertus, karena seekor anjing di dalam karung, aku bisa belajar rendah hati. Pasrah itu lebih baik ketimbang memaksa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun