Mohon tunggu...
Martino
Martino Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Freelance Writer

Gemar Menulis, Penimba Ilmu, Pelaku Proses, Penikmat Hasil

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan featured

Menafsir Polemik Laporan TPF Munir

27 November 2016   21:00 Diperbarui: 7 September 2019   00:04 1895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penantian transparansi hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir mencapai titik kulminasi. Berujung pada penyelesaian sengketa informasi lewat ajudikasi informasi publik yang diinisiasi oleh KontraS. Hasilnya, putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) No.025/IV/KIP-PS-A/2016 tertanggal 10 Oktober 2016 menegaskan kembali kewajiban pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan TPF yang telah 11 tahun dibisukan pada publik. Namun ironisnya, pasca putusan hingga kini laporan hasil penyelidikan TPF yang menjadi sumber informasi tersebut diklaim tidak diketahui keberadaannya.

Jejak Dokumen

Kewajiban pemerintah yang dinanti oleh publik bersumber pada informasi yang terangkum dalam laporan hasil penyelidikan TPF.

Informasi tersebut sangat krusial bagi pertanggungjawaban pemerintah serta upaya membuka kembali kasus ini berdasar bukti baru yang dapat ditindaklanjuti.

Ketika organ negara menyatakan tidak memiliki dan mengetahui keberadaan dokumen hasil penyelidikan TPF, hal ini menjadi narasi antitesa akuntabilitas dan transparansi pemerintah dalam mendorong penegakan keadilan dalam kasus Munir.

Sebab pasca purnatugas, TPF secara resmi telah menyerahkan 6 eksemplar laporan hasil penyelidikan kepada Presiden selaku representasi kekuasaan pemerintahan pada 24 Juni 2005.

Polemik hilangnya laporan asli hasil penyelidikan TPF merupakan cerminan tiga hal. Pertama, perlakuan organ negara terhadap bahan pertanggungjawaban.

Kedua, komitmen pemerintah terhadap penegakan keadilan kasus Munir.

Ketiga, transparansi pemerintah dalam penyelenggaraan negara. Hakikatnya laporan hasil penyelidikan TPF merupakan arsip yang merekam informasi pelaksanaan tugas fungsi pemerintah dalam proses penegakan hukum kasus meninggalnya aktivis HAM, Munir Said Thalib.

Sesuai amanah UU No.43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, terhadap setiap arsip yang diciptakan dari pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah wajib dilakukan pengelolaan sebagai bahan pertanggungjawaban negara.

Oleh sebab itu, kelalaian pemerintah dalam mengelola arsip sebagai bahan pertanggungjawaban, berpotensi mengaburkan upaya penegakan keadilan dan transparansi kasus meninggalnya Munir.

Atas dasar kewajibannya, pemerintah wajib menemukan kembali laporan asli hasil penyelidikan TPF yang tidak jelas keberadaannya. Sebab sebulan pasca putusan KIP, polemik hanya mengkerucut pada reaksi saling lempar tanggung jawab antar rezim pemerintah maupun antar organ negara.

Menelusur jejak arsip hasil penyelidikan TPF pada dasarnya dapat diidentifikasi melalui unsur-unsur yang melekat pada arsip tersebut, yaitu asal-usul otoritas penciptaan, isi informasi yang terekam, serta manifestasi tujuan arsip dikomunikasikan. Ketiga unsur ini sesuai konteksnya dapat menjelaskan alur laporan penyelidikan TPF diciptakan, dikomunikasikan dan disimpan.

Kedudukan dan tugas TPF yang diatur pada Keppres No.111 Tahun 2004 tentang pembentukan TPF kasus Munir dapat mendeskripsikan asal-usul penciptaan sekaligus menjelaskan konteks serta posisi dokumen tersebut bermuara.

Bila mendudukan konsep konfigurasi organisasi Mintzberg pada tataran pemerintahan negara, TPF merupakan organ ad hoc yang dibentuk kuasa tertinggi (the strategic apex) yaitu Presiden guna membantu tugas the middle line, dalam hal ini Polri.

Maka sebagai organ ad hoc, dokumen hasil penyelidikan TPF melekat sebagai pertanggungjawaban yang diserahkan kepada Presiden sebagai pemberi kuasa. Namun pada konteks ketugasan sesuai diktum ketiga Keppres No.111 Tahun 2004, tugas TPF adalah membantu Kepolisian dalam melakukan penyelidikan.

Artinya dalam pelaksanaan fungsinya, asal-usul dokumen hasil penyelidikan tersebut melekat pula pada Kepolisian sebagai input rangkaian pelaksanaan fungsi penyelidikan kasus Munir.

Oleh sebab itu setelah proses penyelidikan pro justisia yang dilakukan TPF selesai dan dilaporkan kepada presiden, secara logis dokumen TPF diserahkan kepada Kepolisian untuk ditindaklanjuti. Hasil TPF tersebut kemudian menjadi bahan informasi dalam proses penyidikan yang dilaksanakan oleh penyidik polri.

Proses ini terbukti berjalan ketika dokumen ini pula yang dijadikan referensi untuk menyeret Pollycarpus dan Muchdi PR ke pengadilan.

Sebagai bagian proses penegakan hukum, informasi dokumen hasil penyelidikan TPF turut menunjukan para pihak berkepentingan sekaligus manifestasi tujuan arsip tersebut dikomunikasikan.

Berdasarkan substansi materi dan tujuan penyelidikan, arah komunikasi dokumen tersebut oleh Presiden cukup jelas. Selain Polri, Kejaksaan Agung dan Pengadilan yang bertaut dalam proses penegakan hukum. Kemenkumham, Kemenkopulhukam dan BIN menjadi the middle line yang secara substantif materiil berkepentingan dengan informasi serta tindak lanjutnya.

Adapun Setneg dinilai banyak pihak cukup mengetahui karena bagian dari ketugasannya adalah menyelenggarakan teknis dan administrasi kearsipan lembaga kepresidenan. Termasuk ketika turut berperan dalam kegiatan penyerahan secara resmi hasil penyelidikan TPF kepada Presiden 24 Juni 2005 silam.

Arsip Anomali

Lantas mengapa arsip laporan penyelidikan TPF begitu samar dan tidak terlacak? Kaburnya jejak arsip hasil penyelidikan TPF Munir membuka kembali ingatan atas rekam jejak perlakuan organ negara terhadap arsip-arsip yang erat kaitannya dengan isu HAM. Dejavu terhadap laporan-laporan penyelidikan kasus pelanggaran HAM yang mengendap dan tak terdengar ditelinga publik.

Lihat berbagai laporan penyelidikan pro justisia yang dilakukan Komnas HAM tentang dugaan pelanggaran HAM pada peristiwa Tanjung Priok (1984) , Talangsari (1989), Timor Timur (1999), Penculikan dan Penghilangan Paksa (1997-1998), Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II serta Tragedi Mei 1998. Semuanya telah diserahkan pada pemerintah, namun hingga kini seluruh informasi kasusnya di “peti es”-kan. Negara seolah memilih permasalahan HAM berskala nasional bukan menjadi bagian memori kolektif yang seharusnya direkam, namun cenderung dibisukan seiring sumirnya penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM.

Meskipun ada perdebatan unsur pelanggaran HAM pada kasus Munir, namun perkara ini telah diputuskan sebagai pidana umum kasus pembunuhan. Kembali pada konteks polemik raibnya laporan hasil TPF, kapasitas Munir sebagai aktivis HAM seperti berkorelasi dengan perlakuan laporan tersebut ketika berada ditangan pemerintah. Jika membaca urgensi informasi dokumen TPF dan merekonstruksi kondisi pasca penyelidikan, arsip tersebut diperlakukan secara klasifikasi keamanan dan akses setingkat rahasia.

Atas pertimbangan itu, komunikasi dokumen penyelidikan TPF dari presiden kepada lembaga negara terkait tidak melalui proses administratif hirarkis antara the strategic apex dan the middle line yang lazim dalam organisasi birokrasi. Proses ini dilakukan langsung oleh Presiden kepada pimpinan lembaga negara terkait (person to person) untuk diketahui dan ditindaklanjuti.

Pada fase ini tahapan pengadministrasian umum ketika arsip dikomunikasikan melalui alur registrasi, transmisi dan disposisi, tidak terjadi. Sehingga berpotensi besar luput terkelola dalam manajemen kearsipannya.

Berdasarkan alur ini, maka ketika beberapa institusi terkait mengklaim tidak pernah memiliki dan mengelola laporan penyelidikan TPF berdasar pada register surat masuk maupun daftar arsip di lingkungannya, hal ini tidak menjamin bahwa dokumen tersebut pada masanya tidak pernah berada pada institusi tersebut.

Meski ada mandat untuk dibuka pada publik, arsip hasil penyelidikan TPF dikelola oleh pimpinan lembaga negara terkait sebagai rekaman informasi ‘kelas satu’.

Sayangnya fakta menunjukan mayoritas pejabat negara dan institusi yang dipimpinnya acapkali menafikan arti penting tata kelola kearsipan dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan. Sehingga arsip tersebut terancam tidak terkelola dengan baik.

Apalagi jika melihat kembali penyelenggaraan kearsipan nasional yang pada masa itu belum memiliki kerangka implementasi komprehensif ketika masih bersandar pada UU No.7 Tahun 1971 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kearsipan sebelum lahirnya UU No.43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.

Kerumitan semakin kompleks saat pergantian rezim pemerintah dan kepemimpinan institusi negara terjadi. Arsip yang diposisikan rahasia dan disimpan hanya oleh pimpinan institusi, luput diwariskan pengelolaannya kepada suksesi selanjutnya.

Bisa jadi pada fase inilah buramnya jejak arsip laporan penyelidikan TPF semakin tegas dan tidak terlacak.

Indikasi ini menunjukan tata kelola kearsipan yang dibangun belum diterapkan secara baik sehingga tidak dapat memetakan posisi arsip-arsip yang demikian penting.

Ditengah polemik ketidakjelasan keberadaan laporan TPF Munir, mantan Menteri Sekretaris Negara era Pemerintahan SBY, Sudi Silalahi menyatakan kemungkinan laporan hasil penyelidikan TPF telah diserahkan pada Arsip Nasional RI (ANRI).

Hal ini merujuk pada kegiatan penyerahan arsip 10 tahun Pemerintahan SBY pada tanggal 17 Oktober 2014. Namun faktanya, klaim ini tidak terbukti.

Sebab mencermati daftar arsip maupun berkas fisik arsip yang diserahkan kepada ANRI, tidak ada satupun yang identik sebagai laporan penyelidikan TPF.

Hal ini menjadi petunjuk bahwa dokumen penyelidikan TPF bukanlah arsip tunggal yang merepresentasikan fungsinya sebagai pelaksanaan tugas kepresidenan, tetapi lebih lekat sebagai kesatuan dari berkas penyelidikan kasus hukum meninggalnya munir yang berada pada penegak hukum.

Secara pengelolaan kearsipan, ada dua hal yang menyebabkan arsip laporan penyelidikan TPF tidak bermuara di ANRI. Pertama, jenis arsip laporan penyelidikan TPF bukan merupakan arsip statis dengan status keterangan permanen, sebab secara hukum kasus ini diputuskan sebagai pidana umum perkara pembunuhan.

Berdasar pada pasal 8 Perka ANRI No.21 Tahun 2014 tentang Pedoman Retensi Arsip Sektor Politik, Hukum dan Keamanan Urusan Hukum, bahwa jenis arsip proses peradilan yang dikategorikan sebagai arsip permanen hanyalah perkara sabotase, spionase, terorisme, subversif, korupsi, pencucian uang, perdagangan manusia, narkotika dan obat/bahan berbahaya, kejahatan transnasional dengan ancaman hukuman 5 tahun keatas.

Sayangnya peraturan ini luput memasukan proses peradilan kasus HAM, konflik horizontal/SARA dan konflik agraria sebagai perkara strategis yang wajib diatur.

Kedua,jikapun ada dorongan mempermanenkan arsip TPF Munir atas kepentingan nilai guna kesejarahan sebagaimana merujuk pada Pasal 79 ayat (1) butir a UU No.43 Tahun 2009 tentang Kearsipan atas dasar pertimbangan kepentingan nasional dan isu HAM, penyerahannya harus memenuhi unsur keutuhan dan dapat digunakan sebagaimana ketentuan pasal 80 ayat (1).

Artinya, arsip laporan penyelidikan TPF sebagai bagian berkas dari rangkaian proses peradilan kasus Munir tidak dapat berdiri parsial lepas dari keutuhannya sebagai berkas peradilan kasus Munir.

Oleh sebab itu dorongan penyerahan arsip laporan penyelidikan TPF secara parsial kepada ANRI justru berpotensi akan menimbulkan fragmentasi informasi karena tidak dapat mendeskripsikan perkara kasus Munir secara utuh. Apalagi mengingat masih adanya kepentingan laporan tersebut dalam pengungkapan keadilan kasus Munir.

Dr. H. Artidjo Alkostar, SH., LLM (Hakim Agung dan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung). Sebagai pengingat, pada perkara kasus Munir, Hakim Artidjo Alkostar memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) pada putusan kasasi dengan terdakwa Pollycarpus. Ia menyatakan terdapat bukti pembunuhan berencana sehingga terdakwa seharusnya dijatuhi hukuman seumur hidup.
Dr. H. Artidjo Alkostar, SH., LLM (Hakim Agung dan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung). Sebagai pengingat, pada perkara kasus Munir, Hakim Artidjo Alkostar memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) pada putusan kasasi dengan terdakwa Pollycarpus. Ia menyatakan terdapat bukti pembunuhan berencana sehingga terdakwa seharusnya dijatuhi hukuman seumur hidup.
Amputasi Memori

Dalam cara baca kearsipan menyikapi putusan hukum kasus meninggalnya Munir, berkas kasus tersebut telah dinyatakan lengkap dan tidak berubah lagi (closed file).

Sebab pascajatuhnya putusan akhir terhadap Muchdi PR (Desember 2008) dan Pollycarpus (Januari 2011), kasus ini dianggap selesai dan mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde).

Merujuk pada pengaturan jangka waktu simpan (retensi) arsip sektor politik, hukum dan keamanan, yang diatur dalam Perka ANRI No.21 Tahun 2014 maka arsip proses peradilan mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan hingga eksekusi putusan memiliki jangka simpan 5 tahun dan berketerangan akhir musnah.

Artinya, minimal setelah 5 tahun sejak putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum tetap, seluruh berkas proses hukum dapat dimusnahkan.

Aturan ini pada konteks kasus Munir justru dapat menimbulkan polemik baru karena dokumen penyelidikan TPF sebagai bagian dari berkas penyelidikan terancam ikut dimusnahkan.

Implementasi aturan retensi arsip pada berkas kasus Munir perlu sangat hati-hati. Sebab,meskipun menurut perspektif hukum kasus ini telah selesai, namun pengungkapan kebenaran dan keadilan terus diupayakan oleh publik.

Upaya tersebut berdasar pada keyakinan terhadap masih adanya informasi dalam laporan penyelidikan TPF yang dapat menghadirkan bukti bagi proses penyelidikan baru namun tidak dibuka secara transparan.

Hal ini juga dikuatkan dengan ingatan bahwa banyak fakta peradilan yang dikesampingkan serta adanya perbedaan pendapat (dissenting opinion) majelis hakim dalam dakwaan yang seharusnya dijatuhkan terhadap terdakwa pembunuhan Munir.

Atas dasar keyakinan-keyakinan itu komitmen penegakan keadilan kasus Munir terus digelorakan.

Oleh sebab itu, laporan hasil penyelidikan TPF harus segera ditemukan. Ini pula yang kemudian ditindaklanjuti oleh Presiden Jokowi dengan perintah menelusur keberadaan dokumen penyelidikan TPF untuk kemungkinan ditinjau kembali.

Kemungkinan terburuk pencarian arsip asli laporan TPF berlarut dan hasilnya nihil. Dalam kondisi demikian demi kepentingan hukum dan komitmen pemerintah, arsip salinan/kopi laporan dapat difungsikan sebagai sumber primer bagi bahan pertanggungjawaban.

Penggunaan salinan/kopi tersebut harus terlebih dulu melalui uji autentisitas untuk menjamin kepastian keutuhan, tingkat kepercayaan dan keaslian informasi sesuai dengan arsip aslinya.

Proses uji autentisitas harus dilakukan dengan analisis terhadap 3 elemen dasar salinan arsip laporan TPF.

Pertama,analisis struktur untuk mengidentifikasi unsur bentuk fisik, kelengkapan dan struktur laporan.

Kedua,analisis isi yaitu pemeriksaan isi laporan yang mencakup materi isi, konfigurasi, kesinambungan dan artikulasi dalam laporan. Termasuk pula sinkronisasi kode pengaman yang dibubuhkan TPF pada fisik perparagraf isi.

Ketiga,analisis konteks yaitu melihat asal sumber salinan tersebut diterima, pengelolaan yang dilakukan, serta prosedur yang dilalui. Upaya ini sangat penting dan wajib tempuh bagi pemerintah agar pencarian keadilan pada kasus Munir menemukan titik terang.

Melepas kacamata politis atas perlakukan terhadap dokumen TPF, hilangnya arsip tersebut menunjukan kelalaian by omission yang dilakukan pemerintah. Pemerintah tidak mengambil tindakan yang seharusnya yaitu pengelolaan kearsipan sehingga menyebabkan kerugian hilangnya arsip yang dapat dijadikan alat bukti dan bahan pertanggungjawaban. Akibatnya hak masyarakat menjadi terabaikan.

Pun demikian proses pencarian keadilan yang terlanjur dipatri pada proses hukum kasus Munir terancam kembali buram.

Bila pemerintah masih menakzimkan good governance sebagai nafas pengelolaan negara, maka tata kelola kearsipan menjadi praktik yang haram diabaikan.

Raibnya arsip dokumen penyelidikan TPF Munir adalah pelajaran pentingnya tata kelola kearsipan bagi ketersediaan alat bukti, perlindungan kepentingan negara dan hak masyarakat, serta pertanggungjawaban nasional.

Terlepas masih adanya celah penyelenggaraan kearsipan yang perlu terus diperbaiki, tertib kelola arsip harus selalu digiatkan. Jika tidak, pengulangan pengabaian terhadap tata kelola kearsipan dalam banyak kasus akan menjadi pembudayaan praktik amputasi memori kolektif bangsa.

***

Martino*

Peneliti pada Arsip Nasional RI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun