Mohon tunggu...
Martin Karakabu
Martin Karakabu Mohon Tunggu... Guru Kampung yang Tertarik pada Dunia Bloging dan Menyukai Kegiatan di Luar Lapangan -

https://www.karakabu.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Inilah Penyebab "Kematian Budi Pekerti"

9 Februari 2018   23:00 Diperbarui: 9 Februari 2018   23:24 1449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Topik ini dibahas karena kematian yang tidak biasa, yang dialami almahrum Budi Cayono seorang guru Seni di Jawa Timur. Sekaligus lanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul Bukan Budi Cahyono yang Meninggal Melainkan Budi Pekerti.

Saya berdoa dan berharap agar kematian almahrum, tidak menjadi sia-sia maka ulasan yang sederhana ini pun hadir ke ruang baca kompasiana; dengan harapan mengubah sikap dan perbuatan anak bangsa, untuk Indonesia yang lebih beradab dan berbudi di masa depan.

 

Siapakah Budi Pekerti itu?

Budi Pekerti yang dimaksudkan dalam tulisan ini bukan nama orang. Melainkan suatu konsep berpikir orang Indonesia yang telah membudaya di masa lampau. Kata budi pekerti merupakan gabungan dari 2 kata, yakni budi dan pekerti. Kata budi memiliki arti, sadar, nalar, pikiran atau watak. Sedangkan pekerti memiliki makna, perilaku, perbuatan, perangai, tabiat, watak(1).

Kedua kata ini memiliki kaitan karena dasarnya budi seseorang ada dalam batin manusia dan tidak akan tampak sebelum dilakukan dalam bentuk pekerti atau perbuatan.

Jadi yang dimaksud dengan budi pekerti bisa saya simpulkan sebagai nilai hidup yang harus dijalankan oleh seseorang dalam berelasi dengan orang lain. Nilai yang dimaksudkan antara lain; sopan santun, tanggung jawab, disiplin, jujur, ikhlas, menghargai, dan lain sebagainya.

 

Mengapa Budi Pekerti Penting untuk Saya Bahas,

Saat Jepang dibom hanguskan oleh sekutu tahun 1945, kaisar Hirohito tidak bertanya, "berapa prajurit gagah berani yang tersisa", melainkan "berapa guru yang tersisa".

Catatan sejarah itu mengilhami saya untuk berupaya dengan apa yang saya bisa; menulis, memberi contoh, dan menasehati pentingnya budi pekerti bagi generasi milenial. Mengapa ini penting?, karena saya seorang guru. Di masa lampau dan di masa kini Jepang bangkit dan berjaya itu karena guru. Itu di Jepang. Kalau di Indonesia guru memperkosa murid, murid membunuh guru. Artinya ada yang hilang dari Jiwa orang Indonesia. Bukankah di masa lampau Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah dan bersahabat?, itu karena nenek moyang kita paham apa yang disebut budi pekerti.

Jika budi pekerti tidak dibahas ketakutan saya adalah manusia zaman now lupa kalau sebagai manusia idealnya dia bergaul dengan manusia yang lain. Kelompok masyarakat yang beda budaya, bahasa, maupun keyakinan dalam satu kesatuan sebagai manusia Indonesia yang berbudaya. Atau pun dari generasi zaman now yang katanya super duper melek teknologi kepada generasi tua.

Hal ini menjadi penting agar kita tidak ketinggalan zaman sebagai sebuah bangsa tetapi juga tidak melupakan nilai-nilai luhur bangsa kita sendiri.

 

Keluarga sebagai lembaga pendidikan yang pertama

Tidak ada berhenti dulu, tunggu dulu, nanti dulu, ntar dulu dan sederetan kata menunda lainnya. Kita harus memulainya dari sekarang; dimulai dari diri kita sendiri dan dari keluarga.

Apa yang kita mulai?

Menenamkan pendidikan budi pekerti dimulai dari diri sendiri dan dari keluarga. Sangking seriusnya urusan si budi pekerti ini sehingga presiden pun "turun gunung" dan meminta dinas pendidikan, guru dan setiap keluarga di Indonesia segera menanamkan kembali akar budaya dan peradaban bangsa agar tidak hilang oleh arus zaman milenial.

Caranya seperti apa?

Cukup sederhana dan muda dilakukan jika kita memiliki sedikit kemauan untuk dilakukan.

 

Pertama miliki waktu terbaik bersama keluarga

Rutinitas pekerjaan dan gadjet telah mencuri waktu terbaik kita bersama keluarga, bahkan di meja makan sekali pun sering kali kita masih sibuk dengan bisnis atau sekedar bertegur sapa dengan mereka yang di luar sana. Cukup sudah dan sekarang mari kita mulai ciptakan waktu terbaik bersama keluarga. Walau hanya sejam, lakukan setiap hari dan rasakan manfaatnya.

Saya menulis karena sudah melakukannya, sebelum itu saya pun sibuk dengan urusan kerja dan hoby. Akibatnya isteri menangis anak menjauh. Saat saya membalik arah dan memberikan satu hari terbaik bersama keluarga tercinta, suatu perubahan terjadi.

"yah, ini tehnya", itu yang dilakukan putri kecilku saat saya sedang sibuk membuat soal USBN . Sesaat kemudian dia pun berujar "jangan lupa ya ayah, Sabtu kita jalan-jalan", dia mengingatkanku dan memberi pesan, "silahkan ayah kerja, saya memberi dukungan melalui segelas teh ini, tetapi jangan lupa Sabtu adalah waktu bersama keluarga".

Mungkin ada yang mengatakankan, apakah salah membahas pekerjaan di rumah?, tidak salah karena pekerjaan dapat menghidupi keluarga. Namun sediakan waktu terbaik bersama keluarga tercinta pun menjadi keharusan karena kita bekerja untuk menghidupi keluarga bukan menjadi hamba dari pekerjaan itu sendiri.

 

Kedua, Jadi Sahabat Bagi Anak

Kurikulum 2013 membuat anak-anak mengalamai tingkat jenuh dan stress yang cukup tinggi. Lho kenapa pak?. Bisa dibayangkan setiap hari minimal seorang pelajar SMP, SMA dan SMK menerima sekitar 3 sampai 4 pelajaran. Konsep belajar tuntas yang digadang oleh kurikulum 2013 seperti mengharuskan ada tugas dari setiap pelajaran tersebut. Di sisi yang lain, seorang remaja harus belajar kurang lebih 8 jam di sekolah. Mulai pukul 07.00 -- 14.30 WIB dari Senin sampai Jumat.

Pertanyaan saya waktu mengerjakan PR kapan?. Sabtukah...?, memang mereka robot yang tidak butuh refresing. Pulang sekolah, memang mereka tidak butuh istirahat?. Minggu kalau begitu. Memang yang Nasrani tidak ke gereja?.

Artinya apa dalam situasi tersebut anak-anak mengalami tekanan mental, lelah fisik, dan ketidakterpenuhinya kebutuhan dasar manusia untuk refresing. Jika terus dipaksakan untuk belajar, maka yang ada bukan belajar melainkan memberontak. Mengapa, karena secara psikologi remaja tersebut merasa orang dewasa tidak memahami kesulitan mereka.

Jadi apa solusinya?

Sederhana sekali, jadilah sahabat bagi mereka. Menjadi sahabat?, sebagai orang dewasa kita bisa memaharahi mereka jika melakukan kesalahan yang sifatnya fatal. Di sisi yang lain kita pun "dituntut" untuk bisa menjadi pendengar yang baik dan memahami kesulitan mereka. Tidak perlu bertindak sebagai orang paling tahu karena kita orang dewasa. Melainkan selalu sediakan "ruang" untuk mengakui kesalahan kita di depan anak, dan jika anak melakukan hal yang benar dan baik, berilah penghargaan dan apresiasi.

Di situ akan tumbuh suatu perasanan dihargai dan dimengerti dari anak. Pendidikan karakter yang ditanamkan seperti itu maka percaya nilai-nilai budi pekerti pun dengan sendirinya akan tumbuh dan berkembang melalui sosok orang tua yang demikian.

 

Ketiga Orang Tua Harus Gaul Karena Ini Zaman Now

Orang tua dan guru tidak harus membeli kamus gaul kemudian mempelajarinya siang dan malam. Cukup mengerti sedikit istilah-istilah seperti; alay, kepo, sabi, agut. Supaya tahu persoalan apa si yang dibahas oleh kids zaman now. Jika ada yang salah, maka tugas kita sebagai orang dewasalah untuk memperbaikinya. Itu fungsinya agar orang tua gaul, biar tahu topik apa yang dibahas remaja gaul zaman now.

Jangan takut tidak berhasil, jika orang tua dan guru sudah melakukan point pertama dan kedua berhasil. Maka point ketiga ini cukup muda. Tetapi jika tidak berhasil di point pertama maupun kedua maka rasa-rasanya kita sebagai orang tua hanya akan menjadi bahan omongan mereka, "iss, apaan si kepo bangat de". Mungkin seperti itu jawabanya.

 

Keempat Akrab dengan Teknologi

Point keempat sebenarnya berlaku secara khusus bagi orang tua dan guru yang tidak fasih menggunakan teknologi kekiniaan, seperti instagram atau youtube. Mengapa soal teknologi dibahas?, sebab bagi generasi Y yang lahir di era milenial. Teknologi telah menjadi teman sejati. Segala aktifitasnya sebagaian besar melalui teknologi. Jadi jika kita bisa mengimbanginya maka otomatis tahu sepak terjang mereka di luar rumah atau luar sekolah. Inilah manfaatnya fungsi kontrol orang tua. Taraf ini jika ada yang keliru, kita jadi tahu dan segera memperbaikinya.

Ingat!, jangan lupa menjelaskan mengapa orang tua larang. Jangan sampai anak-anak menemukan jawaban dari google. Misalnya, jika menyebarkan gambar tidak senonoh temanmu maka kamu akan berhadapan dengan UU ITE, karena melakukan pencemaran nama baik. Hukumannya adalah penjara sekian tahun. Kira-kira seperti itu. Alasan menjadi penting, sebab generasi milenial adalah orang-orang yang cukup kritias. Menurut pengalaman saya generasi milenial tidak akan mudah percaya jika penjelasan kita soal sebab dan akibat tidak maksimal.

Apa hubungannya dengan budi pekerti?

Jelas ada karena Indonesia adalah "raksasa teknologi digital Asia yang sedang tertidur". Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa adalah pasar yang besar (2). Pengguna smartphone Indonesia juga bertumbuh dengan pesat. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang dan didominasi oleh anak-anak. Semantara pengawasan orang tua kurang karena kesibukannya bekerja. Situasi yang demikian seorang anak bisa mengakses apa saja (postif-negatif), kemudian meniru. Jika paham-paham radikal, porno, atau informasi negatif apapun yang terserap tanpa ada penyaringan, bukankah ini berbahaya bagi otak maupun psikologis anak? (3).  

Baca Juga:

 

Penutup

Menanamkan pendidikan budi pekerti kepada anak di zaman milenial sangat sulit. Kesulitan itu disebabkan rutintas orang tua dalam bekerja dan fenomena keautisan sosial yang dimulai dari dalam keluarga. Jika hal seperti ini terus berlanjut maka;

  • nilai-nilai budi pekerti akan hilang karena pengaruh teknologi.
  • Moralitas bangsa pasti lebih tidak beradab lagi karena sentuhan nurani tidak memiliki tempat dalam rumah.

Mengapa demikian?, karena di zaman now musuh terbesar kita adalah teknologi. Agar musuh menjadi kawan maka;

  • Miliki waktu terbaik bersama keluarga,
  • Menjadi sahabat bagi anak,
  • Jadi orang tua gaul agar tahu keluh kesah maupun sepak terjang putra-putrinya di luar rumah.
  • Akrab dengan teknologi tetapi cerdas dalam menggunakannya

Semua ini bisa dilakukan dan pasti berhasil, jika;

  • orang tua bisa menjadi contoh bukan hanya berbicara. "jika orang tua melarang anaknya merokok idealnya orang tua pun tidak merokok.
  • Jika orang tua mengajari anaknya cinta damai maka idealnya rumah menjadi tempat yang dirundukan anak; tanpa ada pertengkaran dari kedua orang tuanya. ***

Sayang anak maka ajari cinta tanpa teori dan jadikan rumah tempat berteduh yang sejuk bagi seluruh anggota keluarga.

Refrensi: 12  3

Jakarta, 2/9/2018

Catatan:

  • Saya menulis tentang moralitas bukan berarti saya paling bermoral.
  • Saya menulis tentang budi pekerti bukan berarti saya bisa melakukan semua yang saya tulis.
  • Saya menulis bukan untuk menggurui.
  • Saya berbicara tentang guru bukan berarti saya guru terbaik se Indonesia.
  • Saya berbicara tentang bangsa bukan berarti saya paling nasionalisme.
  • Saya berbicara tentang keluarga bukan berarti keluarga saya sudah paling harmonis.

Saya ada dan menulis karena:

  • Ingin berbagi agar semakin berarti.
  • Ingin belajar agar tidak kampungan walaupun guru kampung.
  • Ingin mengabadikan apa yang saya pikirkan agar menjadi cerita untuk generasi sesudah saya.

Di sini saya pun sedang belajar agar lebih berarti. Salam hangat selalu untuk pembaca yang terkasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun