Catatan: Artikel ini ditulis untuk memenuhi syarat mengikuti Ujian Tengah Semester (UTS) mata kuliah Sosiologi Kepemudaan. Penulis memohon maaf sebesar-besarnya apabila ada kekurangan dan kesalahan yang dimuat dalam artikel ini.
Akhir-akhir ini, omnibus law sedang hangat diperbincangkan oleh berbagai lapisan masyarakat, terutama mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang paling disorot oleh kalangan buruh dan mahasiwa. Sejatinya, RUU Cipta Kerja hanya salah satu bagian dari omnibus law. Dalam omnibus law, terdapat tiga RUU yang siap untuk disahkan, yaitu RUU Cipta Kerja, RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Dari ketiga RUU tersebut, adalah RUU Cipta Kerja yang paling banyak jadi sorotan publik. Penyebabnya adalah karena RUU Cipta Kerja dianggap memuat banyak pasal kontroversial dan serikat buruh menilai bahwa RUU tersebut sarat akan kepentingan investor.
Sejumlah pihak menyoroti tindakan pemerintah yang tidak transparan dan tergesa-gesa dalam mengesahkan undang-undang tersebut. Pembahasan undang-undang setebal lebih dari 900 halaman itu hanya dilakukan dalam waktu kurang dari satu tahun, padahal Indonesia sedang berada di masa pandemi yang notabene membutuhkan penanganan ekstra melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.Â
Omnibus law atau undang-undang sapu jagat adalah hukum yang bisa mencakup untuk semua atau satu undang-undang yang mengatur banyak hal atau bisa dikatakan metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.
Istilah 'omnibus' berasal dari bahasa Latin yang artinya 'untuk segalanya'. Jadi secara umum, RUU omnibus law merupakan RUU tunggal yang dapat memuat urusan hukum tersendiri dan beragam namun akan diproses oleh lembaga legislatif sebagai satu dokumen. Argumen utama untuk omnibus law adalah, dalam hal pembuatan hukum, prosesnya seolah-olah disederhanakan dan dibuat lebih efisien.Â
Konsep omnibus law itu sendiri tampaknya telah berkembang secara khusus di ranah common law, dengan contoh-contoh penting tentang kapan konsep tersebut digunakan. Hal ini dikarenakan omnibus law berpotensi bertentangan dengan konsep hukum penting lainnya yang digunakan di banyak yurisdiksi, yaitu aturan satu subjek, yang menetapkan bahwa proses legislasi hanya boleh berfokus pada satu hal dalam satu waktu.Â
Aturan ini digunakan untuk menghindari dua masalah utama, pertama kompleksitas yang mungkin timbul ketika satu hal diatur dalam produk legislatif yang berbeda, dan kedua untuk menghindari masalah 'pengendara', yaitu situasi ketika legislator memasukkan ketentuan yang tidak populer di antara yang populer lainnya.
RUU Cipta Kerja banyak ditentang oleh kalangan buruh, akademisi dan terutama mahasiswa sebagai calon pekerja karena bagi mereka yang kontra, RUU Cipta Kerja dinilai sangat memberatkan para pekerja, termasuk para calon pekerja yang kini masih berstatus mahasiswa tingkat akhir atau baru lulus kuliah pada tahun ini. Oleh karena itu, kesatuan mahasiswa dan kesatuan buruh di berbagai daerah di Indonesia melakukan demonstrasi pada tanggal 7 & 10 Oktober 2020 dan yang terkini pada tanggal 10 November 2020 yang berlokasi di depan Istana Merdeka.
Kemudian apa saja dampak dari pengesahan RUU Cipta Kerja bagi para pemuda? Mari disimak sebagai berikut, karena terdapat perubahan pasal yang dianggap dapat merugikan para pemuda.
a) PHK SepihakÂ
Dalam pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa: "Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial."Â
Sementara dalam RUU Cipta kerja, pasal 151 ayat (3) diubah menjadi: "Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh" dan ditambahkan ayat (4) yang berbunyi: "Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial."
Maka, dengan penghapusan aturan tersebut, pengusaha dinilai dapat memutuskan hubungan kerja secara sepihak tanpa berunding dengan pekerja. Posisi tawar pekerja menjadi lebih lemah dibandingkan perusahaan, yang artinya walaupun dilakukan perundingan pun belum tentu pekerja bisa menolak untuk di-PHK dan belum tentu juga pekerja tersebut memilki sumber daya yang memadai untuk membela haknya ke ranah hukum.
Dampaknya bagi para pemuda adalah dapat menyebabkan peningkatan pengangguran dan kemiskinan bagi generasi angkatan kerja yang masih berumur muda, terutama di saat pandemi Covid-19 seperti ini yang dimana penghasilan masyarakat menjadi berkurang atau bahkan terhenti. Selain itu, apabila PHK terjadi di dalam keluarga yang memiliki anak, maka kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak bisa terancam tak dapat terpenuhi karena keterbatasan penghasilan.
b. Berkurangnya Lapangan Kerja
RUU Cipta Kerja juga berpotensi menimbulkan adanya pekerja asing yang bekerja di Indonesia menjadi tak terkendali jumlahnya. Hal ini muncul setelah adanya ketentuan dalam UU Ciptaker yang menghilangkan kewajiban bagi tenaga kerja asing untuk memiliki izin.
Dikutip dari CNBC Indonesia, pada UU 13 tahun 2003, setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Namun, dalam omnibus law diubah dengan hanya memiliki pengesahan soal Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) oleh perusahaan pengguna tenaga kerja asing. Sehingga, penghapusan pasal menyebabkan tak tercantumnya wajib izin untuk bekerja bagi tenaga kerja asing.
Berikut pasal 43 dan pasal 44 UU No 13 tahun 2003 yang dihapus dalam Omnibus Law.
Pasal 43
(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang kurangnya memuat keterangan : a. alasan penggunaan tenaga kerja asing; b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan; c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.Â
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 44
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri
Akibatnya, penghapusan pasal tersebut merugikan tenaga kerja lokal karena lapangan pekerjaan mereka diisi oleh tenaga kerja asing sehingga lapangan keja menjadi semakin sempit. Selain itu, dampak lainnya juga berpotensi meningkatkan angka pengganguran dan kemiskinan di masyarakat.
c. Komersialisasi PendidikanÂ
Dalam pasal 65 UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa:Â "(1) Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. (2) Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah." Â
Pasal ini kemudian menimbulkan polemik bagi para tenaga pendidik, karena membuat pendidikan dianggap sebagai sebuah komoditas, walaupun dalam Undang Undang Dasar tahun 1945 disebutkan jika Pasal 31 UUD 1945 hasil amandemen menyatakan bahwa pendidikan itu merupakan hak yang dimiliki oleh setiap warga dan negara wajib memenuhinya dalam kondisi apa pun.
Dikutip dari Era.id, menurut Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo, sesuai dengan Pasal 1 huruf d UU Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, mendefinisikan 'usaha' sebagai setiap tindakan, perbuatan atau kegiatan apapun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. Artinya, jika pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dilakukan melalui Perizinan Berusaha seperti yang tercantum dalam UU Cipta Kerja, pendidikan ditempatkan sebagai sarana untuk mencari keuntungan. Sehingga, pendidikan tidak lagi memiliki peran membentuk karakter bangsa.
Dampak dari komersialisasi pendidikan bagi para pemuda adalah para pemuda kesulitan untuk memperoleh akses pendidikan, karena segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan selalu berkaitan dengan uang dan biaya yang mungkin saja bisa terlampau mahal dan sulit dijangkau untuk masyarakat kelas bawah. Selain itu, komersialisasi pendidikan juga dapat menciptakan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin serta berkurangnya kualitas pendidikan masyarakat karena lembaga yang bersangkutan hanya mementingkan keuntungan saja.
Apabila dianalisis menggunakan teori konflik Karl Marx, dapat dilihat bahwa kelas bawah dan kelas atas memiliki kepentingan yang berbeda dan keduanya saling bertentangan satu sama lain. Konflik kelas ini terjadi akibat persaingan ekonomi yang ketat serta untuk memudahkan kepentingan kelas atas. Menurut Wirawan dalam Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma, Marx melihat konflik sosial terjadi di antara kelompok atau kelas daripada di antara individu. Hakikat konflik antarkelas tergantung pada sumber pendapatan mereka. Kepentingan ekonomi mereka bertentangan karena kaum proletariat memperoleh upah dari kaum kapitalis hidup dari keuntungan, dan bukan karena yang pertama melarat yang terakhir kaya raya
RUU Cipta Kerja ini belum sepenuhnya siap untuk kehidupan bangsa Indonesia dalam berbagai aspek. Undang-undang ini masih memiliki berbagai kelemahan yang dapat disalahgunakan oleh berbagai pihak sehingga diharuskan untuk melakukan pengkajian ulang terhadap undang-undang ini. Undang-undang ini juga menciptakan berbagai konflik didalam masyarakat, terutama konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat, khususnya kaum buruh dan mahasiswa yang dirugikan dengan hadirnya undang-undang ini.
Referensi:
Draft RUU Cipta Kerja. https://cdn.idntimes.com/content-documents/ruu-cipta-kerja-penjelasan-20201013.pdf
Era.id. Pasal Pendidikan Dalam UU Cipta Kerja Jadi Jalan Masuk Kapitalisasi. 7 Oktober 2020. Diakses melalui https://era.id/nasional/39917/pasal-pendidikan-dalam-uu-cipta-kerja-jadi-jalan-masuk-kapitalisasi pada tanggal 2 November 2020.
Ferry Sandi, CNBC Indonesia. "Omnibus Law: Pekerja Asing Dipermudah Masuk RI!". 7 Oktober 2020. Diakses melalui https://www.cnbcindonesia.com/news/20201007135355-4-192504/omnibus-law-pekerja-asing-dipermudah-masuk-ri pada 10 November 2020.
Prof. Dr. I.B. Wirawan. 2012. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. (Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial) Edisi Pertama. Jakarta: Prenadamedia Group.
Understanding 'Omnibus Law'. (2020, 21 Januari). Lubis Ganie Surowidjojo (LGS) Law Firm. Diakses melalui https://lgsonline.com/insight/understanding-omnibus-law pada tanggal 1 November 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H