Sementara dalam RUU Cipta kerja, pasal 151 ayat (3) diubah menjadi: "Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh" dan ditambahkan ayat (4) yang berbunyi: "Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial."
Maka, dengan penghapusan aturan tersebut, pengusaha dinilai dapat memutuskan hubungan kerja secara sepihak tanpa berunding dengan pekerja. Posisi tawar pekerja menjadi lebih lemah dibandingkan perusahaan, yang artinya walaupun dilakukan perundingan pun belum tentu pekerja bisa menolak untuk di-PHK dan belum tentu juga pekerja tersebut memilki sumber daya yang memadai untuk membela haknya ke ranah hukum.
Dampaknya bagi para pemuda adalah dapat menyebabkan peningkatan pengangguran dan kemiskinan bagi generasi angkatan kerja yang masih berumur muda, terutama di saat pandemi Covid-19 seperti ini yang dimana penghasilan masyarakat menjadi berkurang atau bahkan terhenti. Selain itu, apabila PHK terjadi di dalam keluarga yang memiliki anak, maka kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak bisa terancam tak dapat terpenuhi karena keterbatasan penghasilan.
b. Berkurangnya Lapangan Kerja
RUU Cipta Kerja juga berpotensi menimbulkan adanya pekerja asing yang bekerja di Indonesia menjadi tak terkendali jumlahnya. Hal ini muncul setelah adanya ketentuan dalam UU Ciptaker yang menghilangkan kewajiban bagi tenaga kerja asing untuk memiliki izin.
Dikutip dari CNBC Indonesia, pada UU 13 tahun 2003, setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Namun, dalam omnibus law diubah dengan hanya memiliki pengesahan soal Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) oleh perusahaan pengguna tenaga kerja asing. Sehingga, penghapusan pasal menyebabkan tak tercantumnya wajib izin untuk bekerja bagi tenaga kerja asing.
Berikut pasal 43 dan pasal 44 UU No 13 tahun 2003 yang dihapus dalam Omnibus Law.
Pasal 43
(1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang kurangnya memuat keterangan : a. alasan penggunaan tenaga kerja asing; b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan; c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.Â
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 44
(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri
Akibatnya, penghapusan pasal tersebut merugikan tenaga kerja lokal karena lapangan pekerjaan mereka diisi oleh tenaga kerja asing sehingga lapangan keja menjadi semakin sempit. Selain itu, dampak lainnya juga berpotensi meningkatkan angka pengganguran dan kemiskinan di masyarakat.