Mohon tunggu...
Martharina Situmorang
Martharina Situmorang Mohon Tunggu... Freelancer - Undergraduate law student

Final year law student

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Waris Masyarakat Patrilineal dalam Adat Manggarai

25 Februari 2021   19:33 Diperbarui: 25 Februari 2021   19:36 2215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

3.2. Penyelesaian Sengketa Ahli Waris Masyarakat Adat Manggarai

Dalam hukum adat manggarai telah mengatur bahwa anak perempuan (ata pe'ang) sama sekali tidak berhak menjadi ahli waris terhadap harta orang tuanya karena pada akhirnya anak perempuan akan menikah dan mengikuti klan suami dan dimungkinkan akan mendapat warisan dari suami. Hal ini agar anak perempuan tidak mendapat warisan dari 2 (dua) sumber waris, untuk menciptakan kesetaraan atau keadilan dalam masyarakat adat manggarai.

Para penggugat yang merupakan anak laki-laki dari alm. Yakobus Go, berdasarkan hukum waris adat merupakan ahli waris terhadap objek yang disengketakan meskipun warisan belum dibagi. Penggugat pun berinisiatif untuk membagi warisan tersebut kepada saudari perempuannya. Dalam Hukum Adat Manggarai terkait warisan, jika anak laki-laki memberikan sebagian warisannya kepada saudari perempuan, itu merupakan hal yang patut disyukuri karena itu membuktikan bahwa hubungan persaudaraan mereka sangat erat. Sementara tergugat yang merupakan anak perempuan dari alm. Yakobus Go dan sudah menikah tidak menyetujui hal itu dan saat ini menguasai warisan yang disengketakan. Hal ini sangat tidak sesuai dengan Hukum Waris Adat Manggarai dan mereka sebagai masyarakat adat manggarai tidak menaati peraturan Hukum Adat sehingga salah satu pihak yang merasa dirugikan dalam sengketa ahli waris tersebut memilih menyelesaikan kasus ini melalui jalur persidangan.

Melalui gugatan para penggugat, Pengadilan Negeri Ruteng memutus dan mengabulkan gugatannya. Kemudian terhadap putusan Pengadilan Negeri Ruteng, dibatalkan oleh PT Kupang melalui permohonan banding yang diajukan oleh tergugat. Putusan yang dikeluarkan oleh PT Kupang terhadap pembatalan putusan sebelumnya, oleh para penggugat kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. MA berpendapat bahwa konstitusi Negara menjamin segala warga Negara bersamaan dalam kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Bahwa Yurisprudensi dan praktik peradilan memberikan pengakuan hak waris kepada perempuan atas harta peninggalan orang tuanya. Dalam perkembangan hukum waris adat yang bersifat dinamis dan hukum adat termasuk hukum waris adat, jika dalam peraturan itu terdapat aturan yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan rasa keadilan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk hukum adat yang tidak mengakui hak perempuan, maka Hukum Adat tersebut tidak dapat dipertahankan lagi. Sehingga Mahkamah Agung pada putusan akhir, memutuskan untuk menolak permohonan tersebut dan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Kupang.

4. Implikasi putusan Mahkamah Agung terhadap masyarakat Manggarai

Dasar pertimbangan oleh hakim dalam memutus sebuah perkara memiliki pengaruh yang besar terhadap hukum dan masyarakat Indonesia kedepannya. Sehingga putusan hakim harus memenuhi rasa keadilan dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal itu harus terwujud karena putusan yang dikeluarkan oleh hakim akan mempunyai konsekuensi yang luas, tidak hanya konsekuensi yang berkaitan dengan para pihak yang bersengketa namun juga kepada masyarakat secara luas. Melalui putusan Mahkamah Agung dalam memutus perkara sengketa ahli waris masyarakat adat Manggarai ini, secara langsung akan memberikan dampak yang besar bagi masyarakat Manggarai. Dengan adanya putusan ini tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan pro dan kontra diantara masyarakat terutama dalam penentuan ahli waris masyarakat Manggarai. Yurisprudensi Mahkamah Agung No.179K/Sip/1961 yang dijadikan sebagai salah satu pertimbangan hukum dalam mengeluarkan puutusan Nomor 1130 K / Pdt / 2017 dinilai bertentangan dengan hukum adat masyarakat Manggarai dan berdampak besar terutama bagi kaum laki-laki. Dengan adanya kasus yang diputus melalui yurisprudensi tersebut, jika suatu saat timbul perkara serupa, pihak perempuan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dan oleh hakim merujuk kepada yurisprudensi ini, yaitu perempuan dan laki-laki dalam pembagian hak waris memiliki kedudukan yang sama.

Hal ini secara langsung menyingkirkan eksistensi dari aturan yang ada dalam hukum adat yang berlaku di masyarakat terutama masyarakat manggarai. Sementara dalam Undang-Undang juga mengatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga memunculkan pandangan baru dan berbeda terhadap masyarakat adat manggarai dalam pembagian warisan, dimana anak perempuan juga berhak menjadi ahli waris atas harta benda orang tuanya. Sementara masyarakat adat manggarai menganut sistem patrilineal dan hal ini dinilai tidak sesuai dengan sistem yang dianut masyarakat patrilineal. Dalam mengeluarkan yurisprudensi Mahkamah Agung ini, hanya berdasarkan hukum yang berlaku bagi pihak yang terlibat dalam suatu perkara tertentu. Keputusan hakim hanya mengikat bagi para pihak yang diadili dalam suatu kasus oleh putusan yang bersangkutan, dan tidak mengikat bagi orang lain.

5. Kesimpulan

Dalam putusan yang menjelaskan bahwa Masyarakat Manggarai menganut sistem patrilineal, sehingga dalam penentuan ahli waris hanya anak laki-laki yang menjadi ahli waris yang sah berdasarkan hukum waris adat tersebut. Hal itu ditolak secara langsung oleh Mahkamah Agung dan mengubah pandangan dari hukum adat tersebut bahwa anak laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama tanpa diskriminasi termasuk dalam penentuan ahli waris. Mahkamah Agung tidak konsisten dalam memutus perkara sengketa ahli waris Putusan Mahkamah Agung Nomor 1130 K / Pdt / 2017. Sementara dalam Putusan Nomor 2824 K/Pdt/2017 yang memutus perkara mengenai sengketa waris terhadap hukum adat Bali. Penggugat merupakan seorang laki-laki dan memiliki tiga saudara perempuan. Karena menganut sistem patrilineal, ketiga saudara perempuannya tidak berhak atas warisan orang tuanya dan yang berhak hanyalah penggugat yang merupakan anak laki-laki tunggal. Permohonan penggugat dikabulkan oleh Pengadilan Negeri dan dikuatkan kembali pada tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi. Pada tingkat kasasi, Mahmakah Agung membenarkan pertimbangan hukum tersebut dan berpendapat bahwa konsep pewarisan dalam musyawarah Bali/Hindu adalah Swadarma dan Swadikara, kewajiban-kewajiban dan hak-hak, keseimbangan keduanya terpancang pada purusa atau garis patrilineal dan juga Mahkamah Agung berpendapat bahwa anak perempuan akan memperoleh bekal dari orang tuanya ketika akan menikah, namun tidak dijelaskan bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam pembagian warisan.

Melalui putusan ini dapat dilihat bahwa tidak terwujudnya tujuan dari hukum itu sendiri, dimana salah satu dari tujuan hukum menurut gustav radbruch yaitu menjamin kepastian hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Kepastian hukum yang mengarah kepada pelaksanaan tata kehidupan yang jelas, teratur, konsisten, dan konsekuen serta tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif dalam kehidupan masyarakat.

6. Daftar Pustaka

  1. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    5. 5
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
    Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun