Mohon tunggu...
Martharina Situmorang
Martharina Situmorang Mohon Tunggu... Freelancer - Undergraduate law student

Final year law student

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Waris Masyarakat Patrilineal dalam Adat Manggarai

25 Februari 2021   19:33 Diperbarui: 25 Februari 2021   19:36 2215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum menempuh upaya hukum ke Pengadilan Negri Ruteng, penggugat telah mengusahakan agar permasalahan sengketa ini diselesaikan semaksimal mungkin secara baik-baik dan kekeluargaan. Mulai dari meminta orang tua-tua, Lurah Mbaumuku, dan Ketua Komisi JPIC Keuskupan Ruteng Romo Marten Jenarut untuk memberikan pemahaman namun ditolak. Tergugat juga menolak panggilan Tu`a Adat Gendang Pitak selaku orang yang dituakan secara adat sehingga tidak tercapai perdamaian dan permasalahan tidak dapat diselesaikan. Demi menghormati hukum yang berlaku, penggugat memilih untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui jalur pengadilan yang merupakan mekanisme terakhir yang ditempuhnya setelah tidak bisa menyelesaikan perkara melalui mekanisme lain. Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negri Ruteng. Hakim Pengadilan Negri Ruteng memberikan Putusan Nomor 7/Pdt.G/2016/PN Rtg dan menyatakan bahwa Antonius Megor, Bernadeta Mamus, Yulianus Endera Houw, Pius Maximilian Kolbe, dan Paulus Fon atau sebagai penggugat dalam kasus ini merupakan ahli waris terhadap objek yang disengketakan. Sementara Viktoria Leni, Petronela Ijul, Fransiska Tuet, dan Monika Sofia Dingut yang merupakan tergugat hanya diakui haknya sebagai anak kandung dari alm. Yakobus Go. Kemudian Hakim Pengadilan Tinggi Kupang memberikan Putusan Nomor 148/PDT./2016/PT KPG yang merupakan pembatalan dari Putusan Nomor 7/Pdt.G/2016/PN Rtg setelah tergugat mengajukan permohonan banding terhadap putusan tersebut.

Merasa dirugikan dengan putusan banding oleh Pengadilan Tinggi Kupang atas pembatalan Putusan Nomor 7/Pdt.G/2016/PN Rtg, terbanding kemudian kembali mengajukan permohonan kasasi karena merasa dirugikan dan mengabaikan hukum adat manggarai dengan adanya putusan sebelumnya. Dalam memori kasasinya, pemohon menyatakan bahwa para pemohon merupakan ahli waris yang sah dari alm. Yakobus Go atas tanah dan bangunan semi permanen yang terletak di Jalan Wae Ces Nomor 58, Kelurahan Mbaumuku, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai dengan luas 18 x 38 m merupakan warisan dari Alm. Bapak Yakobus Go meskipun belum dibagi waris, hal ini telah disepakati berdasarkan hukum waris adat manggarai.

Bahwa secara teori, Indonesia mengakui hukum yang dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: Hukum tertulis sebagaimana dalam peraturan perundangundangan dan hukum tidak tertulis yang terdapat dalam masyarakat adat termasuk di dalamnya adalah Hukum Adat. Pengakuan atas hukum tidak tertulis dalam Pasal 28 ayat (1) Undang Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa "Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". Pengadilan Tinggi Kupang telah lalai dan salah dalam menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. Hal-hal yang mendasari alasan diatas, maka para pemohon mengajukan permohonan kasasi untuk pembatalan Putusan Nomor 148/PDT./2016/PT KPG ke Mahkamah Agung.

2.2. Amar Putusan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung memiliki wewenang dalam pembatalan suatu putusan atau penetapan dari pengadilan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 30 ayat (1) Undang Undang RI Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 juncto Undang Undang RI Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Alasan Kasasi secara limitatif dan enumerative, yaitu: Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, salah dalam menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Hakim dalam mengadili perkara ini mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon, namun alasan tersebut tidak dapat dibenarkan sebab dalam pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Kupang "Menimbang, bahwa dalil yang mengatakan pada masyarakat Manggarai hanya anak laki-laki yang mendapatkan warisan, ini yang perlu dibuktikan lebih dahulu dan apakah tidak bertentangan politik hukum nasional" lalu segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak kecualinya dan juga, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Indonesia, kemudian setiap orang tanpa diskriminasi, berhak memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak sesuai hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil . Kemudian Mahkamah Agung RI sejak putusan Nomor 179 K/SIP/1961 tanggal 23 Oktober yang telah konsisten dan menjadikan yurisprudensi tetap yang menyatakan bahwa hak perempuan dan laki-laki setara dalam pembagian warisan. Dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1048 K/Pdt/2012, bahwa hukum adat (waris) bersifat dinamis, maka apabila terdapat hukum adat yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti hukum adat yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan laki-laki, maka hukum adat tersebut tidak dapat dipertahankan lagi.

Berdasarkan uraian dan pertimbangan diatas, bahwa dalil utama Para Penggugat tidak sejalan dengan konstitusi, peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI. Dengan demikian Mahkamah Agung memiliki wewenang untuk melakukan pembatalan atas putusan Pengadilan Negeri Ruteng tanggal 4 Oktober 2016 Nomor 7/Pdt.G/2016/PN.Rtg. Dalam putusan ini, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Antonius Megor, dkk. Selain itu pemohon kasasi dibebankan untuk membayar biaya perkara di tingkat kasasi ini sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

3. Yurisprudensi Mahkamah Agung yang Bertentangan Dengan Hukum Waris Adat Manggarai Sebagai Masyarakat Adat Patrilineal

Pada prinsip masyarakat patrilineal, Anak perempuan bukan merupakan ahli waris atas harta atau peninggalan orangtuanya dan tidak memiliki hak untuk memiliki dan meneruskan peninggalan tersebut. Namun jika ada hukum adat setempat memperbolehkan anak perempuan sebagai pengganti kedudukan anak lelaki pasti karena memiliki alasan tertentu. Salah satunya jika perempuan tersebut telah berstatus janda dari pewaris atau adanya hak atas peninggalan suaminya. Seperti dalam putusan Mahkamah Agung Tanggal 17 Januari 1959 No. 320 K/Sip/1958, berdasarkan hukum adat Tapanuli, Istri dapat mewarisi harta dari suami yang meninggal dunia. Anak laki-laki yang akan menjadi ahli waris namun belum dewasa dipelihara dan berada dalam pengampuan ibunya dan karena anak berada dibawah pengampuan ibu, maka harta kekayaan anak dikuasai dan diurus ibunya. Perempuan yang diberi kedudukan sebagai ahli waris juga karena statusnya sebagai anak tunggal atau tidak memiliki saudara kandung laki-laki, namun ini hanya terdapat dibeberapa hukum waris adat saja.

3.1. Pembagian Hak Waris terhadap Perempuan Berdasarkan Hukum Waris Adat Manggarai

Masyarakat Adat Manggarai merupakan salah satu masyarakat adat di Indonesia yang menganut sistem patrilineal atau mengikuti garis keturunan ayah. Sebagai penganut sistem patrilineal, hukum waris adat manggarai menyatakan bahwa anak perempuan (ata pe`ang) tidak memiliki hak untuk mewarisi harta benda orang tuanya karena anak perempuan akan mengikuti klan suaminya (kawin keluar) dan juga akan mendapat warisan dari suaminya. Nilai ini mengandung prinsip keadilan demi tercapainya keseimbangan dan tidak boleh mendapat 2 (dua) sumber waris. Prinsip ini sudah ada dan ditaati sejak dahulu kala oleh masyarakat adat manggarai. Perempuan adat manggarai memiliki kemungkinan untuk mendapatkan harta benda orantuanya namun, bukan melalui warisan atau sebagai ahli waris melainkan melalui Wida (pemberian bersyarat) dan Widang (pemberian tanpa syarat) sehingga menjadikan hukum adat manggarai bersifat dinamis atau tidak kaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun