Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Demi "Handphone"

23 November 2018   23:55 Diperbarui: 24 November 2018   00:42 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sebentar lagi. Yes!" Aku membatin sambil memandang wajah-wajah lelah penumpang minibus. Kami baru saja menuntaskan trip di hutan konservasi dan dua jam lagi kami akan sampai di hotel. Setelah itu seluruh peserta akan makan malam, istirahat, sarapan pagi, dan...AKU BEBAS! Tuntas sudah tugasku sebagai tour leader.

Aku pun membayangkan betapa nikmatnya jika besok siang aku mengambil perawatan spa di salon Kinara. Salon ini tempatnya nyaman, therapisnya juga ramah-ramah. Sayang harganya masih terlalu mahal untukku. Tapi sesekali boleh dong aku memanjakan diri. Sekalian merayakan kesuksesan bisnis pertamaku, gitu.

Trip ini adalah proyek pertamaku. Maksudku, ini proyekku sendiri. Semua perencanaan tour dan masalah keuangan menjadi tanggung jawabku. Kalau sebelumnya kan aku cuma jadi guide alias pemandu wisata saja. Sedangkan urusan transportasi, konsumsi, tiket, penginapan, dan lain-lainnya di atur oleh biro.

"Lihat! Ada kus-kus!!" Anggi, gadis 21 tahun yang juga seorang blogger dan selebgram ini, terpekik sambil menunjuk ke arah dua ekor kus-kus yang langsung melesat ke dalam hutan.

"Mana? Mana??" Kanaya, adik kelas Anggi, sontak melihat ke arah yang ditunjuk Anggi.

Kevin yang duduk diantara kedua orang tuanya, ikut antusias mendengar pekikan Anggi. Bocah berusia 8 tahun ini melongok ke arah Kanaya dan Anggi. 

"Sudah masuk hutan," jawab Anggi. "Kamu telat."

Baik Kanaya maupun Kevin langsung merengut mendengar jawaban Anggi. Namun sepertinya mereka masih penasaran karena sekarang keduanya duduk lebih tegak dan membuka mata lebar-lebar. Mungkin berharap ada hewan lain yang muncul.

Hutan ini memang banyak hewannya. Kata penjaga hutan di pondok konservasi, koleksi hewan disini masih cukup lengkap. Itu artinya ada hewan buas juga. Hiiyyy...

Sebetulnya aku tidak suka trip ke hutan. Selain perjalanannya melelahkan, bagiku hutan konservasi tidak menarik dan cenderung menakutkan. Di Sulawesi ini kan banyak tempat wisata. Kenapa malah pada pilih ke hutan sih?

Tapi mana boleh aku menolak rejeki. Bayangan memiliki sebuah handphone baru membuatku nekat menerima tawaran ini. Toh ini hanya rombongan kecil. Cuma 6 orang. Pasti tidak sulit mengatur perjalanan untuk mereka. Iya kan.

Kulihat pak Lukman dan bu Prita duduk menyender dan memejamkan mata. Mereka bergeming saat putranya pindah ke bangku di sebelah kiri. Rupanya Kevin masih berharap bisa melihat kus-kus.

Minibus berjalan pelan membelah hutan. Jalanan berbatu membuat pak Her berhati-hati dalam mengemudikan minibus tuanya. Rasanya badanku tak henti-hentinya berguncang sepanjang 15 menit perjalanan.

"Bensin aman, pak Her?" tanyaku.

"Aman, mbak. Sudah saya isi penuh," kata pak Her.

Oke. Kalau aman, kenapa wajah pak Her menyiratkan sebaliknya? Perasaanku jadi tidak enak deh. Tapi aku tidak bertanya lebih lanjut. Mungkin pak Her sedang memikirkan putra bungsunya. Atau mungkin ia memikirkan masalah pengobatannya. Pak Her ini memiliki riwayat sakit jantung. 

Aku berusaha untuk positif thinking. Everything gonna be just fine. Kita akan segera keluar dari area hutan dan memasuki peradaban. Rasanya aku sudah bosan melihat pemandangan yang didominasi oleh pohon. Mana sinyal internet lemah pula. Tak apalah. Saatnya mengistirahatkan mata dari radiasi layar gawai. Kata dokter, memandang nuansa hijau seperti ini akan membuat syaraf mata jadi relaks. 

Aku kembali menengok ke belakang.

Fred terlihat bugar. Matanya berbinar-binar menatap deretan pepohonan. Kakek bule berusia 78 tahun ini jiwa petualangnya memang luar biasa. Meski usianya paling tua, tapi dialah yang paling bersemangat diantara 5 peserta lain.

"Sama? Are you sure." Aku teringat percakapan dengan Fred siang tadi di pondok konservasi. Kukatakan bahwa pohon-pohon itu sama semua. Batangnya coklat dan daunnya hijau. Thats it.

"Look, Martha. Batang pohon itu." Fred menunjuk sebuah pohon sambil mengangsurkan teropong kepadaku. "See. Warnanya abu-abu kecoklatan. Nah, yang disana itu warnanya kemerahan. Lalu yang disana, ada yang hijau dan ada yang kekuningan." Fred menunjuk beberapa pohon. "Coba kamu perhatikan daunnya. Bentuknya saja berbeda, apalagi tulang daunnya," lanjutnya.

Akhirnya aku berusaha melihat dengan lebih teliti. Dan pohon-pohon itu sepertinya tau jika sedang jadi pusat perhatian, lalu sengaja pamer. Soalnya sekarang aku bisa melihat dengan jelas warna-warni batang pohon.

Kulirik Anggi dan Kanaya yang tampaknya kelelahan. Mereka sudah hampir terlelap ketika minibus mendadak batuk-batuk dan...berhenti. Mesinnya mati. Kedua mahasiswi itu kembali terjaga.

Aku reflek menoleh ke arah pak Her dan terkejut. Wajah pak Her pucat sekali. Matanya tertuju pada panel penunjuk dibalik kemudi.

"Kenapa pak Her?" tanyaku cemas.

Pak Her menoleh ke arahku. Kupikir pak Her mau bilang sesuatu. Ternyata ia malah membuka pintu dan bergegas turun. Ia membuka kap mesin dan aku tidak tau apa yang ia lakukan karena pandanganku terhalang oleh kap.

Satu menit. Tiga menit. Lima menit berlalu. "Mobilnya kenapa sih?" Aku memutuskan turun dan menemui pak Her.

Fred juga ikut turun. Hal ini membuat pak Lukman dan bu Prita terbangun. Tapi mereka tidak bergerak karena takut membangunkan Kevin yang tengah terlelap.

"Gimana, pak Her?" Aku bertanya dengan nada setenang mungkin.

"Anu. Radiatornya bocor, mbak. Mesinnya kepanasan. Gak bisa jalan," jawabnya.

"Maksudnya bagaimana pak? Ditunggu berapa lama supaya mesin dingin? Atau ada solusi apa?" aku mencecar pak Her.

"Mungkin 1 jam lagi mesin cukup dingin, mbak. Kita bisa coba stater lagi. Ini kalau sudah tidak panas mau saya tambal dulu bocornya dimana," jawab pak Her.

Satu jam lagi berarti pukul 18.30 wita. Magrib.

"Jadi kita tunggu disini satu jam, lalu mobilnya bisa nyala lagi, pak?" Aku memastikan. Tampak bayangan orang turun dari mobil. Rupanya pak Lukman. Ia menghampiri Fred yang tengah berdiri memandang ke arah hutan.

"Ini baru perkiraan, mbak. Bisa juga lebih dari satu jam," kata pak Her lirih.

"Aduh. Gimana ini?" Aku mulai panik.

Pak Lukman berjalan ke arahku. "Ada masalah apa?" Ia bertanya sambil melihat ke arah mesin.

"Radiatornya bocor, pak. Mesinnya kepanasan," jawabku.

Kutinggalkan 2 pria itu. Aku melipir ke pinggir hutan. "Mikir, Tha. Mikir!" Aku berkata pada diriku sendiri.

Yang terpikir pertama adalah meminta bantuan ke penjaga pondok konservasi. Kukeluarkan HP ku lalu menghubungi pak Syarif. Alhamdulillah, tersambung. Kujelaskan situasiku. Pak Syarif berkata bahwa beliau akan tiba dalam 15 menit. Syukurlah.

Anggi dan Kanaya akhirnya turun dari mobil. Hanya bu Prita yang bertahan di dalam mobil. Ia memeluk Kevin yang sepertinya baru saja terbangun.

"Kak, kenapa kak?", Kanaya tampak cemas.

"Mesinnya mati," jawabku singkat.

"Terus?!" Kanaya semakin cemas. Wajar sih. Gadis ini kan takut gelap. Dia juga tidak suka suasana hutan dan alam liar. Kanaya ikut tour karena dibayarin oleh Anggi.

"Aku sudah telepon penjaga hutan. Sebentar lagi sampai," jawabku.

Mendengar jawabanku, Kanaya jadi lebih tenang. Pak Lukman meninggalkan pak Her dan masuk ke mobil. Tak lama bu Prita turun. Gantian pak Lukman yang menjaga Kevin.

"Mbak, ini terus gimana? Saya besok jam 7 pagi harus ke Jakarta lho. Ada event Kompasiana," kata bu Prita.

"Iya, bu. Saya sedang berusaha cari bantuan," jawabku.

Aku kembali berpikir keras.  Apa? Musti gimana? Suara gesekan dedaunan membuatku semakin tidak konsentrasi. Aku memandang cemas ke arah hutan. Takut ada binatang yang tiba-tiba muncul.

"AAWWW!!"

Aku, Kanaya dan bu Prita menoleh ke arah sumber suara. Lalu kami bergegas menghampiri Anggi yang tampak kesakitan.

"Kenapa, Kak?" tanya Kanaya.

"Aku...mau motret kus-kus. Tidak sadar...ada cekungan, terpeleset deh. Sepertinya kakiku terkilir," jawab Anggi sambil meringis.

Bu Prita dan Kanaya memapah Anggi kembali ke minibus. Aku makin stres. Belum kelar urusan mobil, sekarang kaki Anggi terkilir. Mulutku tak henti-henti beristigfar.

"Ah. Iya. Aku telepon hotel saja. Minta bantuan!" Aku sangat senang dengan kemunculan ide ini. Tapi senyumku langsung hilang. Ternyata HP ku low bat. Tinggal 5%. Duh.

"Apa saya boleh pinjam HP?" tanyaku. 

"HP ku sudah off," jawab Anggi.

Aku terbelalak melihat benda di tangan Anggi. "Ini anak. Kok ya masih sempat syuting-syuting di kondisi begini," batinku memandang Anggi yang sibuk mengarahkan kamera mirorlessnya ke wajahku.

"HP saya ada baterai. Tapi sinyalnya hilang.  Tuh, tidak ada koneksi jaringan," pak Lukman menunjukkan layar HPnya.

"Dinyalakan saja senter HP nya, pak," rengek Kanaya. Suasana memang semakin gelap. Pak Lukman pun menyalakan senter HPnya.

"Ini. Pakai HP saya," kata bu Prita.

Ah. Leganya. Aku hendak menelpon hotel menggunakan HP bu Prita, tapi mendadak lemas. "Nomornya ada di HP ini. Saya tidak hafal." Aku memandang ke arah HPku yang kondisinya sudah mati kehabisan baterai.

Yang lain jadi ikut lemas.

"Eh. Sebentar," bu Prita mendekati Kevin. Mencari-cari sesuatu di saku anak putranya. Lalu mengeluarkan sebuah kertas dari dalam kantong jaket Kevin.

"Ini. Saya ingat kalau tadi sempat ambil dan menaruh di saku Kevin. Jaga-jaga kalau dia terpisah atau apa," bu Prita menyodorkan kartu nama hotel.

Alhamdulillah...

Tak lama telepon tersambung ke resepsionis. Aku ceritakan kondisiku. Tak lupa kukirim pinmap lokasi. HP bu Prita ini luar biasa. Provider dan perangkatnya TOP. Aku minta tolong ke resepsionis untuk dicarikan sewa mobil.

"Saya usahakan ya. Tapi biaya sewa mungkin mahal. Pertama karena mendadak, kedua karena lokasinya cukup jauh. 30 km dari kota," kata resepsionis.

"Tidak apa-apa. Kabarin aja. Dua mobil ya." Aku meninggalkan no HP bu Prita ke resepsionis. 

Sayup-sayup terdengar suara peluit. Kami menajamkan telinga. Iya, itu suara peluit. Siapa yang meniup peluit di tengah hutan? Aku bergidik.

Kevin makin merepet ke ayahnya. Mungkin ia takut. Anggi mengeluarkan coklat dari tasnya dan memberikan ke Kevin. Bu Prita mengambil tas suaminya, mencari obat asma milik Kevin. Jaga-jaga jika asmanya kumat.

"Mana penjaga hutannya? Jadi datang tidak?" Pak Lukman berkata dengan gusar.

Saat itu aku baru sadar kalau Fred tidak ada.

"Mana Fred?" Alih-alih menjawab pertanyaan pak Lukman, aku balik bertanya.

"Tadi dia masuk hutan. Mau BAB," jawab pak Lukman ketus.

Hah? Jangan-jangan yang tiup peluit itu Fred? Siapa lagi yang bawa alat itu kalo bukan Fred?

Telingaku menangkap bunyi lain. Suara kendaraan. Pak Syarif datang. Ia membawa kayu bakar, korek, senter dan senjata tajam.

"Bagaimana kondisinya, mbak?" tanya pak Syarif.

"Saya sudah minta dicarikan mobil oleh pihak hotel, pak. Ini sedang nunggu info," jawabku.

"Di dekat sini ada desa. 6 kilometer lah. Apa mau menginap disana dulu? Saya bisa minta kenalan di desa untuk bawa kendaraan kesini," pak Syarif memberikan ide.

"Iya, pak. Ide yang bagus. Kalau dari penginapan tidak bisa mengupayakan mobil, kita bisa pakai ide bapak," jawabku.

Pak Syarif kemudian mendekati pak Her yang masih terpekur di sisi lain minibus.

Aku teringat Fred!

"Pak Syarif. Sepertinya Fred dalam masalah. Ia meniup peluit berkali-kali," kataku.

"Fred? Yang bule itu?"

"Iya."

Sayangnya suara peluit Fred sudah tidak terdengar.

"Bunyinya dari arah mana?" tanya pak Syarif.

Aku menunjuk ke utara.

"Ok. Tunggu disini," kata pak Syarif. Tak lama sosok pak Syarif sudah menghilang ke dalam hutan.

Aku menemui bu Prita. Mau pinjam HP nya untuk menelpon hotel. Tapi HPnya bunyi duluan.

"Hallo, mbak. Mobilnya dapat. Sewanya 1 juta per mobil. Bagaimana?" Pihak hotel akhirnya menelpon.

Astaga. Berarti 2 juta untuk 2 mobil...

Tak apalah. Daripada terjebak disini.

"Ok. Kami tunggu, ya," kataku cepat. "Tolong lebih cepat. Disini semakin gelap."

Kutengok jam ku. 17.50 wita. Mobil akan sampai sini jam 20.00 wita. Moga-moga lancar deh. Gelap, ditengah hutan pula. Makanan tinggal nasi dua dus, sisa makan siang.

"KRUSEK! KRUSEK!"

Satu minibus terlonjak kaget mendengar suara kemeresek dari arah hutan. Pak Her buru-buru naik ke minibus dan mengunci pintu.

Alangkah lega nya melihat yang muncul adalah pak Syarif dan Fred. Fred berjalan terpincang-pincang. Rupanya Fred terperosok dalam lubang berang-berang. Karena ia sudah tua, ia tak kuat berteriak. Makanya tiup peluit.

Dengan dua 'pasien' begini, aku semakin berharap mobilnya segera datang dan mengantar kita ke kota.

Pak Syarif mulai menyalakan kayu bakar. Ia juga membagikan pisau kepada kami. "Untuk perlindungan," katanya. 

Kami lantas berbincang bertiga: aku, pak Syarif dan pak Her. Pak Her akan ikut pak Syarif ke pondok. Sehingga besok pagi pak Her bisa langsung menangani mobilnya. Kalaupun butuh ini itu kan kondisi sudah terang, dan ada desa tak jauh dari sini. Sedangkan aku dan peserta tour akan berada di dalam minibus,  menunggu jemputan dari hotel. Begitu rencananya.

Setelah mengucapkan terima kasih, aku masuk ke minibus. Pak Syarif dan pak Her berboncengan kembali ke pondok. Nanti jika mobil sudah menjemput, pak Syarif minta dikabari. Seandainya tidak jadi dijemput, maka pak Syarif akan minta tolong ke desa terdekat.

Sipp lah. Plan A, plan B sudah ada. Kami tinggal bersabar menunggu mobil jemputan.

Dua jam terasa lama sekali. Baterai HP bu Prita juga mulai menipis. Begitu pula dengan api unggun yang dibuat pak Syarif. Penerangan di dalam minibus berasal dari senter HP pak Lukman dan senter milik Fred.

Aku berkali-kali meminta maaf pada peserta rombongan atas insiden ini. Aku sedih melihat Kevin yang mulai kumat asmanya, dan Kanaya yang terus memandang dengan takut ke arah hutan. Udara di minibus cukup pengap karena kami hanya menyisakan sedikit celah di jendela.

Waktu terasa berjalan sangat lama. Perut terasa lapar. Dua nasi kotak sudah kami makan ramai-ramai. Coklat, minuman dan snack juga sudah ludes. Aku sudah hampir menelepon pak Syarif karena jam ku sudah menunjukkan pukul 20.15 wita. Lalu, tampaklah selarik cahaya. Makin lama makin terang.

"ITU MOBILNYA! ALHAMDULILLAH YA ALLAH!!" Aku begitu gembira.

Dua mobil mendekat ke minibus. Sambil tetap waspada, kami mulai berpindah dari minibus ke mobil sewa.

Mula-mula bu Prita. Lalu Kevin, kemudian Pak Lukman. Mobil satu ditutup pintunya, mobil nomer  dua gantian mendekat ke minibus. Anggi masuk, lalu Kanaya, disusul oleh Fred.

Yang terakhir keluar dari minibus adalah aku. Kupastikan jendela minibus sudah tertutup sempurna. Kami tinggalkan senjata tajam yang dipinjamkan pak Syarif ke dalam minibus. Lalu aku turun dan menuju ke api unggun. Kupadamkan dulu apinya, baru aku naik ke mobil nomer dua.

Bismillah. Kami pun meninggalkan minibus dan gelapnya hutan.

Mobil satu langsung menuju ke hotel, sedangkan mobil dua akan mampir ke rumah sakit dulu. Anggi dan Fred perlu penanganan dokter.

Esoknya kondisi kaki Anggi sudah membaik. Fred masih harus dirawat di rumah sakit. Kakinya patah, sehingga ia harus dioperasi. Tulangnya jauh lebih rapuh daripada Anggi.

Kanaya? Tampaknya ia bakal kapok ikut tour ke hutan. Tapi gak tau juga ya. Karena sepertinya Anggi punya bakat khusus dalam membujuk seseorang. 

Pak Lukman, bu Prita dan Kevin sudah sampai di Jakarta. Bu Prita mengirimkan sebuah pesan padaku: Mbak Martha, pengalaman kemarin sangatlah menegangkan. Kami mungkin trauma, mungkin juga tidak. Tapi kami percaya, suatu hari nanti kami akan bisa bercerita tentang kejadian itu sambil tertawa.

Aku tersenyum membaca pesan dari bu Prita.

Benar. Akan datang hari dimana kita bisa menertawakan kesedihan, keterpurukan, dan musibah yang kita alami.

Semoga hari itu tidak lama.

#generasisolutifkompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun