Dengan dua 'pasien' begini, aku semakin berharap mobilnya segera datang dan mengantar kita ke kota.
Pak Syarif mulai menyalakan kayu bakar. Ia juga membagikan pisau kepada kami. "Untuk perlindungan," katanya.Â
Kami lantas berbincang bertiga: aku, pak Syarif dan pak Her. Pak Her akan ikut pak Syarif ke pondok. Sehingga besok pagi pak Her bisa langsung menangani mobilnya. Kalaupun butuh ini itu kan kondisi sudah terang, dan ada desa tak jauh dari sini. Sedangkan aku dan peserta tour akan berada di dalam minibus, Â menunggu jemputan dari hotel. Begitu rencananya.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku masuk ke minibus. Pak Syarif dan pak Her berboncengan kembali ke pondok. Nanti jika mobil sudah menjemput, pak Syarif minta dikabari. Seandainya tidak jadi dijemput, maka pak Syarif akan minta tolong ke desa terdekat.
Sipp lah. Plan A, plan B sudah ada. Kami tinggal bersabar menunggu mobil jemputan.
Dua jam terasa lama sekali. Baterai HP bu Prita juga mulai menipis. Begitu pula dengan api unggun yang dibuat pak Syarif. Penerangan di dalam minibus berasal dari senter HP pak Lukman dan senter milik Fred.
Aku berkali-kali meminta maaf pada peserta rombongan atas insiden ini. Aku sedih melihat Kevin yang mulai kumat asmanya, dan Kanaya yang terus memandang dengan takut ke arah hutan. Udara di minibus cukup pengap karena kami hanya menyisakan sedikit celah di jendela.
Waktu terasa berjalan sangat lama. Perut terasa lapar. Dua nasi kotak sudah kami makan ramai-ramai. Coklat, minuman dan snack juga sudah ludes. Aku sudah hampir menelepon pak Syarif karena jam ku sudah menunjukkan pukul 20.15 wita. Lalu, tampaklah selarik cahaya. Makin lama makin terang.
"ITU MOBILNYA! ALHAMDULILLAH YA ALLAH!!" Aku begitu gembira.
Dua mobil mendekat ke minibus. Sambil tetap waspada, kami mulai berpindah dari minibus ke mobil sewa.
Mula-mula bu Prita. Lalu Kevin, kemudian Pak Lukman. Mobil satu ditutup pintunya, mobil nomer  dua gantian mendekat ke minibus. Anggi masuk, lalu Kanaya, disusul oleh Fred.