Kebijakan luar negeri kandidat presiden Amerika Donald Trump dan Kamala Harris menyajikan visi yang kontras untuk masa depan Timur Tengah, dengan implikasi signifikan bagi stabilitas global.Â
Pendekatan Trump "America First" menekankan berkurangnya keterlibatan AS di luar negeri, yang berpotensi menyebabkan meningkatnya ketegangan regional, sementara Harris mengadvokasi peran AS yang lebih terlibat dan kolaboratif. Hasil pemilihan presiden dengan demikian dapat memberi pengaruh yang signifikan terhadap konflik di wilayah Timur Tengah tersebut.
Bagaimana kandidat mengusul strategi yang kuat untuk mengatasi ancaman nuklir Iran, proses perdamaian Israel-Palestina, dan stabilitas regional, tentunya sangat menarik perhatian audiens domestik dan internasional.
Sentimen pemilih mengenai keterlibatan militer dan hubungan diplomatik dengan Iran kemungkinan akan membentuk platform kandidat, karena baik Trump maupun Haris berusaha untuk menyelaraskan dengan opini publik tentang masalah kebijakan luar negeri.
Kebijakan Luar Negeri Donald Trump
Kebijakan luar negeri Trump, yang dikenal dengan istilah "America First," berfokus pada isolasionisme dan pengurangan keterlibatan AS dalam urusan internasional. Penarikan AS dari kesepakatan nuklir Iran pada 2018 dan penerapan sanksi yang ketat telah meningkatkan ketegangan antara AS dan Iran, serta memicu kekhawatiran akan potensi konflik militer di kawasan Timur Tengah (Sedghi, 2017). Selain itu, keputusan Trump untuk menarik pasukan dari Suriah membuka jalan bagi aksi militer Turki dan memperburuk situasi keamanan di wilayah itu (Ostovar, 2024).
Di sisi lain, kebijakan Trump juga memberikan keleluasaan bagi kekuatan regional seperti Turki dan Arab Saudi untuk bertindak lebih tegas tanpa tekanan diplomatik dari AS. Hal ini menciptakan ketidakpastian dalam stabilitas regional dan berpotensi memperburuk konflik yang sudah ada.
Kebijakan Luar Negeri Kamala Harris
Sebagai lawan politik, Kamala Harris menawarkan pendekatan yang berbeda dari Trump. Harris mengadvokasi keterlibatan multilateral dan membangun kembali aliansi dengan negara-negara sekutu untuk menghadapi tantangan di Timur Tengah. Pendekatan ini mencakup dukungan untuk gerakan demokrasi dan hak asasi manusia, yang dapat membantu menstabilkan Timor Tengah melalui saluran diplomatik (Overhaus & Brozus, 2016). Harris diperkirakan akan mendorong dialog dengan Iran dan mencari solusi damai untuk konflik yang ada.
Harris juga menekankan pentingnya kerjasama internasional dalam menangani isu-isu seperti ambisi nuklir Iran dan proses perdamaian Israel-Palestina. Dengan pendekatan ini, dia berharap dapat mengurangi ketegangan di kawasan tersebut dan mendorong stabilitas jangka panjang.
Kebijakan Trump disebut dapat menyebabkan Timur Tengah yang lebih kacau. Namun, menarik juga ditunggu apakah kehadiran Amerika di kawasan tersebut mampu menahan ekskalasi perang atau justru pemicu konflik di kawasan?Â
Visi Harris lebih mendorong adanya kerja sama yang intens. Namun, efektivitas kedua pendekatan dalam mencegah konflik tetap tidak pasti, karena dinamika regional kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai aktor di luar kendali AS.
Dinamika konflik Israel-Iran secara signifikan akan mempengaruhi pemilihan presiden Amerika 2024, terutama dalam membentuk platform kebijakan luar negeri kandidat. Ketika ketegangan meningkat, kandidat kemungkinan akan dipaksa untuk mengartikulasikan sikap yang jelas tentang keterlibatan AS di Timur Tengah, terutama mengenai ambisi nuklir Iran dan kebutuhan keamanan Israel.
Dampak Konflik Israel-Iran terhadap Politik AS
Pengaruh Siklus Pemilihan: Siklus pemilihan dapat membentuk pengambilan keputusan presiden dalam perang, dengan kandidat perlu mengatasi kekhawatiran publik tentang keamanan nasional dan efektivitas kebijakan luar negeri (Hall, 2024).
Kritik Republik: Kandidat Republik diharapkan mengkritik kebijakan Iran pemerintah saat ini, membingkainya sebagai tidak efektif, yang dapat mempengaruhi pemilih yang ragu-ragu prihatin tentang keamanan nasional ("Iranian-US relations will remain fraught", 2023).
Peran Lobi Israel: Lobi Israel tetap menjadi kekuatan signifikan dalam kebijakan luar negeri AS, mempengaruhi kandidat untuk mengadopsi posisi pro-Israel, yang mungkin beresonansi dengan demografi pemilih kunci (Mast, 2014).
Sebaliknya, beberapa berpendapat bahwa masalah domestik, seperti ekonomi dan perawatan kesehatan, dapat menutupi perdebatan kebijakan luar negeri dalam pemilihan, berpotensi mengurangi dampak langsung dari konflik Israel-Iran pada keputusan pemilih. Namun, keterkaitan keamanan nasional dengan keprihatinan domestik menunjukkan bahwa masalah ini akan tetap penting dalam membentuk lanskap pemilihan.
"America First"Â vs "Make America Great Again (MAGA)"
"America First" dan "Make America Great Again (MAGA)" adalah dua slogan yang terkait erat dengan kebijakan Donald Trump, namun memiliki beberapa perbedaan dalam penekanan dan implementasinya.
"America First" lebih berfokus pada kebijakan luar negeri yang menempatkan kepentingan Amerika di atas segalanya. Kebijakan ini telah mengubah persepsi internasional terhadap Amerika Serikat dan menciptakan kesulitan dalam koordinasi pemimpin global untuk menyelesaikan masalah kompleks dunia (Ziv et al., 2019). Ini termasuk sikap Trump terhadap krisis kemanusiaan global dan perubahan iklim.
Di sisi lain, "Make America Great Again" lebih luas cakupannya, mencakup kebijakan dalam dan luar negeri. MAGA merujuk pada upaya mengembalikan Amerika ke masa kejayaannya, yang oleh Trump digambarkan sebagai era keemasan Amerika dengan kekuatan hegemoni di luar negeri (Campbell, 2018).
Menariknya, meskipun kedua slogan ini sering dikaitkan dengan nasionalisme etnis dan retorika anti-imigran, beberapa peneliti berpendapat bahwa MAGA sebenarnya sejalan dengan pemahaman The Federalist tentang kebesaran nasional, yang bergantung pada kekuatan komersial sebagai sarana untuk membangun dan mempertahankan kedaulatan nasional (Milikh, 2018).
Sementara itu, "America First" lebih sering dikritik karena dianggap mewakili pergeseran radikal dari nasionalisme kewarganegaraan yang telah lama menjadi narasi dominan kebijakan luar negeri AS pasca-Perang Dingin (Restad, 2020).
Kesimpulannya, meskipun "America First" dan MAGA saling terkait dalam retorika Trump, keduanya memiliki penekanan yang berbeda. "America First" lebih spesifik pada kebijakan luar negeri isolasionis, sementara MAGA adalah visi yang lebih luas untuk mengembalikan Amerika ke masa kejayaan yang dipersepsikan, mencakup aspek domestik dan internasional.
Kamala Harris vs Joe Biden
Kebijakan luar negeri Kamala Harris sebagai Wakil Presiden sejalan dengan prioritas administrasi Biden dalam menangani tantangan global. Fokus utama mereka adalah mengatasi pandemi COVID-19 dan dampaknya terhadap kesehatan global serta ketimpangan sosial ekonomi (Beyrer et al., 2020). Administrasi Biden-Harris juga menekankan pentingnya keamanan kesehatan global, seperti terlihat dari penunjukan Raj Panjabi sebagai penasihat khusus untuk isu tersebut di Dewan Keamanan Nasional (Jaffe, 2022).
Menariknya, meskipun Harris menjadi simbol keragaman dan harapan bagi banyak orang di AS dan dunia sebagai wanita kulit hitam pertama yang menjabat sebagai Wakil Presiden (Romero, 2021), sikap rasial dan seksisme masih mempengaruhi evaluasi terhadapnya, seperti halnya terhadap politisi Demokrat lainnya (Knuckey & Mathews, 2024). Ini menunjukkan bahwa tantangan struktural masih ada dalam politik luar negeri AS.
Secara keseluruhan, kebijakan luar negeri administrasi Biden-Harris berfokus pada pemulihan citra AS di kancah internasional pasca era Trump, dengan menekankan kerja sama multilateral dan penanganan isu-isu global seperti pandemi, perubahan iklim, dan ketimpangan. Namun, efektivitas kebijakan ini masih perlu dievaluasi lebih lanjut mengingat kompleksitas tantangan yang dihadapi dan dinamika politik domestik AS.
Kamala Harris Ungguli Donal Trump
Berdasarkan fakta-fakta yang dihadapi Amerika Serikat saat ini, kebijakan luar negeri yang lebih baik untuk diterapkan ke depannya cenderung mengarah pada pendekatan yang diusung oleh Kamala Harris. Berikut beberapa pertimbangan:
Stabilitas Global:
Kebijakan Harris lebih menekankan pada keterlibatan multilateral dan membangun kembali aliansi. Hal ini penting untuk menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, pandemi, dan konflik internasional.
Pendekatan "America First" Trump cenderung isolasionis dan akan menimbulkan ketegangan dengan sekutu AS.
Keamanan Internasional:
Harris berkomitmen untuk mendukung Ukraina dan memperkuat NATO, yang penting untuk stabilitas Eropa.
Trump menunjukkan skeptisisme terhadap NATO dan mengancam untuk menarik diri dari aliansi, yang dapat melemahkan posisi AS secara global.
Ekonomi dan Perdagangan:
Kebijakan Harris cenderung lebih moderat dalam hal tarif dan perdagangan internasional, yang dapat mengurangi ketegangan ekonomi global.
Kebijakan tarif agresif Trump dapat memicu perang dagang dan mengganggu rantai pasokan global.
Perubahan Iklim:
Harris mendukung keterlibatan AS dalam upaya global mengatasi perubahan iklim, termasuk Perjanjian Paris.
Trump telah menarik AS dari perjanjian iklim internasional dan cenderung skeptis terhadap perubahan iklim.
Diplomasi dan Soft Power:
Pendekatan Harris lebih menekankan pada diplomasi dan kerja sama internasional, yang dapat meningkatkan citra dan pengaruh AS secara global.
Gaya kepemimpinan Trump yang lebih konfrontatif telah mengurangi soft power AS di beberapa area.
Timur Tengah:
Harris mendukung solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina dan lebih terbuka untuk negosiasi dengan Iran.
Trump cenderung lebih berpihak pada Israel dan mengambil pendekatan konfrontatif terhadap Iran.
Konsistensi Kebijakan:
Kebijakan Harris cenderung lebih konsisten dan dapat diprediksi, yang penting untuk stabilitas global dan kepercayaan sekutu.
Pendekatan Trump yang tidak terduga dan sering berubah dapat menciptakan ketidakpastian dalam hubungan internasional.
Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa kedua kebijakan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kebijakan Trump mungkin lebih agresif dalam melindungi kepentingan ekonomi AS jangka pendek, sementara pendekatan Harris mungkin lebih efektif dalam membangun pengaruh jangka panjang dan stabilitas global.
Mengingat kompleksitas tantangan global saat ini - termasuk perubahan iklim, ketegangan geopolitik, dan pemulihan ekonomi pasca-pandemi - pendekatan multilateral dan kolaboratif yang diusung Harris tampaknya lebih sesuai untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Namun, keberhasilan implementasi kebijakan akan sangat bergantung pada eksekusi dan kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi yang dinamis.
Sementara itu, sejak artikel ini diterbitkan, berdasarkan laporan real-time Associated Pressed (AP) hasil sementara untuk pemilihan Presiden Amerika diungguli oleh Donald Trump yaitu 51,1% dari 47,4% suara untuk Kamala Harris.Â
Setelah membaca artikel ini, bagaimana menurut sobat kompasiana? Berikan komentarmu terhadap beberapa pertanyaan berikut:
Apakah sobat kompasiana mempertimbangkan bahwa upaya keterlibatan multilateral yang diajukan oleh Harris mungkin tidak menjamin hasil yang sukses karena perbedaan kepentingan dan agenda negara-negara lain di wilayah tersebut?
Bagaimana sobat kompasiana akan menjawab mereka yang berpendapat bahwa ketegangan yang meningkat di Timur Tengah sebagian besar dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kendali kebijakan luar negeri AS, sehingga pendekatan apa pun---baik milik Trump maupun Harris---tidak cukup untuk memastikan stabilitas?
Bagaimana pendapatmu jika Amerika lebih isolasionis bisa memberi manfaat bagi AS dengan memungkinkan AS untuk fokus pada masalah domestik daripada konflik internasional?
Sumber: New York Times, The Conversation, ABC News, BBC, CFR.org,Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H