Jalan raya sudah terlihat seperti biasanya.
Riuk piruk gemparan kepala yang sedang terbudak oleh konsonan kata. Mengais secercah rupiah.
Kala itu ritmenya tak karuan. Gusar, ingin segera pulang ke tempat persinggahan.
Pada hari Minggu ku turut ayah ke kota
Jebrak jebrak gedeng
Naik delman istimewa ku duduk di muka
Jeng jeng jeng jeng jreng
"Terimakasih pak, monggo," ucap Ainun.
Tak lepas dari kata seperti biasa. Ainun dengan kaleng keberuntungannya sedang mencoba hibur kepala demi kepala.
"Lumayan, bisa beli nasi goreng nenek lagi," Ainun menghitung koin yang didapatnya.
Hari-hari ini terus dilalui Ainun. Pastinya dalam runtut waktu yang tidak sebentar.
"Maaf nek Ainun telat, nenek sudah lapar?" ujarnya
"Maaf kan nenek, Nun," tuah nenek
"Nenek tidak perlu meminta maaf, ini sudah menjadi tugas Nun nek" tutur Ainun.
Gubuk itu sudah tidak layak pakai. Hingga tibalah saatnya malam menggantikan siang.
Nenek sudah beberapa tahun tidak bekerja karena sakit keras. Pagi pun datang, Ainun mulai kembali mengarungi jalanan untuk mengumpulkan uang.
Di tengah perjalanan menuju kota, sebuah bangunan memikat penglihatan Ainun.Â
"Nun kamu jangan kesana, jangan kesana," titah Ainun pada dirinya sendiri.
Ainun Kembali melanjutkan perjalanan. Tapi kali ini kakinya tak sesuai dengan perasaan Ainun. Ainun terus melaju memasuki rumah itu.
Ainun seolah dibius dengan apa yang ada di dalam bangunan tersebut.
Ainun terus berjalan, menyusuri rumah kosong itu. Dengan rasa penasaran yang amat menggebu. Dia heran kenapa rumah ini tidak pernah terlihat sebelumnya.
Sebuah kalung berkilau mengambil alih rasa penasaran Ainun. Ainun segera keluar dari rumah tersebut.
Suatu yang aneh dirasakan Ainun setibanya di kota. Kenapa orang-orang tampak seperti perawakan orang zaman dahulu?
Dimana mobil-mobil yang memenuhi aspal? Kenapa semuanya berubah? Gerumulan pertanyaan memenuhi kepala Ainun.
Hawanya sangat aneh. Ainun segera kembali ke desa dengan nafas tak karuan. Saat memasuki desa, tak ada seorang pun yang menanggapi keberadaannya dan semua wajah orang desa juga berbeda.
"Nek!!! Nenek dimanaa nek????" ujarnya resah.
Seorang ibu yang menggendong anaknya keluar dari gubuk. Ainun terheran dan mengajak bicara ibu itu. Nihil ibu itu seolah tak merasakan keberadaan Ainun.
Gempuran pertanyaan terus mengelilingi kepala Ainun. Selama ini nenek tidak pernah memberitahu dimana keberadaan ibu Ainun. Satu hal yang lebih membingungkan Ainun, dimana nenek?
Tunggu dulu, bukankah anak yang digendong tersebut sama dengan foto kecil Ainun?
"Lari! Lari! Bajingan-bajingan itu menyerbu kita," teriak warga. Â Segerombolan prajurit berseragam tengah membunuh orang-orang. Sejarah kelam ini terus disembunyikan warga disana.
Ibu itu berlari sejauh mungkin menghindari manusia berdarah dingin itu. Sampai lah disebuah sungai yang amat deras alirannya. Prajurit itu terus mengejar.
Ibu itu kehabisan akal. Dia mencari sebuah kulit kayu dan menghanyutkan bayinya. Jantung Nun berdegup kencang.
"Matilah kau," ucap salah satu dari mereka.
"bassssss," dengan tanpa ampun orang ituu menebas leher si ibu. Kepala terlepas dari tubuhnya.
Ainun yang menyaksikan ini hanya bisa mendekap mulutnya. Ainun terduduk tak berdaya. Menyaksikan hal sadis yang tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Ainun harus berlari menyelamatkan bayi itu. Di hilir sungai, Ainun terkejut.
"Nenek?" ucap Ainun bingung.
"tidak-tidak, yang tadi pasti bukan ibu, yang tadi bukan ibu," ujar Nun menangis dan frustasi.
Namun tiba-tiba kepala Nun terasa amat sangat pusing. Brukkk, Nun terjatuh ke sungai di bawahnya. Tenggelam beriringan dengan arus sungai.
Ainun kemudian membuka mata. Rentetan pertanyaan terus dilontarkan nenek. Kemudian Nun duduk.
"Aduh kepala Nun, Nun dimana nek," tanya Nun.
"Nun tadi dibawa warga, dan ditemukan sudah pingsan di semak-semak dekat hutan," ujar nenek.
Ainun tidak membuang waktu. Ia langsung bertanya tentang ibunya. Dan, ya, semua yang Ainun saksikan sama dengan cerita nenek.
Lantas Ainun menceritakan apa yang sudah dialaminya, baik itu kalung dan tentang apa yang dilihatnya dengan tangis yang tak henti.
Ia mendekap nenek dan sangat berterimakasih kepada nenek. Namun Nun bertanya kenapa ibunya dibunuh dengan sadis seperti itu.
"Waktu itu para pendatang dari negeri asing, tengah bersikeras ingin memiliki desa ini. Karena di bawah desa ini, banyak harta-harta perang jaman dulu yang bernilai tinggi. Mereka ditolak mentah-mentah oleh warga desa. Tapi tiba-tiba desa ini diserang dan hanya sedikit warga yang bisa menyelamatkan diri. Nenek lari ke hutan dan menemukan Nun di tepi sungai," ujar nenek berusaha untuk tetap tenang.
"Nenek harap Nun bisa menjadi orang berada dan kemudian carilah siapa pembunuh ibumu ndok," ujar nenek.
Hari-hari terus berlalu. Nun sekarang sudah menemukan jati dirinya. Sekarang dunia sudah ada digenggamannya.
Semenjak kepergian nenek, keinginan Ainun mencari pembunuh ibunya semakin meningkat.
Namun seiring berjalan waktu, Ainun bertemu dengan seseorang yang dapat meredam dendamnya. Ainun menikah dengan orang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H