Di sebuah kota kecil, hiduplah serumpun keluarga. Nuansa rumah mereka dipenuhi oleh pernak pernik yang berasal dari mancanegara. Pasutri itu dikaruniai seorang putra dengan perawakan manis belia.
Angga Wijaya, anak yang amat sangat merindukan kasih sang ibu. Berbagai cara selalu ia lakukan, agar mendapat perhatian lebih dari kedua orang tuanya. Dia juga anak yang selalu menjalankan ibadah dengan ikhlas dan sepenuh jiwa.
Gema adzan mulai membentang di belahan dunia, sehingga menyadarkan Angga dari lelap tidurnya. Seorang anak dengan mata sayu mulai mengairi air kesela-sela wajahnya dan bersiap untuk pergi ke masjid. Kadang teringat sang ibu yang selalu sibuk dengan pekerjaannya.
Derap langkah kaki mulai memenuhi suasana syahdu di subuh itu. Sepulang dari masjid, matahari malu-malu mulai menampakkan sinarnya.Â
"Abis darisini ke taman dulu deh," monolog Angga.
Angga bukanlah anak yang mudah berteman, membuat dia menentang siapa saja yang mempermainkannya. Wataknya keras dan terpramennya berlebih.
 Sesampainya di taman, Angga berusaha menghibur diri sambil menduduki ayunan taman. Menikmati angin sepoi-sepoi.
Gerombolan anak-anak sebaya Angga, juga mulai memasuki kawasan taman. Sejatinya sangat senang mengganggu dan mengusik Angga.
"Angga kamu gak punya temen yah? Kayak anak nolep aja pagi-pagi gini duduk sendirian," tanya Rado dengan nada songongnya.
"Iyanih, utututu, kacian anak mami gak punya temen," ejek Kevin.
"Eh kalian tau gak si, orang yang kemaren nilainya remedi mulu" timpal Camella, dengan memanyunkan bibirnya.
Angga tidak terima atas semua penghinaan yang terus ditimpali orang-orang yang berada di depannya ini.
"Aku remedi karna gak belajar aja yah, gak usah sok tau deh," pembelaan Angga.
"Eh-eh, karna gak belajar ato IQ jongkok?," tutur Rado, dengan ejekan tajamnya.
"Ahahahahahahaahaahahahaahaha," ketiga anak-anak itu sangat puas tertawa.
Wajah Angga sudah merah padam. Dia berusaha menjauh dari taman. Namun, ketiga anak nakal itu terus mengejarnya.
"Huhuhuhuhuhu, yang bentar lagi mau tinggal kelas mana nih," sorak Camella.
"Iya kok gak kliatan yah? Eh itu tuh yang lagi jalan," kompor Rado.
"Kenapa bisa sebodoh itu sih dia," ucap Kevin.
"Gak dapet kasih sayang aja kali tuh," kata pedas Rado.
Mereka sudah salah memancing emosi Angga. Angga sangat sensitif terhadap hal yang berbau orang tuanya. Emosi Angga sudah tak terbendung.
Angga memutar balik langkahnya. Dengan menggebu mengejar ketiga anak tersebut. Setibanya di perempatan jalan raya, Angga memegang kerah baju Rado.
"Apa kamu bilang? Aku gak dapet kasih sayang? Nih kasih sayang buat kamu! Tuanngggggg," ucap Angga, dan bogeman yang dia luncurkan tepat di hidung Rado.
Mata Rado terpejam, tertelentang dan kini hilang kesadaran. Angga terdiam dan tertegun atas perbuatannya barusan. Tak tinggal diam, Kevin dan Camella bersorak mengharap bantuan.
"Tolong, tolong, tolong," ujar Camella, sambil melongoh kanan kiri.
Beberapa satpol PP yang tidak sengaja lewat dan mendengar teriakan. Lalu mengobati Rado dan membawa mereka ke lapas/kantor polisi terdekat.
Surat pemangilan dari kantor polisi mendatangi kediaman Angga dan rumah Rado serta teman-temannya. Orang tua Angga adalah orang yang gila hormat dan selalu ingin terlihat bahagia di mata publik.
Bagaimanapun mereka pasti akan berusaha menyelamatkan nama baik mereka. Bahkan mereka jarang mengetahui apa yang dirasakan Angga saat di sekolah maupun dirumah.
Sesampainya di kantor polisi, ayah dan ibu Angga langsung dihadapkan dengan orang tua dari Rado yang menuntut keadilan. Mereka mengharapakan Angga ditahan atas perbuatannya.
"Saya nggak akan tinggal diam ya bu," ujar ibu Rado.
"Heh buk, anak saya nggak akan ngebogem orang kalo anak ibuk gak mulai duluan, pasti anak ibuk yang mancing-mancing anak saya," cerocos ibu Angga, tak terima.
"Yaudah kalo gitu kita tunggu anak saya siuman saya kalo gitu, awas ya bu," amcam ibu Rado sambil menunjuk-nunjuk.
"Baik," ucap ibu Angga, yakin.
Tepat setelah beberapa menit, Rado siuman. Dia ditenangkan dan dibiarkan istirahat selama 1 jam. Sebelum akhirnya seluruh orang mulai menghujaminya pertanyaan.
"Kepada saudara Rado, mohon dijawab dengan jujur, apa yang terjadi diantara kalian sehingga terjadi tindak kriminak ini!" tegas polisi kepada Rado.
"Ayo jawab jujur nak, kamu gak salah kan, jangan bohong," ucap ibu Rado penuh harap.
Rado sangat ketakutan, ketakutan karena semua yang telah dia perbuat. Namun, dia harus berkata jujur supaya tidak ada beban dalam dirinya, dan sebagian karena takut ditimpali sanksi. Dia mulai menceritakan bagaimana tragedi yang terjadi secara detail.
Lalu, Angga hanya bisa duduk terdiam dan pasrah. Disisi lain, dia juga merasa bahagia kerena mendapat sedikit perhatian dari ibunya.
"Saya bilang kalo Angga juga gak dapat perhatian dari orang tuanya pak, mungkin itu yang paling nyakitin diantara perkataan kami pak, sekali lagi saya minta maaf," ujar Rado dengan jujur, namun suasananya sangat tegang.
Bagaikan angin topan yang menghadang, ibu Angga tertegun dan runtuhlah sudah seluruh pertahanannya. Air mata luruh membasahi pipinya. Reflek ia memeluk dan meminta maaf kepada Angga.
Ibu Angga sadar akan kesalahannya selama ini. Akhirnya kedua ibu itu pun saling bermaafan dan diikuti kedua anak mereka.
"Maafin aku ya Angga, gak seharunya aku ngehina kamu kayak tadi," tutur Rado.
"Iya aku juga minta maaf seharunya aku gak langsung tinju kamu," sesal Angga.
Angga pun pulang ke rumah dan menemukan sebuah rasa baru. Rasa dimana ibunya mulai memperhatikannya, menanyainya, dan menyiapkan waktu yang lebih banyak untuk bersama dengan Angga. Anak hebat itupun, tumbuh dengan kasih dan sayng ibunya.
Marilah kita selalu memperhatikan keadaan lingkungan sekitar. Kadang kala, hubungan erat dan harmonis akan lahir dengan sendirinya, sejalan dengan perhatian yang kita berikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H