Mohon tunggu...
Martina PuspitaSari
Martina PuspitaSari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Administrasi Publik

Tetap semangat...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori Sosiologis tentang Ketimpangan Gender (Sociological Theories of Gender Inequality)

11 Januari 2022   10:48 Diperbarui: 11 Januari 2022   11:27 5710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                               

Fungsi Ketimpangan Gender Pada 1950-an, Talcott Parsons berpendapat bahwa harapan peran gender menjunjung tinggi tradisional keluarga. "Pencari nafkah" laki-laki memenuhi peran instrumental dengan menjadi berorientasi pada tugas dan berwibawa, sedangkan "ibu rumah tangga" perempuan mewujudkan peran ekspresif dengan memberikan dukungan emosional.

A. Fungsionalisme

     Pada teori fungsionalisme terdapat kepercayaan bahwa masih adanya peran sosial yang lebih cocok hanya untuk satu jenis kelamin dibandingkan yang lain, dan masyarakat cenderung lebih stabil ketika norma dipenuhi oleh jenis kelamin yang sesuai dengan peran sosial yang ada, seperti "laki-laki" memiliki peran sebagai pencari nafkah dan kepala keluarga. Secara lebih khusus fungsionalis menekankan pada bagaimana peran "perempuan" dapat berkerja bersama-sama dengan peran "laki-laki" di dalam keluarga. Terdapat dua peran yang saling melengkapi menurut Talcott Parsons, yaitu peran instrumental dan peran ekspresif. Peran instrumental memiliki orientasi pada pemenuhan tugas dan sosok otoritas di dalam komunitas sosial, misalnya tugas mencari nafkah dalam keluarga. Peran ekspresif penting untuk menstabilkan kepribadian mitra instrumental, dalam pandangan ini perempuan dianggap lebih cocok untuk peran ekspresif dan laki-laki lebih cocok untuk peran instrumental. Maka segregasi gender atau pemisahan gender memiliki fungsi untuk menegakkan keluarga tradisional dan fungsi sosialnya. Peran ekspresif dan instrumental dapat dikatakan saling melengkapi satu sama lain, namun jika dikaitakan dengan imbalan sosial untuk memenuhinya jauh dari kata setara. Pada teori fungsionalisme tidak dijelaskan secara baik mengapa relasi gender dicirikan oleh ketidaksetaraan tersebut, pandangan teori fungsionalisme juga gagal untuk mengakui bahwa keluarga seringkali menjadi sumber ketidakstabilan sosial, melalui peristiwa kekerasan dan pelecehan yang sering terjadi didalam keluarga.

B. Teori Konflik

     Teori konflik mengambil perspektif yang berbeda. Menurut perspektif ini, laki-laki mengambil peran yang lebih dominan dibandingkan dengan wanita dalam mengakses sumber daya material dan hak istimewa di dalam masyarakat. Ketidaksetaraan antara laki- laki dan perempuan terutama dalam konteks society membuat perbedaan posisi antara laki laki dan perempuan.Para ahli teori konflik melihat ketidaksetaraan gender dalam banyak hal ras dan kelas sebagai manifestasi dari eksploitasi. Sebagian ahli menyebut ketidaksetaraan gender hanyalah turunan dari ketidaksetaraan kelas dan karena itu berasal dari kepemilikan pribadi. Perempuan yang sebagai angkatan kerja tidak menerima kompensasi langsung dan mereka sebagai angkatan kerja yang murah dan posisinya selalu dibawah laki laki. Namun ahli teori menyebutkan bahwa ketidaksetaraan ini menguntungkan laki laki hanya dalam jangka pendek.

C. Interaksionisme Simbolik

     Interaksonisme simbolik melihat gender sebagai panduan interaksi antar individu dalam kehidupan sehari-hari. Dan teori ini bisa di bilang bersifat subjektif karena sesuai dengan pandangan setiap orang, dan berdasar apa yang di yakininya. Gender ini pun dapat dilihat melalui simbol-simbol maupun gestur tubuh mereka, misalnya dalam gaya berpakaian, cara berbicara, gestur tubuh, dan simbol lainnya yang dapat dilihat oleh kita secara langsung. Hal ini pun merupakan hal penting bagi diri sosial kita karena kita tidak perlu berinterkasi dahulu dengan orang tersebut untuk melihat apa identitas gender mereka. Salah satu contohnya perempuan dengan gaya pakaian yang feminim, dan laki-laki sebaliknya. Sementara, orang-orang yang tidak sesuai dengan gendernya yaitu seperti transgender, maka mereka  tidak akan mudah untuk menyesuaikan diri dalam lingkungan dan juga akan mengalami kesulitan saat berinteraksi dengan orang lain. Dalam contohnya dalam buku Kerry Ferris & Jill Stein, terdapat orang yang mengubah gendernya (transgender) menjadi perempuan, Ia pun mulai mempelajari dan mendalami perannya sebagai perempuan, bahkan Ia sudah melakukan bagaimana berperilaku sebagai perempuan yang tepat. Tetapi, penampilan saja tidak cukup, Ia harus  tetap menjaga gender Ia yang sebenarnya.

D. Teori Feminisme

     Teori Feminisme termasuk ke dalam cabang ilmu sosial. Teori ini biasanya menggunakan perspektif feminisme untuk menjelaskan  fenomena sosial. Meskipun teori ini seringkali didukung dengan gerakan kaum perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya,  dan kesetaraan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Namun, dunia sosial seolah-olah memposisikan kacamata sosialnya dengan membentuk bahwa posisi perempuan yang dimarjinalkan. Sejarahnya, gerakan feminisme ini terjadi tiga gelombang.

1. Gelombang pertama, yang terjadi di Amerika Serikat. Yaitu, menunut adanya kesetaraan perempuan dalam hak untuk memilih.

2. Gelombang kedua, adanya akses yang setara ke pendidikan dan pekerjaan. Dalam hal ini, munculnya gerakan perempuan dalam reformasi adanya kesetaraan kesempatan, melarang pelecehan dan pemerkosaan dalam pernikahan, serta kesadaran publik tentang adanya praktik diskriminasi gender di masyarakat.

3. Gelombang ketiga, yang fokusnya pada keberagaman. Gelombang ini, adalah gelombang yang mengkritik gelombang kesatu dan gelombang kedua. Karena, meminggirkan perhatian kepada perempuan kulit berwana, lesbian, serta perempuan dalam kelas kerja. Dapat disimpulkan bahwa gelombang ini lebih peduli dan tidak membatasi globalisasi dan tentang identitas pribadinya yang memperjuangkan hak-haknya.

  • Gender, Seksualitas, dan Kesempatan Hidup (Gender, Sexuality, and Life Chances )  

1. Keluarga

     Keluarga merupakan salah satu bentuk proses sosialisasi dan juga sebagai tempat kita di besarkan oleh kedua orang tua hingga menemukan jati diri. Di dalam keluarga juga kita dapat melihat bahwa gender akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari kita. Perbedaan gender laki-laki dan perempuan juga dapat mempengaruhi bagaimana kelanjutan keluarganya atau pun kehidupannya masing-masing. Dalam bukunya Kerry Ferirs & Jill Stein mengatakan bahwa perceraian yang terjadi di dalam keluarga juga lebih sering terjadi pada wanita karena tercatat dalam bukunya bahwa wanita 11% dan pria 9%. Perceraian juga akan terasa lebih berat bagi wanita yang memiliki anak di bandingkan pria. Wanita yang mengalami perceraian juga akan lebih mengutamakan peran pengasuhkan bagi anaknya sehingga mengalami penderitaan secara financial, sehingga banyak wanita yang bercerai berada pada garis kemiskinan. Wanita berkontribusi pada pendapatan rumah tangga dengan bekerja di luar rumah dan menemukan bahwa mereka masih bertanggung jawab untuk menjadi pengasuh utama keluarga. Di tempat kerja, ini menciptakan masalah. Waktu yang diambil dari pekerjaan untuk merawat anak-anak yang sakit dipandang sebagai waktu yang tidak produktif, dan wanita yang mengambil waktu seperti itu dapat menghadapi diskriminasi (Wharton dan Blair-Loy 2002). Dan kebanyakan wanita, ketika mereka meninggalkan pekerjaan, masih menghadapi pekerjaan rumah tangga di rumah. Maka dari itu, sebagai wanita harus bisa menjalankan dua kewajiban utama, yang keduanya adalah bekerja untuk menghidupkan keluarganya. Lain hal jika suatu keluarga tidak mengalami perceraian maka peran ayah (laki-laki) lah yang seharusnya bekerja. 

2. Kesehatan

     Lebih dari 325 juta orang Amerika bahkan beberapa negara-negara di dunia lebih dari setengah nya adalah perempuan. Salah satu alasannya adalah perempuam hidup lebih lama. Perempuan yang lahir pada tahun 2015 di harapkan untuk hidup rata-rata 81,2 tahun, sedangkan laki-laki diharapkan untuk hidup 76,3 tahun (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit 2017). Penelitian oleh Pengendalian dan Pencegahan (CDC) menunjukkan bahwa pria berusia dua puluh hingga dua puluh empat tahun tiga kali lebih mungkin meninggal akibat kecelakaan, hampir lima kali lebih mungkin untuk bunuh diri, dan hampir tujuh kali lebih mungkin untuk dibunuh (CDC 2016). Namun, akhir-akhir ini, lebih banyak perempuan yang terlibat dalam perilaku yang berhubungan dengan stres setiap bekerja di luar rumah, merokok, minum-minum an, dll. Mungkin terkait, minoritas seksual cenderung merokok, minum, dan menggunakan obat-obatan terlarang, dan mereka menderita tingkat penyakit mental yang lebih tinggi (Penyalahgunaan Zat dan Administrasi Layanan Kesehatan Mental 2016).

Dengan kata lain, perempuan mungkin lebih cenderung melaporkan gejala tersebut, sedangkan pria mungkin mengabaikannya atau mungkin merasakan stigma yang lebih besar dalam melaporkannya (Byrne 1981; Martin et al. 2013). Data sistematis tentang harapan hidup individu.Lebih dari 325 juta orang Amerika bahkan beberapa negara-negara di dunia lebih dari setengah nya adalah perempuan. Salah satu alasannya adalah perempuam hidup lebih lama. Perempuan yang lahir pada tahun 2015 di harapkan untuk hidup rata-rata 81,2 tahun, sedangkan laki-laki diharapkan untuk hidup 76,3 tahun (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit 2017). Penelitian oleh Pengendalian dan Pencegahan (CDC) menunjukkan bahwa pria berusia dua puluh hingga dua puluh empat tahun tiga kali lebih mungkin meninggal akibat kecelakaan, hampir lima kali lebih mungkin untuk bunuh diri, dan hampir tujuh kali lebih mungkin untuk dibunuh (CDC 2016).

Namun, akhir-akhir ini, lebih banyak perempjan yang terlibat dalam perilaku yang berhubungan dengan stres setiap bekerja di luar rumah, merokok, minum-minum an, dll. Mungkin terkait, minoritas seksual cenderung merokok, minum, dan menggunakan obat-obatan terlarang, dan mereka menderita tingkat penyakit mental yang lebih tinggi (Penyalahgunaan Zat dan Administrasi Layanan Kesehatan Mental 2016).Dengan kata lain, perempuan mungkin lebih cenderung melaporkan gejala tersebut, sedangkan pria mungkin mengabaikannya atau mungkin merasakan stigma yang lebih besar dalam melaporkannya (Byrne 1981; Martin et al. 2013).Data sistematis tentang harapan hidup individu LGBTQ belum tersedia, tetapi penelitian awal menunjukkan bahwa gaya mungkin juga berimplikasi pada kesehatan, tetapi hanya untul mereka yang tinggal di daerah yang kurang toleran.Satu studi menemukan bahwa "hidup dalam komunitas dengan tingkat prasangka anti-gay yang tinggi" dikaitkan dnegan "perbedaan harapan hidup sekitar 12 tahun".Beberapa dari penurunan harapan hidup ini dapat dikaitkan dengan masalah seperti bunuh diri dan pembunuhan yang mungkin juga disebabkan oleh prasangka. Selain itu, orang dewasa LGBTQ cenderung tidak memiliki asuransi kesehatan dan juga cenderung tidak memiliki dokter pribadi.

3. Pendidikan

     Sejak tahun 90-an dalam perguruan tinggi jumlah wanita semakin lebih banyak disbanding laki-laki. Tahun-tahun berikutnya pun makin banyak wanita yang mendapatkan gelar lebih tinggi dibanding pria. Tetapi pria berpenghasilan lebih tinggi disetiap tingkat pendidikan, seperti wanita harus mendapat gelar PhD untuk mendapat penghasilan setara dengan pria gelar sarjana. Perbedaan upah tersebut membuat ketidaksetaraan gender tidak mungkin untuk diabaikan.Pendidikan di individu LGBTQ menunjukan hal yang lebih rumit, sesuai penelitian bahwa remaja LGBTQ empat kali lebih mungkin untuk mencoba bunuh diri. Karena banyak siswa LGBTQ yang mengalami pelecehan seksual di sekolah, baik dilecehkan secara verbal dan fisik.

Dalam sekolah juga perbedaan yang paling utama cara guru baik perempuan atau laki-laki berinteraksi dengan siswanya. Menurut Smith guru cenderung memberi perhatian kepada laki-laki, seperti anak laki-laki menerima waktu intruksional dan lebih sering dipanggil, serta guru lebih memberikan pujian dan pertanyaan yang menantang kepada laki-laki. Hal tersebut terjadi memungkinkan penyebabnya karena laki-laki cenderung yang membuat guru marah dan berperilaku buruk.  Berlawanan dengan hal tersebut, perempuan yang justru cenderung mendapatkan nilai tinggi. Tetapi prestasi perempuan sering diabaikan, bahkan media menggambarkannya dengan kesenjangan gender bahwa terdapat krisis bagi anak laki-laki. Perempuan didorong untuk kerja keras, untuk fokus pada keterampilan dan kegiatan sosial daripada kekuatan otak. Masa remaja perempuan mulai tidak nyaman untuk berkompetisi dengan laki-laki dan kehilangan rasa harga diri akademis.Selain sosialisasi peran gender, dalam buku teks Pendidikan masih mengandung seksis dan stereotrip gender. Dalam struktur sosial sekolah juga perempuan diposisikan lebih rendah, sedangakan laki-laki diposisikan lebih atas.

4. Pekerjaan dan Penghasilan

     Masih banyaknya ketidaksetaraan gender akan laki-laki dan perempuan, dimana ini dapat dilihat dari segala aspek pekerjaan seperti tingkat partisipasi dalam angkatan kerja, jenis pekerjaan, tingkat gaji, keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga. Dimana seperti yang ada di Badan Statistik Tenaga Kerja A. S 2017,  pada tahun 2016 terdapat 69 persen laki-laki berada dalam angkatan kerja, akan tetapi hanya 57 persen perempuan yang masuk dalam angkatan, meskipun tingkat partisipasi perempuan terus meningkat dari waktu ke waktu. Apalagi saat sudah menikah, tingkat partisipasi Wanita belum pernah menikah lebih cenderung bekerja daripada wanita yang sudah menikah, sementara pria menikah lebih cenderung bekerja daripada pria lajang. Dikarenakan karena masih adanya asumsi di masyarakat bahwa laki-laki menjadi kepala keluarga, perempuan yang sudah menikah akan menjadi ibu rumah tangga mengikuti sang suami, ataupun perempuan lajang dianggap bertanggung jawab atas keuangannya sendiri. 

Selain itu, dalam aspek jenis pekerjaan pula banyak yang memiliki gender, dimana ada pekerjaan tertentu yang harus dilakukan oleh laki-laki (dokter) dan perempuan (perawat), bahwa pekerjaan yang secara tradisional adalah perempuan secara konsisten dinilai rendah dan dibayar rendah. Pekerjaan "kerah merah muda"( perawat, sekretaris, pustakawan) dianggap kurang diminati dalam masyarakat patriarkal (Inggris 1992). Sehingga, terkadang wanita cenderung hidup dalam kemiskinan daripada pria. Karena situasi yang disebut feminisasi kemiskinan (merupakan hasil dari kombinasi kekuatan sosial, termasuk kesenjangan gender dalam upah), proporsi lebih tinggi dari perempuan lajang yang mengambil tanggung jawab keuangan anak, dan meningkatnya biaya perawatan anak. Selain itu, untuk masyarakat LGBTQ apalagi pada negara yang melarang adanya LGBTQ sering mendapatkan diskriminasi karena kehilangan promosi  karena orientasi seksual yang dimiliki. Padahal, Undang-Undang Non-Diskriminasi Ketenagakerjaan (ENDA) adalah usulan undang-undang yang menempatkan orientasi seksual dan identitas gender dalam kelas yang dilindungi bersama dengan ras dan gender, tetapi secara konsisten gagal untuk meloloskan kedua majelis Kongres untuk masuk kemeja presiden.

5. Peradilan Pidana

Perlakuan perempuan dan laki-laki dalam sistem peradilan pidana sangat berbeda. Laki-laki memiliki sfat maskulin yang agresif, dominan, dan menggunakan kekuatan fisik. Sehingga banyak laki-laki yang menjadi korban kekerasan dan penyerangan. Sementara perempuan lebih mungkin menjadi korban pencurian dan korban pemerkosaan. Berdasarkan data dari FBI, pelaku kekerasan terhadap perempuan tidak lain dari pasangan intim mereka sendiri.Berdasarkan analisa tingkat penangkapan 2015, hansa ada dua kategori kejahatan dimana jumlah pelaku perempuan melebihi laki-laki, yaitu : prostitusi dan penggelapan. Hal ini menarik bagi sosiolog untuk mencari tahu bagaimana konstruksi sosial gender mempengaruhi kategori kejahatan.Hal berbeda terjadi pada kaum LGBTQ. Di Amerika Serikat, kejahatan rasial tertinggi ketiga adalah serangan bermotivasi bias orientasi seksual. Kelompok LGBTQ memiliki peluang yang besar sebagai sasaran kejahatan rasial. Mereka juga mengalami penangkapan, pengadilan, hukuman, dan pemenjaraan. Bahkan di dalam penjara, narapidana LGBTQ lebih rentan terhadap viktimisasi seksual dibandingkan narapidana rata-rata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun