Kasus Perceraian di Korea Utara
Korea Utara dikenal dengan aturan ketatnya, termasuk dalam hal perceraian. Perceraian di negara ini dianggap sebagai tindakan anti-sosialis dan tidak disukai oleh pemerintah. Sejak Desember 2024, aturan baru diterapkan di mana kedua belah pihak yang bercerai dikirim ke kamp kerja paksa, bukan hanya pihak yang mengajukan perceraian. Hukuman ini bisa berlangsung antara satu hingga enam bulan. Perceraian di Korea Utara sering kali dipicu oleh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kondisi ekonomi yang buruk.
Perceraian di Korea Utara memiliki dampak yang signifikan, baik bagi individu yang terlibat maupun masyarakat secara keseluruhan. Berikut adalah beberapa dampak utama:
Hukuman Berat: Pasangan yang bercerai di Korea Utara sering kali dihukum dengan kerja paksa di kamp militer. Hukuman ini bisa berlangsung antara satu hingga enam bulan. Hukuman ini tidak hanya berlaku bagi pihak yang mengajukan perceraian, tetapi juga bagi kedua belah pihak setelah aturan baru diterapkan pada Desember 2024
Stigma Sosial: Perceraian dianggap sebagai tindakan anti-sosialis dan sangat tidak disukai oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan stigma sosial yang berat bagi individu yang bercerai, yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan profesional mereka
Kondisi Ekonomi: Banyak perceraian dipicu oleh kondisi ekonomi yang buruk dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pandemi COVID-19 memperburuk situasi ekonomi, menyebabkan peningkatan jumlah perceraian karena kesulitan finansial yang dihadapi keluarga
Kesehatan Mental: Hukuman berat dan stigma sosial dapat berdampak negatif pada kesehatan mental individu yang bercerai. Mereka mungkin mengalami stres, depresi, dan kecemasan akibat tekanan sosial dan hukuman fisik
Pengaruh pada Anak: Anak-anak dari pasangan yang bercerai juga terkena dampak negatif. Mereka mungkin menghadapi stigma sosial dan kehilangan dukungan emosional serta finansial dari orang tua yang dihukum
Secara keseluruhan, perceraian di Korea Utara membawa dampak yang sangat berat bagi individu yang terlibat, baik dari segi fisik, mental, maupun sosial.
Korea Utara dikenal dengan kebijakan ketatnya yang sering kali dianggap melanggar hak asasi manusia. Salah satu kebijakan kontroversial adalah pelarangan perceraian, termasuk dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan apakah tindakan tersebut merupakan bentuk kriminalisasi oleh pemerintah terhadap warganya.
.
Dampak Kebijakan terhadap Korban KDRT
Pasangan yang bercerai, termasuk korban KDRT, dihukum dengan kerja paksa. Ini menambah penderitaan korban yang sudah mengalami kekerasan fisik dan emosional, belum lagi ditambah permasalahan perceraian membawa stigma sosial yang berat, membuat korban KDRT enggan melaporkan kekerasan atau mengajukan perceraian.
Kriminalisasi dalam Perspektif Hukum
Â
Kriminalisasi adalah proses di mana suatu perbuatan yang sebelumnya tidak dianggap sebagai tindak pidana dijadikan tindak pidana oleh Negara.
Dalam konteks Korea Utara, pelarangan perceraian dan hukuman berat bagi pasangan yang bercerai dapat dianggap sebagai bentuk kriminalisasi. Kebijakan ini mengubah tindakan perceraian, yang seharusnya menjadi hak individu, menjadi tindakan yang melawan hukum dengan ancaman sanksi pidana
Pandangan Hak Asasi Manusia
Â
Dari perspektif hak asasi manusia, kebijakan ini melanggar hak dasar individu untuk memilih dan mengambil keputusan pribadi, termasuk keputusan untuk bercerai. Organisasi hak asasi manusia internasional sering mengkritik Korea Utara atas pelanggaran hak-hak ini
Â
Pelarangan perceraian di Korea Utara, terutama dalam kasus KDRT, dapat dianggap sebagai bentuk kriminalisasi oleh pemerintah terhadap warganya. Kebijakan ini tidak hanya menambah penderitaan korban KDRT tetapi juga melanggar hak asasi manusia. Perlindungan dan dukungan bagi korban KDRT seharusnya menjadi prioritas, bukan hukuman yang lebih berat.
Pandangan Islam tentang Perceraian
Dalam Islam, perceraian dikenal sebagai talak dan dianggap sebagai solusi terakhir ketika masalah dalam pernikahan tidak dapat diselesaikan. Meskipun diperbolehkan, perceraian sangat dibenci oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, "Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak (perceraian)".
Islam memberikan aturan yang jelas mengenai perceraian untuk memastikan keadilan bagi kedua belah pihak.Â
Berikut adalah beberapa pandangan Islam tentang perceraian:
Perceraian sebagai Solusi Terakhir:Â
Islam mengajarkan bahwa perceraian hanya boleh dilakukan setelah semua upaya untuk menyelamatkan pernikahan telah dilakukan. Ini termasuk mediasi dan nasihat dari keluarga atau pihak ketiga
Proses Perceraian
Perceraian harus dilakukan dengan cara yang baik dan tidak menyakiti salah satu pihak. Suami harus mengucapkan talak dengan jelas dan tidak dalam keadaan marah
Masa Iddah
Setelah perceraian, istri harus menjalani masa iddah, yaitu periode menunggu sebelum ia bisa menikah lagi. Masa iddah ini bertujuan untuk memastikan tidak ada kehamilan dari pernikahan sebelumnya dan memberikan waktu bagi kedua belah pihak untuk mempertimbangkan kemungkinan rujuk
Hak dan Kewajiban
Islam mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak setelah perceraian, termasuk hak asuh anak dan nafkah
Etika Perceraian
Islam menekankan pentingnya menjaga etika dalam perceraian. Ini termasuk tidak menyebarkan aib pasangan dan tetap menjaga hubungan baik demi anak-anak
Perceraian di Korea Utara dan dalam pandangan Islam memiliki perbedaan yang signifikan. Di Korea Utara, perceraian dianggap sebagai tindakan anti-sosialis dan dihukum berat, sementara dalam Islam, perceraian diperbolehkan tetapi sangat dibenci dan harus dilakukan dengan cara yang baik dan adil. Kedua pendekatan ini menunjukkan bagaimana budaya dan agama mempengaruhi pandangan dan perlakuan terhadap perceraian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H