Masih dalam suasana Idul Fitri dan maaf memaafkan.
Meminta maaf itu susah, namun terlebih susah lagi memberi maaf. Serasa semua ego kita terbanting begitu kita memberi maaf kepada orang yang telah bersalah kepada kita. “Kayak dia yang menang dan kita yang kalah,” kata teman saya kesal, “serasa dia tertawa-tawa dan kita yang dirundung duka.”
Namun benarkah demikian? Benarkah memberi maaf mencerminkan kalau kita lemah ataupun bodoh? Pernahkah terpikirkan oleh kita kalau memberi maaf itu tindakan yang paling berani dan hadiah terindah yang dapat kita berikan kepada diri sendiri? Inilah beberapa alasan mengapa memberi maaf itu ‘pintar’:
1. Memberi maaf akan melepaskan kita dari jerat lingkaran setan
Iya persis. Lingkaran setan.
Pernah ga sih Kompasianer kesal dengan seseorang berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan dan terus memainkan peristiwa itu di kepala kita? Apa pun itu. Bisnis yang dirugikan, disakiti teman, ditipu orang, di-ghosting pacar. Apapun itu. Rasanya sakit luar biasa.
Kita kesal dan terus menerus merasa kalau orang ini bersalah dan harus meminta maaf kepada kita. Masalahnya, kalau orangnya ga nyadar dia bersalah, terus gimana? Sedang kita terus menerus memainkan peristiwa nyebelin itu di kepala kita. Ibarat ada tali, kita yang mencekik leher kita sendiri dengan tali itu. Bodoh bukan? Namun kita bisa jadi pintar dan berani dengan cara menggunting tali yang telah mencekik leher kita sekian lama, memberikan kepada orang yang menyakiti kita dan berkata, “Ini, terima kasih, tapi aku sudah tidak butuh ini lagi.”
2. Kemarahan = racun
“Kemarahan itu seperti meminum racun dan berharap musuhmu akan mati karenanya.” - Nelson Mandela
Kita sering mendengar quote di atas, namun mungkin tidak benar-benar kita hayati maknanya, sampai kita merasakan kemarahan di hati kita. Hati kita panas siang dan malam. Bahkan kopi dingin pun tak mampu menyejukkan hati yang panas ini. Bawaannya kesal melulu. Makan di restoran mewah pun kesal. Shopping pun cuma pelampiasan rasa kesal. Habis shopping menyesal. Duit sudah habis, tapi kesal tak kunjung mental. Bukankah hidup seperti ini sia-sia jadinya?
Lepaskan kemarahan, supaya ruang kosong di hati digantikan dengan kedamaian.
3. Life is all about us, not them
Hidup ini pada hakikatnya adalah cerita kita. Semua di dalamnya adalah tentang kita. Bukan tentang orang tua kita, bukan tentang saudara, bukan tentang teman kita, apalagi tentang si dia yang ghosting kita. Hidup ini tentang kita. Karena itu kita fokus yuk pada hal-hal di seputar diri kita. Bukan lagi kita inginkan si anu atau itu menderita juga, merasakan kemarahan kita, namun kita memilih untuk bahagia terlebih dahulu. Hidup kita adalah prioritas kita sekarang.
Memberi maaf kepada orang yang sudah bersalah kepada kita memang tidak mudah. Mungkin lebih mudah jembatan busway runtuh daripada kita bersedia merendahkan ego kita dan memaafkannya. Namun percayalah, ego kita sama sekali tidak menjadi rendah karena memberi maaf. Begitu kita sadari bahwa hidup ini lebih penting daripada sekedar mempertahankan ego (yang ga juga diperhatikan orang), kita akan lebih mudah untuk memaafkan.
Beberapa tips di bawah ini mungkin dapat menjadi masukan bagi Kompasianer dalam proses memberi maaf:
1. Luangkan waktu untuk berdua saja dengan kemarahan kita
Duduk dengan kemarahan kita, terima kehadirannya, bercakap-cakap dan berdamai dengannya.
2. Ambil keputusan
Pikirkan baik-baik kenapa kita mau memberi maaf dan bertekad untuk memberikan diri kita yang terbaik.
3. Hadapi si pembuat salah
Hadapi si pembuat salah, boleh langsung atau pun tidak langsung (menelpon, Whatsapp text ataupun surat) dan sampaikan apa yang menjadi ganjalan hati kita.
4. Ceritakan hal ini kepada teman yang bisa dipercaya
Mungkin kita takut kelihatan bodoh, namun bercerita justru bisa menguatkan.
5. Menyanyilah
Bagus atau ga nya suara kita, ga masalah. Nyanyilah lagu apa aja, mau dangdut atau rock atau lagu pujian kepada Tuhan. Let the voice out. It will clear the anger in your lungs.
6. Berdoa. Berdoa. Berdoa.
Ini yang paling penting dan nomor satu dari semuanya. Dalam setiap langkah dan proses nya, kita mohon tuntunan Sang Maha Pengatur Kehidupan.
Teman saya akhirnya memberi maaf kepada orang yang telah bersalah kepadanya. Dia pun mengungkapkan bahwa dia tidak suka dengan perlakuan orang itu dan melepaskan maaf untuknya. Banyak teman lainnya yang merasa dia koq mau ya ‘mengecilkan’ diri sendiri. Namun anehnya, katanya, dia malah merasa sebaliknya. Dia merasakan kelegaan luar biasa.
Melepas kemarahan dan memaafkan orang yang bersalah kepada kita pada hakikatnya kita lakukan bukan untuk dia, namun untuk kita sendiri. Kita memberi diri kita hidup yang terbaik.
Kalau melepaskan maaf membawa kedamaian dan kebaikan kepada hidup kita, apa lagi yang kita tunggu?
Rabu, 19 Mei 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H