10 tahun silam, kali kedua saya menginjakkan kaki di Surabaya pada tahun 2008, guna menuntut ilmu di Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, tak jauh dari kontrakan rumah yang saya kontrak secara royakan, untuk kepentingan fotokopi yang kala itu sangat bertaut dengan urusan pembelajaran, saya kenal dengan sosok manusia yang biasa dipanggil "Ambon". Ia cekatan, gampang akrab dengan orang-orang. Jika hendak memfotokopi, yang terlintas di benak, ya, fotokopi Ambon. Apalagi kala itu usaha fotokopi tidak semen jamur sekarang.
Kala itu, jika sampai di lokasi fotokopi ternyata yang melayani bukan Ambon, serasa ada yang hilang, serasa layanan fotokopi itu tidak lengkap. Sampai saat ini, urusan fotokopi saya, selalu terselesaikan melalui fotokopi milik Ambon, atau orang-orang yang pernah "dibesarkan" Ambon.
Awalnya, saya mengira namanya memang Ambon, tapi semalam, (Minggu,1 April 2018), setalah saya berhasil untuk "merayu"-nya agar berbagi perjalanan hidupnya, setelah berbincang dalam, lebih intens, lebih intim, saya ditertawai olehnya karena panggilan "Ambon" itu adalah panggilan orang-orang yang mengidentifikasi ia sebagai orang "Timur". Orang Timur yang saya maksud ialah mereka yang menggunakan jam dengan istilah WITA.
Ambon nama asli pemberian orangtuanya adalah Adam Manggo Bolen; Nama khas ala saudara sebangsa dari Indonesia timur yang tidak pernah saya temui di Jawa maupun di Madura. Ia masuk ke pulau Jawa pertama kali pada tahun 1995. Ikut pamannya.
Di Jawa, ia mondok di Pondok Pesantren Manaarul Islam, Bangil, Pasuruan selama 2,5 tahun. Kemudian setelah menuntaskan pendidikannya di pondok tersebut, pada 1998 ia melanjutkan pembelajarannya ke Fakultas Syariah jurusan Akhwalus Syakhsiyah; Hukum Keluarga, Kampus Muhammadiyah Surabaya.
Di Surabaya, saat ia tidak ada kuliah, membantu pekerjaan pamannya yang bergerak di bidang fotokopi. Kegiatan membantu pamannya ini, Adam lakukan sampai ia lulus kuliah.
Empat tahun bergelut dalam "dunia" fotokopi membuat ia mengerti betul, termasuk juga, bagaimana saat posisi diri bekerja kepada orang lain dengan segala plus-minusnya. Yang namanya bekerja kepada orang lain, ia ter tuntut untuk selalu sesuai dengan kehendak orang lain. Walau memang, kala itu Adam tidak menganggap dirinya bekerja tapi sekedar membantu atas pekerjaan pamannya, tapi hubungan pekerja dan pemilik usaha itu sangat terasa. Itulah yang mengasah dan menempa Adam di awal-awal hidup sebagai mahasiswa di Surabaya. Satu sisi belajar tapi di sisi yang lain menekuni dunia kerja.
Saat kuliah, Adam tinggal di asrama khusus mahasiswa. Pada saat itu pula, ia berkenalan dengan sepasang suami-istri asal Balikpapan, yang menurutnya sangat baik sekali, sampai ia dianggap dan diposisikan tak ubahnya anak atau keluarganya sendiri.
Saat Adam lulus kuliah pada tahun 2001, suami dari keluarga tersebut bertanya kepada Adam, kurang lebih terjadi percakapan seperti ini: "Dam, kini kan kau sudah lulus kuliah, terus kamu mau ngapain?". Adam ditanya dengan pertanyaan seperti itu seketika bingung. Ia jawab sekedarnya, "Ya, mau apa saya juga bingung, paling ya tetap mau bantu paman jaga fotokopi".
Adam kala itu juga "merayu" keluarga tersebut agar membantunya masuk bekerja di perusahaan ternama di mana keluarga tersebut bekerja. Keluarga tersebut bekerja di perusahaan ternama multinasional. Suami dari keluarga tersebut berucap, "Dam, bekerja kepada orang lain, selamanya kamu akan menjadi pekerja, dan itu tidak enak. Kamu tidak memiliki kebebasan untuk bertindak.
Bagaimana jika begini saja, saya kasih kamu uang 5 juta, gunakan uang tersebut untuk merintis usaha", deeeeeg. Adam kaget campur bingung. Uang sebesar itu, -ya, di tahun 2000 itu memang tergolong besar untuk ukuran Adam yang masih biasa megang uang "receh"- mau dibuat usaha apa?! Kemudian ia berpikir keras.
Sampai pada saatnya, Adam bulat untuk menerjuni usaha dagang. Ia kulaan barang di Surabaya, kemudian ia jual ke kampungnya, Waewerang, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Adam kulaan barang sesuai dengan kebutuhan orang-orang di Flores yang meliputi sarung, rokok, bahkan sampai kaset CD India-an.
Adam memutuskan untuk menjual sarung, karena di daerahnya, baik laki maupun perempuan, sarung menjadi sandang kebutuhan utama masyarakat. Termasuk orang meninggal dunia pun, sarung menjadi sandang yang paling dibutuhkan.
Dengan berjualan sarung, rokok, dan kaset CD India-an, Adam mampu meraih omzet yang melejit tajam. Pada masanya, ia merasa kaya dari usaha yang sedang ditekuninya.
Karena usaha yang ditekuni mampu membuat "dompet"-nya stabil dan berada di atas rata-rata, tepat pada tahun 2003, Adam memutuskan untuk menikahi seorang putri Jawa asal Lamongan, Jawa Timur. Dari istri tersebut, ia telah dikarunia anak, di mana saat hamil perdananya, Adam hanya menyediakan biaya persalinan normal yang ternyata, persalinan istrinya harus ditempuh dengan cara sesar. Kisah tentang sesar ini, nanti di bagian akhir akan saya ulas.
Adam menjajakan dagangannya di Flores dengan berjalan kaki laiknya pedagang pada umumnya. Walau kala itu sudah mulai ada pedagang yang menjajakan dagangannya dengan alat transportasi seperti motor.
Adam berjalan kaki sampai dagangan tersebut laris. Ia merasa puas karena capek jalan kaki dalam berdagang impas dengan pendapatan berdagangnya. Setelah dagangan habis, ia kembali ke Surabaya untuk kulaan barang dan menemui istrinya sebelum kemudian ia kembali berdagang ke Flores. Lalu lintas Adam Surabaya-Flores ditempuh melalui kapal laut. Sejak di kapal laut, Adam bergerilya menjajakan dagangannya. Dagangan yang laris di kapal, rata-rata kaset India-an.
Adam menekuni pekerjaannya setelah lulus kuliah pada tahun 2001 sampai 2005. Dalam berdagang, Adam mengalami jatuh bangun. Ditipu orang adalah pengalaman yang turut menempanya dalam bagaimana menjadi manusia yang harus tetap bangkit dan semangat menjalani hidup di tengah kondisi terpuruk sekali pun. Pengalaman Adam inilah yang penting saya bagi.
Suatu ketika, Adam dapat channel dari pengusaha rokok asal Sidoarjo yang hendak memasarkan produknya di Indonesia timur. Rokok ini diberikan secara cuma-cuma kepada Adam untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat di Indonesia Timur sebagai promosi. Satu bal adam gratiskan tapi sisanya ia jual. Dari rokok ini omzet Adam luar biasa dan ternyata rokok tersebut laris manis di Indonesia timur. Dari berjualan rokok tersebut Adam mendapat untung yang luar biasa besarnya.
Nah, pada suatu ketika, Adam mempercayakan dagangannya kepada sesama pedagang di Indonesia timur. Ia berasal dari Jawa Tengah. Ia ter tuntut pulang ke Surabaya karena istrinya hendak melahirkan.
Adam telah mempersiapkan segalanya untuk persalinan istrinya ini. Termasuk biayanya. Tapi, lanjut dari potongan kisah persalinan di atas, istri Adam ini tidak bisa melahirkan secara normal. Ia bersalin dengan cara sesar. Karena sesar, otomatis biaya persalinannya membengkak. Di tengah kondisi yang di luar perhitungannya, ia berusaha dengan segala cara untuk mengumpulkan uangnya yang terserak di mana-mana. Salah satunya, uang yang tertahan di pedagang yang telah menjual rokok dagangan Adam yang modalnya sungguh besar itu.
Ternyata, uang tersebut digelapkan oleh pedagang asal Jawa Tengah itu. Sampai sekarang lenyap tak membekas. Padahal, itu aset terakhir Adam dan jumlahnya memang tidak kecil.
Setelah persalinan lancar dengan biaya yang tak kecil, ditambah lagi uang Adam yang akan dijadikan sebagai modal usaha telah lenyap digelapkan, ada pesan istrinya yang menurut saya memukau, "Mas, barangkali rezeki kita memang ada di Jawa. Peristiwa ini mari jadikan petunjuk awal untuk menjemput rezeki kita tanpa harus berdagang ke Flores".
Adam berpikir keras. Kemudian, di tengah keterpurukannya, ia mulai merapat lagi ke pamannya yang punya usaha fotokopi. Adam kembali membantu pamannya di dunia fotokopi sejak 2005 sampai 2007 sebelum kemudian ia pamit baik-baik kepada pamanya untuk membuka usaha fotokopi sendiri. Nah, sejak tahun 2008, Adam merintis usaha fotokopi sampai kini ia menjadi "penguasa" usaha fotokopi di area Wonocolo. Adam telah "melahirkan" pengusaha-pengusaha fotokopi di samping ia sendiri memiliki usaha fotokopi.
Karena di sisi yang lain kala itu saya memang ingin sharing tentang dunia usaha fotokopi, sedangkan kisah perjalanan Adam yang mengesankan adalah bonus dari sharing tersebut, maka saat saya bertanya dengan pertanyaan, "Apakah dengan berbagi pengalaman dan berkenannya Anda mendampingi dan berbagi strategi pemasaran dalam dunia fotokopi tidak membuatmu merasa tertandingi dalam usaha fotokopi?!"
Pertanyaan ini sengaja saya lontarkan karena dalam dunia usaha itu biasanya setiap orang memiliki strateginya masing-masing dan strategi itu dijaga betul supaya tidak diketahui orang.
Ia kemudian tertawa lepas dan berujar, "Rejeki sudah ada yang mengatur. Santai saja. Prinsip saya, jika saya memudahkan orang, saya berkeyakinan, saya pasti juga akan dimudahkan oleh Tuhan. Dalam hal apa pun. Tidak hanya dalam hal usaha seperti ini". Saya jadi ingat pernyataan leluhur di Madura; "Pekerjaan boleh ditiru dan meniru, tapi rezeki hidup tetap apa kata yang maha kuasa".
Oya, sebagai orang Madura dari Sumenep, saya sedikit tersanjung karena hampir semua orang yang menjadi mitra kerja Adam di usaha fotokopi, sampai kami, saya dan Fathir, menjuluki Adam ini "legend" fotokopi Wonocolo, adalah orang Sumenep. Saat saya tanya, "Mengapa Anda lebih suka bermitra dengan orang Sumenep?" Jawabnya, "Karena orang Sumenep itu ulet, pekerja keras, dan jujur".
Kini, hampir semua usaha fotokopi di Wonocolo, 98 persen, sangat bertaut dengan "tangan dingin" Adam. Apalagi, Wonocolo sudah menjadi pusat strategis pertarungan usaha, termasuk fotokopi di dalamnya, setelah dibangun kampus Universitas Nahdlatul Ulama' Surabaya (UNUSA). Jadi, pangsa pasar fotokopi untuk dua kampus besar, UNUSA dan UIN Sunan Ampel, dengan jumlah mahasiswa yang ribuan. Tak heran bila harga kos-kosan dan kontrakan di Wonocolo, terus melejit naik dari tahun ke tahun.
Adam adalah orang sukses, baik dalam hal usaha maupun dalam membangun rumah tangga, tanpa peran dan keterlibatan ijazah S-1-nya. Hal ini harus dijadikan kiblat penyemangat hidup bagi siapa pun, utamanya, atas mereka yang ijazah sekolah atau kuliahnya tak bisa dijadikan sebagai kunci hidup, baik dalam urusan menjemput rezeqi maupun dalam hal lain.
Tapi kunci hidup sejati menurut saya, bagaimana pun hidup, kita harus menjadi pembelajar dan menjadi insan terdidik. Entah melalui sarana akademik formal maupun cara-cara belajar "jalanan" yang langsung menerjuni kehidupan.
Saya baru merasa semakin yakin atas adagium; "Pengalaman adalah guru terbaik dalam hidup".
Saya coba telisik, mendesak Adam untuk membeber faktor X di balik kesuksesan hidup yang telah diraihnya. Sebenarnya, dilihat dari raut wajahnya, ia enggan untuk membeber karena barangkali takut dianggap sombong, Karena ia semacam ditodong, ia membeber banyak hal yang pada intinya, hidup selain kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, juga harus ditopang oleh doa dan berbagi dari setiap rezeki yang dimiliki.
Keberkahan rezeki sangat ditentukan oleh seberapa besar rezeki yang dibagi tanpa syarat dan tanpa pamrih. Utamanya kepada mereka yang membutuhkan".
Salam,
Ayo bangkit, kreatif, dan produktif dalam hidup tanpa lupa untuk berbagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H