Sampai di sini dipahami bahwa fase pertama bersifat subjektif (internal) dan merupakan impunitas dalam hukum pidana. Sedangkan fase kedua dan fase ketiga bersifat objektif (eksternal). Namun, hannya fase ketigalah yang melahirkan tindakan permulaan pelaksanaan maupun penyempurnaan dan selanjutnya menjadi objek kriminalisasi oleh hukum pidana Indonesia.
Dengan demikian, hukum pidana Indonesia mulai berlaku pada tahap eksekusi (selain kasus makar dan terorisme), baik dalam model peyempurnaan tindak pidana, maupun model percobaan tindak pidana.
Menurut penulis, Undang-undang sudah tepat dengan mengkriminalisasi pada tahap eksekusi, terutama pada tindakan permulaan pelaksanaan tindak pidana. Mengingat sifat kriminal pelaku biasanya diekspresikan dan diamati bahkan sebelum seluruh unsur konstitutif sutu delik selesai secara sempurna. Selain itu, perbuatan perbuatan permulaan pelaksanaan juga sudah  membahayakan kepentingan yang dilindungi hukum.
Penulis juga setuju untuk tidak mengkriminalisasi niat jahat dana perbuatan persiapan. Alasan pertama, niat jahat dana tindakan persiapan tidak mempunyai akibat merusak kepentingan yang dilindungi hukum; Kedua, kita tidak dapat menakar atau menggukur niat jahat yang bersangkutan. Alasan yang sama pula untuk tindakan persiapan. Oleh karena itu, mengenai hal yang pertama (niat jahat) cukuplah diserahkan kepada norma agama.
Sampai di sini, penulis ketegahkan dua hal sebagai penegasan:
Pertama, Niat untuk melakukan tindak pidana (tahap pertimbangan) tidak dapat dihukum secara pidana.
Kedua, Hukum pidana Indonesia hanya menjangkau tahap eksekusi atau pelaksanaan tindaka pidana.
Jakarta, 05 Januari 2024
Penulis: Markus Lettang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H