Mohon tunggu...
Markus Lettang
Markus Lettang Mohon Tunggu... Pengacara - Asisten Pelayanan Hukum LBH Apik Jakarta

Fakultas Hukum Universitas Pamulang; Ario Basyirah And Patners Law Firm.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menentukan Sifat Kriminal dalam Iter Criminis Berdasarkan Hukum Pidana Indonesia

5 Januari 2024   18:42 Diperbarui: 5 Januari 2024   18:52 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Istockphoto

Ketika seseorang (lebih) melakukan tindak pidana (selanjutnya penulis akan menggunakan istilah tindak pidana dan kejahatan secara bergantian), mereka biasanya melalui tiga tahap utama, yaitu: niat untuk melakukan kejahatan, persiapan kejahatan, dan eksekusi akhir dari kejahatan.

Tahapan-tahapan yang berbeda ini membentuk "iter criminis" atau jalur kejahatan, yaitu jalur yang diambil oleh pelaku dari saat dia membayangkan melakukan tindak pidana hingga saat penyelesaiannya.

Pertanyaan utama yang muncul di sini adalah pada tahap apa tindak pidana dimulai? Pertanyaan ini akan terjawab dengan sendirinya pada saat penulis menjelaskan masing masing tahap di bahawah ini:

Tahap pertama dalam "iter criminis" adalah tahap pertimbangan. Pada tahap ini pelaku mengembangkan niat untuk melakukan tindak pidana. Tahap pertimbangan dapat dilihat dalam tiga derajat atau momen berbeda, yaitu: Pertama, Ide, yaitu Si calon pelaku memunculkan (memproduksi) ide untuk melakukan tindak pidana;

Kedua, pertimbangan, yaitu calon pelaku melakukan perenungan atau pertimbangan apakah akan melakukan tindak pidana atau tidak. Dalam hal ini ia mempertimbangkan pula keuntungan dan akibat yang akan diterima apabila perbuatan itu dilakukan.


Ketiga, Keputusan, yaitu Si Calon pelaku tersebut memutuskan secara bulan dalam pikirannya untuk mulai melakukan tindakan ektsernalisasi atau mewujudkan kejahatan. Jadi, di sini dapat ditentukan batas natara tahap internal dan tahap eksternal.

Pada prinsipnya, niat tidak cukup untuk mengkriminalisasi orang yang bersangkutan dan dengan demikian berada di luar cakupan hukum pidana. Premis utama ini sesuai dengan prinsip "kogitationis poenam nemo petotur" yang berarti "tidak seorangpun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan." Prinsip ini dianut di banyak negara hukum.

Tahap kedua dalam iter criminis adalah "persiapan." Pada tahap ini pelaku melangkah lebih jauh darai sekdar niat. Tegasnya, ia memutuskan untuk melakukan tindak pidana dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu sebagai persiapan mewujudkan suatu tindak pidana.

Pada tahap inilah prosesnya menjadi terlihat (tereksternalisasi). Namun, secara umum tahap ini pun merupakan impunitas hukum pidna (tidak dapat dihukum), karena tindakan ini tidak secara jelas mengungkapkan niat jahat pelaku (tindak pidana makar dan tindak pidana terorisme dikecualikan dalam konteks ini).

Secara konkret, tindakan persiapan dapat berupa, "menyiapkan sarana melakukan tindak pidana, memperoleh sarana atau alat untuk melakukan tindak pidana, menyusun rencana eksekusi, atau membuat kesepakatan dengan pihak lain."

Tahap ketiga dalam iter criminis adalah "eksekusi." Secara umum, perbuatan eksekusilah yang dapat diliputi sifat kriminal (dikriminalisasi). Dengan kata lain, hukum pidana Indonesia mulai berlaku pada tahap ini.

Tahap eksekusi dapat dikualifikasikan menjadi dua model, yaitu pertama, penyempurnaan kejahatan. Pada model ini pelaku telah menyelesaikan tindak pidana secara sempurna karena semua unsur konstitutif atau bestandeelic tersebut telah telah terpenuhi.

Ya, pada prinsipnya seseorang dikatakan sebagai pelaku tindak pidana, jika melakukan suatu tindakan yang telah mencokoki seluruh unsur inti delik (bestandeelic) secara sempurna atau tuntas. Oleh karena, itu pada tahap inilah perbuatan calon pelaku tersebut memperoleh sifat kriminal atau dapat dihukum secar pidana.

Namun, resim Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak hanya mengriminalisasi perbuatan yang telah memenuhi seluruh unsur inti delik secara sempurna, dan menganggap perlu memperluas kriminalisasi untuk perbuatan yang belum selesai. Hal mana seseorang (lebih) dapat saja dikriminalisasi tanpa semua komponen konstitutif (unsur inti delik) tersebut terpenuhi. Dalam kerangka ini kita telah memasuki model kedua dalam tahap eksekusi.

Model kedua, percobaan melakukan tindak pidana (poging). Poging sebagai legitimasi melakukan intervensi kriminal oleh penegak hukum pada tahap yang lebih awal, yaitu segera setelah ada permulaan pelaksanaan. Namun, pelaksaan kejahatan tersebut belum selesai atau belum terwujud secara sempurna, karena seluruh unsur konstitutif (unsur inti delik) ketentuan pidana yang dilanggar belum terpenuhi yang disebabkan oleh faktor ekseternal (bukan keinginan/kehendak pelaku sendiri).

Ketentuan tentang poging di atur dalam Pasal 53 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa:

"Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri."

Rumusan ketentuan Pasal 53 ayat (1) di atas dapat ditarik tiga unsur konstitutif percobaan tindak pidana, yaitu unsur kesalahan (subjektif), unsur material dan unsur khusus (objektif).

Unsur kesalahan dalam hal ini adalah "niat" pelaku untuk melakukan kejahatan, misalnya "terbentuknya niat untuk mencuri sepeda motor." Unsur material terdiri atas "permulaan pelaksanaan tindak pidana. Misalnya, menggeser, membongkar atau merusak stop kontak sepeda motor yang hendak dicuri.

Unsur khusus berkaitan dengan "kegagalan mewujudkan tindak pidana atau mundurnya pelaku untuk melakukan tindak pidana karena adanya faktor eksetrnal. Misalnya, gagal mencuri motor tersebut karena diteriakan oleh warga."

Ketiga elemen ini membentuk komponen konstitutif percobaan tindak pidana. Oleh karena itu, seseorang dapat dituntut dan dihukum atas percobaan melakukan tindak pidana (poging) hanya jika ketiga syarat ini terpenuhi secara kumulatif.

Sampai di sini dipahami bahwa fase pertama bersifat subjektif (internal) dan merupakan impunitas dalam hukum pidana. Sedangkan fase kedua dan fase ketiga bersifat objektif (eksternal). Namun, hannya fase ketigalah yang melahirkan tindakan permulaan pelaksanaan maupun penyempurnaan dan selanjutnya menjadi objek kriminalisasi oleh hukum pidana Indonesia.

Dengan demikian, hukum pidana Indonesia mulai berlaku pada tahap eksekusi (selain kasus makar dan terorisme), baik dalam model peyempurnaan tindak pidana, maupun model percobaan tindak pidana.

Menurut penulis, Undang-undang sudah tepat dengan mengkriminalisasi pada tahap eksekusi, terutama pada tindakan permulaan pelaksanaan tindak pidana. Mengingat sifat kriminal pelaku biasanya diekspresikan dan diamati bahkan sebelum seluruh unsur konstitutif sutu delik selesai secara sempurna. Selain itu, perbuatan perbuatan permulaan pelaksanaan juga sudah  membahayakan kepentingan yang dilindungi hukum.

Penulis juga setuju untuk tidak mengkriminalisasi niat jahat dana perbuatan persiapan. Alasan pertama, niat jahat dana tindakan persiapan tidak mempunyai akibat merusak kepentingan yang dilindungi hukum; Kedua, kita tidak dapat menakar atau menggukur niat jahat yang bersangkutan. Alasan yang sama pula untuk tindakan persiapan. Oleh karena itu, mengenai hal yang pertama (niat jahat) cukuplah diserahkan kepada norma agama.

Sampai di sini, penulis ketegahkan dua hal sebagai penegasan:

Pertama, Niat untuk melakukan tindak pidana (tahap pertimbangan) tidak dapat dihukum secara pidana.

Kedua, Hukum pidana Indonesia hanya menjangkau tahap eksekusi atau pelaksanaan tindaka pidana.

Jakarta, 05 Januari 2024

Penulis: Markus Lettang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun