Mohon tunggu...
Siti Mariyam
Siti Mariyam Mohon Tunggu... Lainnya - (Pe)nulis

Siti Mariyam adalah gadis yang lahir di planet bumi pada tahun 1999 silam. Gadis yang lahir dan tinggal di Tangerang Selatan ini mulai tertarik dunia kepenulisan sejak akhir masa SMP. Dari mulai hobi menulis diary hingga membaca cerpen-cerpen di internet juga novel. Ia selalu mencatat setiap kata baru yang ditemuinya saat menonton film dan membaca untuk menambah kosa kata dalam menulis ceritanya nanti. Dari semua itu, telah lahir beberapa cerita yang bisa kamu nikmati di halaman Kompasiana pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Buta: Menepati Janji

15 Maret 2024   00:15 Diperbarui: 15 Maret 2024   00:15 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Picture by Bing.com & Canva

          

          “Tyo, makanan kamu masih banyak, lho. Kamu gak mau habisin dulu makannya?” suara Kak Tyco terdengar dari luar sana tidak lama kemudian sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar.

          “Tyo, kamu, kan, bisa pakai handphone kakak kalau mau main game ataupun nonton youtube. Kamu jangan marah-marah sama ibu lagi, ya? Kalau mau marah-marah sama kakak aja,” lanjutnya sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar lagi.

        Gue tidak menghiraukan ucapan-ucapan Kak Tyco itu, karena yang tadinya marah banget, sekarang jadi malu banget. Saat itu gue bertanya-tanya. Entah arwah apa yang sudah merasuki tubuh gue, sehingga gue berpikiran dan bersikap menjadi seperti itu. Gue kenapa, sih? Gue ini padahal anak dan adik yang beruntung sudah memiliki orangtua dan kakak yang sangat menyayangi gue. Gue malah bersikap seakan-akan kurang kasih sayang, karena ibu dan ayah selalu mengutamakan Kak Tyco.

          “Tyo, kamu gak mau bukain pintu buat kakak? Kita, kan, masih tidur bareng.” Suara Kak Tyco kembali terdengar setelah beberapa saat menghilang. Gue lalu melihat jam yang sedang menempel di dinding kamar, waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 malam.

          Seketika gue tersadar. Gue dan Kak Tyco masih tidur bersama dan baru pindah kamar setelah gue masuk SMP. Berarti ia akan tidur di luar, dong, kalau gue tidak membukakan pintu? Jujur, gue tidak ingin membiarkan Kak Tyco tidur di luar, lebih tepatnya di kursi ruang tamu. Tapi, gue tidak bisa dan tidak berani menampakkan diri di hadapannya. Gue harus bagaimana? Kak, maaf banget. Untuk malam ini tidur di luar dulu, ya?

          Malam itu gue tidak bisa tidur. Mata gue sembab, pikiran gue kacau dan perut gue lapar. Jika dipikir kembali, gue akan gunakan untuk apa handphonenya nanti? Memangnya secara umum anak SD sudah diperbolehkan memiliki gadget, ya? Benar yang dikatakan oleh Kak Tyco, jika hanya untuk bermain game, gue bisa meminjam handphonenya tanpa harus memiliki juga.

          Lagipula, selama ini Kak Tyco tidak pernah melarang gue meminjam handphonenya, dengan catatan jangan sampai diketahui oleh ibu dan ayah. Jika mereka tahu, uang jajan gue akan dipotong selama satu minggu dan Kak Tyco juga akan mendapat hukuman. Kenapa harus ada peraturan konyol itu, sih, di dalam keluarga gue? Bisa tidak gue pindah ke keluarga yang lain?

         Tidak tahu jam berapa gue tertidur, ketika bangun keadaan gue kacau banget, sekacau hati dan pikiran gue semalam. Mata gue pegal, perut gue lapar dan tenggorokan gue haus banget. Gue tidak bisa jika terus berdiam diri di kamar seperti ini, yang ada nantinya gue malah sakit. Gue pasti akan merepotkan ibu, ayah dan Kak Tyco. Gue harus segera makan dan minum! Tanpa berlama-lama lagi, gue bangun dari kasur dan langsung berlari ke meja makan.

         “Lapar banget, ya?” Kak Tyco berkata saat melihat gue sedang makan roti yang sudah tersaji di meja dengan lahap, sambil ia membawa nasi goreng untuk sarapan kami pagi ini.

         “Kan semalam udah dibilang buat habisin dulu makannya,” lanjutnya sembari menata alat makan dan menuangkan air ke dalam gelas.

          Gue hanya mendengarkan ucapannya tersebut, karena masih fokus mengunyah roti yang ada di mulut gue. Ia juga menyuruh gue untuk sarapan lebih dulu tanpa harus menunggunya, menunggu ibu atau ayah jika memang gue sudah ingin makan. Gue masih dalam diam dan masih tidak sanggup melihat dirinya. Gue benar-benar malu atas apa yang sudah terjadi semalam.

          Setelah tubuh gue berenergi kembali sehabis makan roti dan minum, gue bangkit dari kursi dan menghampiri Kak Tyco yang masih menyiapkan sarapan. Gue putuskan untuk meminta maaf karena sudah bersikap seperti itu.

          “Kak, aku minta maaf soal semalam, ya? Aku udah jahat sama kakak,” gue berkata sambil menatap matanya, menggenggam kedua tangannya dan mencium kedua punggung tangannya itu.

         Kak Tyco tersenyum mendengarnya. Ia lalu memeluk tubuh kecil gue yang saat itu tingginya baru seperutnya. “Gak apa-apa, Tyo. Kakak gak marah sama kamu, kok. Mungkin kakak juga akan melakukan hal yang sama, deh, kalau ada di posisi kamu? Hehehe. Tapi, kamu jangan marah-marah sama ibu lagi, ya? Minta maaf juga sama ibu,”

Gue mengangguk sambil mengeratkan pelukkannya. Ternyata saat itu kami jadi adik kakak yang sweet banget, ya!

        Tidak lama kemudian, ibu datang. Seperti yang diperintahkan oleh Kak Tyco tadi, gue langsung meminta maaf padanya atas sikap gue yang semalam. Gue juga mengakui kesalahan pada ayah, dan gue terima konsekuensi jika harus dihukum. Saat itu juga gue berjanji tidak akan bersikap seperti itu lagi!

         Hari demi hari berlalu, akhirnya gue lulus dari SD bersamaan dengan Kak Tyco lulus dari SMA. Gue melanjutkan SMP ke tempat di mana Kak Tyco dahulu belajar dan ia melanjutkan pendidikannya di kampus yang diidam-idamkan banyak orang. By the way, otaknya kakak gue bisa dibilang sedikit pintar. Sedikit aja, ya, jangan banyak-banyak, nanti dia ke GR-an. Hehehe. Ia tidak boleh lebih unggul dari gue meski posisinya sebagai kakak!

        Hal-hal yang akan terjadi yang sudah direncanakan pun akhirnya terjadi. Iya, janji ibu dan ayah untuk memberikan gue handphone dan gue pisah kamar dengan Kak Tyco. Benar-benar menepati janji. Masalah handphone, gue sudah tidak begitu antusias lagi buat memilikinya meski sebelumnya sampai pernah marah-marah pada ibu dan mengkambing hitamkan Kak Tyco. Gue sadar, itu semata-mata hanya keinginan, bukan kebutuhan. Tetapi, hari itu ibu mendatangi gue, berkata akan mengajak gue ke toko untuk membeli handphone yang gue mau, bahkan jika sama seperti Kak Tyco pun diperbolehkan.

          “Beneran, Bu?” gue menjawab dengan begitu antusias yang padahal hanya berpura-pura aja.

        “Iya, dong. Ibu dan ayah udah janji buat belikan kamu handphone kalau udah masuk SMP, kan?” ibu juga ikutan antusias menjawabnya.

        “Tapi, kayaknya gak usah beli handphone, deh, Bu? Aku juga gak tahu mau dipakai buat apa? Nanti, kan, bisa pinjam sama kakak.” Tolak gue, karena masih merasa tidak enak hati atas kejadian saat itu.

       “Tyo, saat SD, masalah yang berkaitan dengan kamu di sekolah masih ibu yang handle, jadi kamu gak kami wajibkan memiliki handphone. Lagipula, kamu masih terlalu kecil. Benar,  masih gak tahu digunakan untuk apa nantinya. Tapi, Sekarang kamu mulai remaja yang punya kebutuhan sama seperti kakak, jadi gak bisa memakai barangnya secara bersamaan.”

       “Gak apa-apa, Bu. Nanti-nanti aja aku punya handphonenya, aku gak butuh banget, kok.”

       “Kamu butuh, sayang. Misalkan nanti ada tugas-tugas dari sekolah atau kamu mau main sama teman-teman kamu gimana cara hubunginya?  Kamu butuh handphone untuk alat komunikasi,”

       “Aku bisa main sama kakak di rumah, gak perlu main sama teman-teman. Main sama kakak aja udah cukup, kok.”

      “Gak bisa, Tyo. Kakak gak akan selalu bisa menemani kamu, main sama kamu, karena kakak punya kesibukkan sendiri, kamu pun sama nantinya. Jadi kamu harus punya teman, ya, walaupun hanya satu. Kalau bisa punya teman sebanyak-banyaknya.”

       Benar apa yang ibu katakan saat itu. Setelah masuk kuliah, Kak Tyco tidak ada waktu buat gue lagi, bahkan ia sering pulang telat dan suka menginap di rumah temannya. Tidak tahu apa yang ia lakukan di kampus dan di luar rumah, yang jelas gue jadi sendirian. Belajar, makan dan nonton TV sendiri, ditambah lagi sekarang gue sudah tidur sendiri. Biasanya sebelum tidur gue suka bercanda sama Kak Tyco, dan ia juga selalu bantu gue mengerjakan PR.

        Gue akhirnya menerima pemberian handphone dari ayah dan ibu tanpa memilih-milih merk dan type apa. Gue tidak mau muluk-muluk, Kak Tyco ada di samping gue terus aja sudah cukup. Benar juga, gue butuh alat untuk berkomunikasi, baik itu bersama keluarga maupun teman. Setelah handphonenya siap dipakai, Kak Tyco adalah orang yang pertama kali gue hubungi.

         “Kak, ini Tyo. Aku baru aja beli handphone, save nomor aku, ya.”

Begitulah isi pesan Whatsapp gue untuk Kak Tyco. Tidak menunggu lama, ia langsung membalasnya.

         “Asik, akhirnya punya handphone. Tunggu kakak pulang, ya. Nanti kita main game bareng. Oke?”

        “Oke, Kak. Aku tunggu, ya.”

          Iya, selain mengajari gue belajar, Kak Tyco juga mengajari gue bagaimana bermain game. Walau bagi gue sekarang itu tidak penting! Kak Tyco suka mengajak gue bermain, maksudnya menonton, karena gue belum memiliki handphone untuk bergabung. Ternyata kami bisa berkomunikasi dengan orang lain di dalam game, ya? Gue baru tahu. Kak Tyco biasanya bermain game bersama teman-temannya, sambil mengobrol dan gue ikut di dalamnya. Gue jadi kenal dengan mereka, bahkan kami main bareng jika mereka datang ke rumah.

         Ternyata punya teman itu seru, ya? Kenapa gue sempat berpikiran tidak apa-apa jika tidak punya teman? Padahal, pikiran gue selama ini salah. Gue tidak cukup hanya memiliki kakak, ibu dan ayah, gue juga mesti memiliki teman agar ada yang menemani ketika mereka tidak bisa menemani. Benar, dunia mereka gak hanya tertuju pada gue seorang meskipun kami keluarga. Mereka memiliki urusan masing-masing yang mesti dijalani yang dinamakan hidup. Ya, begitulah hidup. Mulai saat itu, gue sudah bisa perlahan-lahan berpikir ‘dewasa’. Bisa berpikir bagaimana jadinya dan apa dampaknya buat gue jika melakukan ini dan itu ke depannya. Gue jadi malu dan tertawa sendiri jika mengingat tindakan-tindakan bodoh gue selama ini. Dasar gue! Hehehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun