“Tyo, saat SD, masalah yang berkaitan dengan kamu di sekolah masih ibu yang handle, jadi kamu gak kami wajibkan memiliki handphone. Lagipula, kamu masih terlalu kecil. Benar, masih gak tahu digunakan untuk apa nantinya. Tapi, Sekarang kamu mulai remaja yang punya kebutuhan sama seperti kakak, jadi gak bisa memakai barangnya secara bersamaan.”
“Gak apa-apa, Bu. Nanti-nanti aja aku punya handphonenya, aku gak butuh banget, kok.”
“Kamu butuh, sayang. Misalkan nanti ada tugas-tugas dari sekolah atau kamu mau main sama teman-teman kamu gimana cara hubunginya? Kamu butuh handphone untuk alat komunikasi,”
“Aku bisa main sama kakak di rumah, gak perlu main sama teman-teman. Main sama kakak aja udah cukup, kok.”
“Gak bisa, Tyo. Kakak gak akan selalu bisa menemani kamu, main sama kamu, karena kakak punya kesibukkan sendiri, kamu pun sama nantinya. Jadi kamu harus punya teman, ya, walaupun hanya satu. Kalau bisa punya teman sebanyak-banyaknya.”
Benar apa yang ibu katakan saat itu. Setelah masuk kuliah, Kak Tyco tidak ada waktu buat gue lagi, bahkan ia sering pulang telat dan suka menginap di rumah temannya. Tidak tahu apa yang ia lakukan di kampus dan di luar rumah, yang jelas gue jadi sendirian. Belajar, makan dan nonton TV sendiri, ditambah lagi sekarang gue sudah tidur sendiri. Biasanya sebelum tidur gue suka bercanda sama Kak Tyco, dan ia juga selalu bantu gue mengerjakan PR.
Gue akhirnya menerima pemberian handphone dari ayah dan ibu tanpa memilih-milih merk dan type apa. Gue tidak mau muluk-muluk, Kak Tyco ada di samping gue terus aja sudah cukup. Benar juga, gue butuh alat untuk berkomunikasi, baik itu bersama keluarga maupun teman. Setelah handphonenya siap dipakai, Kak Tyco adalah orang yang pertama kali gue hubungi.
“Kak, ini Tyo. Aku baru aja beli handphone, save nomor aku, ya.”
Begitulah isi pesan Whatsapp gue untuk Kak Tyco. Tidak menunggu lama, ia langsung membalasnya.
“Asik, akhirnya punya handphone. Tunggu kakak pulang, ya. Nanti kita main game bareng. Oke?”
“Oke, Kak. Aku tunggu, ya.”