Gue hanya mendengarkan ucapannya tersebut, karena masih fokus mengunyah roti yang ada di mulut gue. Ia juga menyuruh gue untuk sarapan lebih dulu tanpa harus menunggunya, menunggu ibu atau ayah jika memang gue sudah ingin makan. Gue masih dalam diam dan masih tidak sanggup melihat dirinya. Gue benar-benar malu atas apa yang sudah terjadi semalam.
Setelah tubuh gue berenergi kembali sehabis makan roti dan minum, gue bangkit dari kursi dan menghampiri Kak Tyco yang masih menyiapkan sarapan. Gue putuskan untuk meminta maaf karena sudah bersikap seperti itu.
“Kak, aku minta maaf soal semalam, ya? Aku udah jahat sama kakak,” gue berkata sambil menatap matanya, menggenggam kedua tangannya dan mencium kedua punggung tangannya itu.
Kak Tyco tersenyum mendengarnya. Ia lalu memeluk tubuh kecil gue yang saat itu tingginya baru seperutnya. “Gak apa-apa, Tyo. Kakak gak marah sama kamu, kok. Mungkin kakak juga akan melakukan hal yang sama, deh, kalau ada di posisi kamu? Hehehe. Tapi, kamu jangan marah-marah sama ibu lagi, ya? Minta maaf juga sama ibu,”
Gue mengangguk sambil mengeratkan pelukkannya. Ternyata saat itu kami jadi adik kakak yang sweet banget, ya!
Tidak lama kemudian, ibu datang. Seperti yang diperintahkan oleh Kak Tyco tadi, gue langsung meminta maaf padanya atas sikap gue yang semalam. Gue juga mengakui kesalahan pada ayah, dan gue terima konsekuensi jika harus dihukum. Saat itu juga gue berjanji tidak akan bersikap seperti itu lagi!
Hari demi hari berlalu, akhirnya gue lulus dari SD bersamaan dengan Kak Tyco lulus dari SMA. Gue melanjutkan SMP ke tempat di mana Kak Tyco dahulu belajar dan ia melanjutkan pendidikannya di kampus yang diidam-idamkan banyak orang. By the way, otaknya kakak gue bisa dibilang sedikit pintar. Sedikit aja, ya, jangan banyak-banyak, nanti dia ke GR-an. Hehehe. Ia tidak boleh lebih unggul dari gue meski posisinya sebagai kakak!
Hal-hal yang akan terjadi yang sudah direncanakan pun akhirnya terjadi. Iya, janji ibu dan ayah untuk memberikan gue handphone dan gue pisah kamar dengan Kak Tyco. Benar-benar menepati janji. Masalah handphone, gue sudah tidak begitu antusias lagi buat memilikinya meski sebelumnya sampai pernah marah-marah pada ibu dan mengkambing hitamkan Kak Tyco. Gue sadar, itu semata-mata hanya keinginan, bukan kebutuhan. Tetapi, hari itu ibu mendatangi gue, berkata akan mengajak gue ke toko untuk membeli handphone yang gue mau, bahkan jika sama seperti Kak Tyco pun diperbolehkan.
“Beneran, Bu?” gue menjawab dengan begitu antusias yang padahal hanya berpura-pura aja.
“Iya, dong. Ibu dan ayah udah janji buat belikan kamu handphone kalau udah masuk SMP, kan?” ibu juga ikutan antusias menjawabnya.
“Tapi, kayaknya gak usah beli handphone, deh, Bu? Aku juga gak tahu mau dipakai buat apa? Nanti, kan, bisa pinjam sama kakak.” Tolak gue, karena masih merasa tidak enak hati atas kejadian saat itu.