Mohon tunggu...
Siti Mariyam
Siti Mariyam Mohon Tunggu... Lainnya - (Pe)nulis

Siti Mariyam adalah gadis yang lahir di planet bumi pada tahun 1999 silam. Gadis yang lahir dan tinggal di Tangerang Selatan ini mulai tertarik dunia kepenulisan sejak akhir masa SMP. Dari mulai hobi menulis diary hingga membaca cerpen-cerpen di internet juga novel. Ia selalu mencatat setiap kata baru yang ditemuinya saat menonton film dan membaca untuk menambah kosa kata dalam menulis ceritanya nanti. Dari semua itu, telah lahir beberapa cerita yang bisa kamu nikmati di halaman Kompasiana pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Kakakku Idola Teman-temanku (Last Part)

31 Desember 2023   23:45 Diperbarui: 28 Februari 2024   11:11 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

              'Tok.. tok.. tok..'

            Suara ketukan itu membuat kepala yang tengah kubenamkan di atas meja langsung menoleh ke arah pintu. Aku tersenyum lebar. Rasa kantuk yang disebabkan terlalu lama menunggu Kak Reno pulang seketika hilang, karena yakin seseorang yang ada di luar sana adalah dirinya.

            "Buka aja, Kak. Gak dikunci, kok." Jawabku dengan sedikit meninggikan suara. Aku pun mengembalikan foto-foto yang sempat kulihat pada tempatnya selagi tadi menunggu Kak Reno.

            Ada satu foto yang sukses membuatku tertawa, yaitu foto ketika Kak Reno kecil dengan gigi yang ompong di bagian depan. Aku tak bisa memperkirakan berapa umur Kak Reno kala itu, yang jelas adiknya ini belum terlahir di dunia. Meski begitu, ia tetap terlihat tampan, karena sedari kecil ia memang sudah tampan. Aku pernah bilang, kan? Hehehe.

            Ada satu foto lagi yang membuatku merasa bangga, bahagia dan beruntung memiliki kakak seperti Kak Reno. Bukannya berlebihan, kamu pun pasti merasakan hal yang sama pada kakak-kakakmu. Bersyukurlah yang memiliki saudara, baik itu kakak maupun adik, karena dengan adanya ia hidup kita tidak kesepian.

            'Tok.. tok.. tok..'

            Aku mengernyitkan alis mendengar ketukan itu lagi. Apa Kak Reno tak mendengar ucapanku tadi, sehingga ia tidak membuka pintunya sendiri?

            "Buka aja, Kak. Gak dikunci, kok." Aku kembali mengatakan itu dengan lebih meninggikan suara, agar ia mendengar jawabanku. Namun, ketukan itu lagi-lagi terdengar. Kak Reno tak mungkin tak mendengar suaraku, ia pasti menginginkan aku yang buka pintunya. Manja sekali ia.

            "Tadi, kan, aku udah bilang, pintunya gak dikun.." ucapanku terhenti setelah membuka pintu mendapati seorang gadis dengan seragam sekolah yang masih menempel di tubuhnya.

            "Inka!" Aku terbelalak melihat dirinya ada di hadapanku. Jadi, orang yang mengetuk-ngetuk pintu itu adalah gadis centil yang selalu mengusik hidupku, bukan Kak Reno yang tengah kutunggu-tunggu kedatangannya? Pantas saja, ia tak membuka pintunya sendiri.

            "Ngapain kamu ke sini? Mau menertawakan keadaanku yang cacat ini?" Aku berkata dengan menekankan kata 'cacat' padanya, yang seketika membuat ia mengangkat kepala yang sedari tadi tertunduk.

            "Nggak, Rena. Aku ke sini beneran gak ada maksud seperti itu. Aku ingin tahu bagaimana keadaan kamu. Aku khawatir banget sama kamu." Inka menjawab sambil bersimpuh di hadapan temannya ini yang sekarang harus menggunakan kursi roda untuk memudahkannya berpindah tempat dari tempat satu ke tempat yang lain, karena kedua kakinya sudah tak dapat lagi digunakan untuk berjalan akibat musibah yang dialaminya.

            "Nggak mungkin kamu peduli sama aku. Aku tahu bagaimana kamu. Kamu pasti senang, kan, melihat keadaan aku yang sekarang?"

            "Nggak, Rena. Aku benar-benar khawatir sama kamu. Pak Reno bilang.."

            "Kakakku bilang apa?" Aku langsung memotong ucapannya itu, sebab ia terlalu bertele-tele untuk mengatakan yang sebenarnya sudah kuketahui maksudnya datang ke sini.

            "Bilang aku ini cacat? Aku lumpuh, gak bisa berjalan? Aku sekarang jadi merepotkan orang lain, karena harus pakai kursi roda ke mana-mana? Iya?"

            Aku terus memaki Inka dengan mencemooh diriku sendiri, hingga Kak Reno datang untuk mengetahui apa yang terjadi dengan kami. Aku tak tahu kapan ia tiba di rumah, namun aku yakin ia pulang bersama Inka.

            "Ada apa Rena, Inka?" Kak Reno bertanya dengan masih mengenakan tas kerja yang ada di punggungnya.

            "Kakak kenapa bawa gadis ini ke sini?" Bukan menjawab, aku malah melontarkan kembali pertanyaan lain padanya.

            "Atau jangan-jangan kakak pergi sama dia sampai pulang ke rumahnya telat?" Tanpa disadari aku menuduh Kak Reno dan Inka dengan mengatakan itu.

            Mendengar hal demikian, Inka langsung membuka suara. "Nggak, Rena. Itu gak seperti yang kamu pikir. Aku memang ke sini sama Pak Reno, tapi.."

            "Tapi apa? Tuh, kan, benar kalian pergi bareng," lagi-lagi aku memotong ucapannya.

            "Kamu dengarkan aku dulu, Rena. Aku ke sini memang sama Pak Reno, tapi kami gak pergi bersama seperti yang kamu bilang. Kami bertemu di jalan ketika aku mau ke rumahmu dan Pak Reno mau pulang juga ke rumah. Kakak kamu tadi masih ada urusan di sekolah sampai pulangnya telat."

            Gadis itu menjelaskan bahwa tuduhanku tersebut salah. Kak Reno juga membenarkan penjelasannya dan meminta maaf padaku karena pulang telat. Ia bilang, handphonenya mati sehingga tidak bisa mengabariku jika akan pulang telat karena ada urusan di sekolah yang harus diselesaikan.

            Aku yang merasa malu telah menuduh mereka berdua yang tidak-tidak langsung memundurkan kursi roda kembali masuk ke kamar meninggalkan Inka dan Kak Reno yang tengah berdiri di hadapanku.

            "Pak Reno, izinin aku ngobrol berdua sama Rena dulu, ya?"

            Aku mendengar suara Inka mengatakan itu ketika baru memasuki ruang tidur saudara lelakiku. Tak lama kemudian, aku mendengar lagi suara Inka yang memanggil diriku dari arah belakang. Seketika aku menghentikan mendorong alat bantu jalanku.

            "Rena, aku minta maaf!"

            "Aku minta maaf atas sikapku ke kamu selama ini." Inka kembali mengatakan permintaan maaf itu sambil bersimpuh di hadapanku.

            "Aku tahu, sikapku yang memusuhi kamu itu salah. Aku sebenarnya cemburu sama kamu. Aku.." Inka menghentikan ucapannya itu, lalu menundukkan kepala sama seperti aku yang sedari tadi menundukkan kepala saat ia sedang berbicara padaku. Namun, aku masih tetap mendengarkan ucapannya meski tidak saling bertatap wajah.

            "Aku iri sama kamu. Kamu punya kakak yang sayang dan perhatian sama kamu, sementara aku sendiri, gak punya kakak atau adik. Aku bersikap seperti itu sama Pak Reno karena ingin juga mendapat perhatian darinya seperti kamu, bukan karena aku benar-benar suka. Mana ada, sih, murid yang menyukai gurunya sendiri? Mungkin ada, tapi yang kita tahu itu hanya di sinetron.

Hatiku hancur ketika tahu Pak Reno adalah kakak kamu. Entah kenapa aku gak rela dia jadi kakak kamu, sehingga setiap kali melihat kamu rasanya.. aarrrggghhh.. ingin aku lenyapkan kamu dari dunia ini, biar Pak Reno menjadi kakakku, biar aku yang mendapat perhatian dan kasih sayangnya. Tapi aku gak mungkin melakukan itu, karena Tuhan telah menakdirkan kamu menjadi adik Pak Reno dan aku tak bisa merubahnya."

            Seketika suasana kamar Kak Reno hening, yang terdengar hanya suara hembusan napasku dan napas Inka setelah dirinya berhenti berbicara. Beberapa detik kemudian, ada tetesan air jatuh mengenai kakiku. Aku perlahan mengangkat kepala yang tengah menunduk untuk melihat Inka di depanku.

            "Aku minta maaf, Rena." Dengan penuh penyesalan Inka mengatakan itu, dan air tersebut adalah air mata yang jatuh dari kelopak matanya.

Perlahan-lahan Inka menyentuh tanganku sambil berkata, "kamu mau, kan, jadi temanku?"

Tanpa disadari, mataku pun ikut mengeluarkan air mata mendengar ucapan gadis yang pernah menjadi musuhku ini. Aku langsung memeluk erat dirinya sebagai jawaban bahwa aku mau menjadi temannya.

            "Aku juga minta maaf ya, karena udah bersikap yang gak baik sama kamu. Selalu menuduh kamu yang nggak-nggak. Aku gak rela Kak Reno diambil orang lain, aku sayang banget sama dia. Dia kakakku satu-satunya. Tapi, Kak Reno sekarang boleh, kok, jadi kakak kamu juga."

            Inka tersenyum lebar mendengar ucapanku tersebut. Kami saling bertatap-tatap, juga saling menghapuskan air mata yang jatuh di pipi masing-masing. Aku yakin Inka telah berubah. Air mata itu sudah menjadi bukti bahwa ia telah menyesali perbuatannya selama ini. Tatapan ketidaksukaan terhadap diriku sudah tidak lagi terlihat di matanya. Malam ini, aku dan Inka resmi berteman!

            "Besok, kan, sekolahnya libur, aku boleh ya menginap di rumahmu?"

            "Tentu boleh, dong. Tapi bukan di sini kamar aku, ini kamar Kak Reno."

            "Oh, ini kamar Pak Reno.."

            "Iya, karena kelamaan pulangnya, akhirnya aku nunggu di kamarnya."

            Inka lalu melihat-lihat isi kamar Kak Reno, aku membuntutinya perlahan dari belakang, agar bila ada pertanyaan darinya aku bisa langsung menjawabnya. Seperti yang satu ini..

            "Ini foto Pak Reno waktu masih kecil?"

            "Iya, itu foto Kak Reno kecil, masih ompong giginya."

            "Hahaha.."

            "Pak Reno memang udah tampan ya sedari kecil, mirip banget lagi sama kamu."

            "Iya, biar gak ada yang mengakui Kak Reno kakaknya. Terus kalau mirip yang lain berarti dia bukan kakak aku dong. Hehehe."

            "Hehehe."

            Belum lama Inka melihat isi kamarnya, Kak Reno memanggil kami untuk makan malam bersama. Jam pun sudah menunjukkan pukul delapan tepat, memang waktunya perut kami diberi asupan. Tanpa berlama-lama lagi, kami menurut perintah Kak Reno. Inka lalu membantuku mendorongkan kursi roda ke meja makan.

            Makan malam dimulai ketika kami sudah kumpul, ibu dan Kak Reno telah berada di meja makan lebih dulu dan siap menyantap makanan yang ada di hadapannya. Ibu membuka suara mengawali pembicaraan di tengah-tengah makan. Wanita itu banyak bertanya kepada Inka, salah satunya seperti ini.

            "Rena punya teman gak, sih, di sekolah? Kamu, loh, teman pertama Rena yang main ke rumah."

            Mendengar ibu berkata begitu, aku langsung membuka mulut untuk menjawab. "Punya ibu, buktinya ini lagi main."

            "Tapi, kan, sebelumnya gak ada sayang,"

            "Yang penting sekarang ada, Bu."

            Inka dan Kak Reno tertawa menyaksikan aku juga ibu berselisih. Ibu benar, memang Inkalah teman SMA pertamaku yang datang ke rumah untuk main. Namun, ibu tidak benar jika berpikir bahwa aku tak memiliki teman di sekolah.

            Aku berteman dengan anak-anak di sekolah, baik laki-laki maupun perempuan dan dari senior juga junior. Posisiku saat ini menjadi junior, sih. Tapi, tidak harus, kan, mereka kuajak ke rumah agar dibilang kami berteman atau aku memiliki teman?

            "Inka, kamu nginap di sini aja, ya. Udah malam soalnya kalau pulang ke rumah." Kak Reno mengatakan itu pada Inka di akhir makan malam kami.

            "Iya, Pak. Niat aku memang mau menginap di sini, aku juga udah bilang sama Rena. Besok, kan, libur sekolahnya."

            Mengetahui Inka memanggil Kak Reno dengan sebutan itu, ibu tertawa sambil berkata. "Kamu dipanggil apa, Kak? Pak? Bapak? Hahaha."

            "Iya, di sekolah Pak Reno dipanggil 'bapak', tante." Inka menjawab.

            "Anakku ini masih muda, jangan dipanggil 'bapak' ah. Panggil kakak aja," ucap ibu.

            "Pak Reno memang dari awal dipanggil 'bapak' tante, Pak Reno sendiri yang membahasakannya pada kami."

            Ibu kemudian bertanya lagi pada Kak Reno, dan ia membenarkan ucapan Inka itu. Ia bilang, biar sama seperti guru lain yang dipanggil 'bapak'. Tapi benar juga. Memang ada ya, guru laki-laki dipanggil 'kakak'? Ada!

            Karena diselingi mengobrol, tak terasa makan malam pun usai. Nasi beserta lauk yang ada di piring kami telah habis. Aku dan Inka membantu ibu membereskan piring-piring kotor untuk dibawa ke dapur.  Setelah itu, masuk ke kamar untuk beristirahat, begitu juga ibu dan Kak Reno.

            Malam ini aku sangat bahagia. Hubunganku dengan Inka akhirnya membaik. Ada hikmah di balik musibah yang aku alami. Tak apa jika keadaanku harus seperti ini, asal aku terus berteman baik dengannya.

            "Selamat malam, Rena!"

            "Selamat malam juga, Inka!"

            Mata kami kemudian tertutup, dan perlahan-lahan kami masuk ke alam bawah sadar. Kami pun tertidur lelap.

Aku tak menyangka, Inka bersikap berlebihan pada Kak Reno ternyata memiliki alasan, bukan semata-mata karena dirinya 'centil'. Inka pasti sangat kesepian menjadi anak tunggal, ditambah jika kedua orangtuanya bekerja. Harusnya aku bisa menjadi teman untuk meramaikan hari-harinya, bukan malah menjadi 'musuh' yang sudah seperti terjadi ini.

Thank's for reading

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun