'Harusnya aku jadi dokter, bisa mengobati Rena yang sekarang sedang sakit. Bukan jadi guru yang malah menambah sakit dirinya karena kesalah pahaman antaraku dan teman-temannya.'
      'Maafkan kakak, Rena. Maafkan kakak.'
      Samar-samar telingaku mendengar kalimat itu, sambil menggerakkan perlahan mata yang berat sekali dibuka. Aku pasti berada di rumah sakit sekarang, karena hidungku terpasang alat bantu pernapasan. Juga ruangan yang sedang kutempati ini bukan kamarku, melainkan rumah sakit untuk orang-orang sakit ataupun terluka yang disebabkan oleh kecelakaan seperti yang kualami ini, saat pulang sekolah.
      Aku ingat kejadian itu. Kejadian di mana tubuhku tersentuh mobil hingga membuat diri ini melayang di udara selama beberapa detik dan kemudian jatuh terhempas di jalan beraspal yang meninggalkan rasa sakit di sekujur tubuhku.
Ini pasti karena tubuhku jatuhnya di jalan beraspal, bukan kasur yang biasa kutiduri di rumah. Hehehe. Sebelum kejadian tersebut, aku sempat beradu mulut dengan Kak Reno. Aku geram padanya, karena ia telah berbohong padaku.
      "Dokter, adik saya kok, belum sadar juga, ya? Dia gak kenapa-kenapa, kan?"
      Walau mata masih terpejam, aku dapat mendengar suara Kak Reno lagi, kali ini sedang berbicara dengan seseorang yang dipanggil dokter. Ia tak tahu, bahwa adiknya sudah sadar, namun matanya berat untuk dibuka. Entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri, Kak Reno begitu khawatir.
      "Adiknya Mas baik-baik aja, kok. Tapi ada satu hal yang harus saya sampaikan,"
      "Apa, Dok? Adik saya kenapa?" Kak Reno langsung menyambar ucapan lawan bicaranya itu, karena tidak berterus terang mengatakan apa yang ingin ia katakan mengenaiku. Aku pun memfokuskan telinga, agar tak terlewatkan satu kata yang ke luar dari mulutnya.
      "Akibat kecelakaan itu, kaki adik Mas mengalami kelumpuhan."
      "Lumpuh? Jadi adik saya gak bisa berjalan, Dok?"
      Apa? Aku lumpuh? Tidak! Lelaki yang menanganiku itu pasti salah! Perlahan-lahan mataku dapat terbuka setelah mendengar hal tersebut, dan melihat dua lelaki yang berbeda profesi itu saling bercakap-cakap.
      Namun, saat aku mencoba menggerak-gerakkan tubuhku, terutama pada bagian kaki, kedua kakiku itu tak ikut bergerak sebagaimana mestinya. Aku lalu membuka selimut yang menutupi tubuhku, dan melihat kedua kakiku yang ternyata diperban. Jadi, aku benar-benar lumpuh? Kenapa sedari tadi aku tak menyadari salah satu bagian dari diriku tak berfungsi?
      "Nggak, aku gak mau lumpuh. Dokter pasti salah, kan?" Ucapku pelan, yang membuat perhatian dua lelaki itu tertuju padaku.
      Seketika napasku sesak. Aku tak bisa bernapas dengan baik setelah alat bantu pernapasan yang terpasang di hidungku kulepas untuk mengatakan kalimat tersebut. Melihat aku yang kesulitan bernapas, dokter kembali memasangkan alat itu ke hidungku.
      "Rena, kamu tenang, ya. Tenang. Ada kakak di sini. Kamu tenang, ya." Kak Reno berkata sambil menggenggam tangan kananku, diiringi napasku yang perlahan-lahan dapat berhembus dengan teratur lagi.
      Aku hanya memandangnya tanpa berkata apapun. Aku sudah cukup tenang dengan ada dirinya di sampingku kini, meski tak tahu bagaimana jadinya hidupku setelah pulang dari rumah sakit dengan keadaan yang seperti ini.
      Mataku yang sedang memandang dirinya tiba-tiba menjadi kabur karena air mata sudah membendung di kelopak mataku. Aku menggigit bibir agar tangisku tak terdengar dan diketahui oleh Kak Reno, walau ia melihat lelahan air mata mengalir di pipiku.
      Kak Reno mendekapku setelah mengetahui air mata ini banyak berjatuhan. Di dalam pelukkannya, aku menumpahkan semua tangis. Sesekali ia menghapus air mata yang ada di pipiku. Aku rindu saat seperti ini bersama dirinya. Tak ada orang lain yang mengacaukan hubungan persaudaraan kami.
      Namun, hangatnya dekapan Kak Reno tak berlangsung lama. Ada sebuah ingatan tentang permasalahanku yang lalu-lalu dengannya muncul di kepalaku, membuat diri ini murka dan langsung melepaskan pelukkannya secara kasar sambil berkata..
      "Lepasin aku, Kak! Ini semua itu karena kakak!"
      "Iya, Rena, ini karena kakak. Kakak minta maaf. Kamu tenang, ya."
      "Nggak, aku gak mau lihat kakak. Kakak ke luar dari sini!"
      "Rena, kakak minta maaf. Kakak tahu kakak salah."
      "Ke luar sekarang!"
      "Rena maafkan kakak, kakak tahu kakak salah."
      Napasku kembali terasa sesak, namun tidak seburuk tadi meski tanpa bantuan alat pernapasan. Dokter yang melihatku begitu menyarankan agar Kak Reno mengindahkan ucapanku.
      "Mas, sebaiknya ke luar, ya. Biarkan adiknya istirahat dulu,"
      "Tapi, Dok, saya kakaknya."
      "Iya, Mas. Untuk sekarang ini biarkan adik Mas istirahat dulu, ya?"
      Kak Reno pasrah, ia pun mengeluari ruanganku. Dokter memeriksa keadaanku dan memasangkan kembali alat bantu pernapasan ke hidungku sambil mengatakan pada diri ini bahwa semua akan baik-baik saja. Perasaanku tenang seketika.
      Tak berselang lama setelah Kak Reno pergi, ibu datang. Aku tersenyum, meskipun kesedihan masih tersimpan di dalam hati ini. Aku takut akan merepotkan wanita itu karena sekarang keadaanku berubah, tidak seperti sebelum aku mengalami kecelakaan ini.
      "Kamu baik-baik aja kan, sayang?" Ujar ibu yang sudah duduk di sampingku sambil mengusap-usap kepalaku.
      Aku mengangguk sembari tersenyum menjawab pertanyaannya itu. Untuk lebih bebas berbicara dengan ibu, aku melepas alat bantu pernapasan di hidungku. Namun, sebelum dilakukan ibu melarangku. "Jangan dibuka, sayang."
      "Nggak apa-apa, kok, Bu. Aku udah baik-baik aja. Jadi gak perlu pakai ini lagi." Jawabku sesuai apa yang kurasakan saat ini, baik-baik saja.
      "Tapi, kaki aku, Bu.." lanjutku yang seketika menangis lagi.
      "Iya sayang. Kamu sabar, ya. Ibu, ayah dan kakak akan selalu ada buat kamu. Kita akan bantu kamu terus. Kamu pasti bisa berjalan lagi, percaya sama ibu."
      "Aku begini karena kakak, Bu. Kakak udah gak peduli sama aku. Dia cuma peduli sama teman-teman aku."
      "Ini musibah, sayang, bukan karena kakak. Kakak itu sangat peduli dan sayang sama kamu. Selama kamu belum sadar, kakak yang menjaga kamu dari sepulang sekolah sampai sekarang. Kakak gak mau digantikan oleh ibu untuk menjaga kamu. Kakak ingin dirinyalah menjadi orang pertama yang dilihat dan mengetahui keadaan kamu setelah sadar."
      Aku terdiam, mengingat sesuatu. Benar, baju yang Kak Reno pakai kemarin masih sama seperti yang kulihat tadi. Jadi Kak Reno? Ya Tuhan, ada apa dengan aku sebenarnya? Aku malah mengusir Kak Reno yang telah meluangkan waktunya untuk menjagaku sampai ia tak pulang ke rumah. Aku juga memarahi dan menuduhnya atas apa yang telah terjadi padaku. Padahal ini musibah, bukan karena dirinya seperti yang dikatakan oleh ibu.
      "Kamu jangan marah sama kakak lagi, ya? Kakak begitu karena ia seorang guru, sudah pasti ia perhatian dan peduli juga pada teman-teman kamu." Ibu melanjutkan bicaranya.
      "Aku salah ya, Bu?"
      "Nggak ada yang salah, sayang. Ini hanya salah paham. Ibu tahu kamu sayang sama kakak, tapi kamu harus mengerti kakak juga."
      Bodoh! Sudah pasti aku bersalah, masih saja bertanya. Kak Reno pasti sekarang sedih banget, karena aku telah bersikap seperti itu padanya. Selalu menuduh yang macam-macam, padahal itu tidak benar. Maafkan adikmu ini, Kak.
      "Kakak sekarang di mana, Bu? Gak berangkat ke sekolah, kan?"
      "Kakak kayaknya di rumah, deh? Ibu juga gak tahu lagi kakak di mana sekarang,"
      "Aku pulang sekarang aja ya, Bu? Aku mau minta maaf sama kakak."
      "Jangan, sayang. Tunggu perintah dari dokter dulu, ya? Kamu, kan, belum pulih banget."
      "Aku udah baik-baik aja, Bu. Aku mau pulang sekarang aja."
      "Iya, sayang. Nanti ibu coba tanya dokter, ya. Tapi kamu benar udah baikkan keadaannya?"
      "Iya, Bu. Aku udah baik-baik aja, kok."
      Ibu lalu menyururhku beristirahat.
      Saat malam harinya, dokter kembali memeriksa diriku. Ia mengatakan bahwa aku bisa pulang besok pagi, karena keadaanku sudah membaik seperti yang aku rasakan. Namun, hingga aku pulang Kak Reno tak mengunjungiku di rumah sakit lagi. Ia pasti kecewa, sebab aku telah berlaku seperti itu padanya. Atau Kak Reno menjalankan aktivitas seperti biasanya, mengajar di sekolah?
Â
'Kak,
Hari ini aku pulang. Selesai di sekolah kakak langsung ke rumah, ya.'
Begitulah pesan Whatsappku, setelah sebelumnya teleponku tak diangkat. Ia mungkin sedang mengajar.
'Beneran kamu pulang hari ini?
Iya, Rena. Selesai mengajar kakak langsung pulang ke rumah. Tunggu kakak, ya.'
Beberapa menit kemudian, Kak Reno membalas.
     Aku tersenyum lebar seusai membaca kalimat itu. Pikiranku salah, tak ada tanda-tanda dirinya kecewa atau marah padaku. Aku senang sekali. Bahkan sampai lupa bahwa akibat kecelakaan itu, kakiku tak dapat lagi digunakan untuk berjalan.
                                                                 ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H