Aku mengangguk sembari tersenyum menjawab pertanyaannya itu. Untuk lebih bebas berbicara dengan ibu, aku melepas alat bantu pernapasan di hidungku. Namun, sebelum dilakukan ibu melarangku. "Jangan dibuka, sayang."
      "Nggak apa-apa, kok, Bu. Aku udah baik-baik aja. Jadi gak perlu pakai ini lagi." Jawabku sesuai apa yang kurasakan saat ini, baik-baik saja.
      "Tapi, kaki aku, Bu.." lanjutku yang seketika menangis lagi.
      "Iya sayang. Kamu sabar, ya. Ibu, ayah dan kakak akan selalu ada buat kamu. Kita akan bantu kamu terus. Kamu pasti bisa berjalan lagi, percaya sama ibu."
      "Aku begini karena kakak, Bu. Kakak udah gak peduli sama aku. Dia cuma peduli sama teman-teman aku."
      "Ini musibah, sayang, bukan karena kakak. Kakak itu sangat peduli dan sayang sama kamu. Selama kamu belum sadar, kakak yang menjaga kamu dari sepulang sekolah sampai sekarang. Kakak gak mau digantikan oleh ibu untuk menjaga kamu. Kakak ingin dirinyalah menjadi orang pertama yang dilihat dan mengetahui keadaan kamu setelah sadar."
      Aku terdiam, mengingat sesuatu. Benar, baju yang Kak Reno pakai kemarin masih sama seperti yang kulihat tadi. Jadi Kak Reno? Ya Tuhan, ada apa dengan aku sebenarnya? Aku malah mengusir Kak Reno yang telah meluangkan waktunya untuk menjagaku sampai ia tak pulang ke rumah. Aku juga memarahi dan menuduhnya atas apa yang telah terjadi padaku. Padahal ini musibah, bukan karena dirinya seperti yang dikatakan oleh ibu.
      "Kamu jangan marah sama kakak lagi, ya? Kakak begitu karena ia seorang guru, sudah pasti ia perhatian dan peduli juga pada teman-teman kamu." Ibu melanjutkan bicaranya.
      "Aku salah ya, Bu?"
      "Nggak ada yang salah, sayang. Ini hanya salah paham. Ibu tahu kamu sayang sama kakak, tapi kamu harus mengerti kakak juga."
      Bodoh! Sudah pasti aku bersalah, masih saja bertanya. Kak Reno pasti sekarang sedih banget, karena aku telah bersikap seperti itu padanya. Selalu menuduh yang macam-macam, padahal itu tidak benar. Maafkan adikmu ini, Kak.