Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Usulan Kepala Daerah Dipilih DPRD, Mengkhianati Reformasi dan Rakyat?

16 Desember 2024   09:32 Diperbarui: 16 Desember 2024   09:32 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo Subianto (Kompas.com)

Wacana untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPR atau DPRD kembali mencuat setelah Presiden Prabowo Subianto mengemukakan ide ini pada perayaan ulang tahun Partai Golkar. Menurutnya, pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat dianggap mahal dan rumit, sehingga mungkin lebih baik jika dikembalikan ke mekanisme pemilihan melalui DPR dan DPRD. Namun, usulan ini bukanlah hal baru; wacana serupa telah bergulir sejak beberapa tahun terakhir, sering kali disuarakan dengan alasan serupa.

Mengingat Sistem Sebelumnya: Era Orde Baru

Pada masa Orde Baru, kepala daerah---baik gubernur, bupati, maupun wali kota---dipilih oleh DPRD. Sistem ini memberikan kekuasaan besar kepada partai politik dan anggota DPRD untuk menentukan siapa yang akan memimpin daerah. Namun, kenyataannya, sistem ini tidak bebas dari masalah.

Salah satu masalah terbesar adalah praktik jual beli suara. Para calon kepala daerah harus "membeli" dukungan anggota DPRD untuk memenangkan pemilihan, menciptakan hubungan transaksional yang koruptif. Setelah terpilih, kepala daerah cenderung lebih mengutamakan kepentingan anggota DPRD yang memilihnya dibandingkan mendengarkan aspirasi rakyat. Sistem ini juga mempersempit partisipasi publik dalam menentukan pemimpinnya, mengebiri demokrasi, dan memperbesar peluang terjadinya oligarki politik.

Mengapa Pemilihan Langsung Diterapkan?

Setelah reformasi 1998, Indonesia berkomitmen untuk memperluas ruang demokrasi dan memperbaiki sistem pemerintahan. Pemilihan langsung kepala daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai bentuk penghormatan terhadap kedaulatan rakyat.

Beberapa alasan utama mengapa pemilihan langsung diterapkan:

1. Meningkatkan Akuntabilitas Pemimpin: Kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat memiliki legitimasi lebih kuat dan merasa bertanggung jawab kepada konstituennya, bukan kepada segelintir elite politik.

2. Mengurangi Politik Transaksional: Dengan menghilangkan keterlibatan DPRD dalam pemilihan, risiko jual beli suara dapat diminimalkan.

3. Mendorong Partisipasi Publik: Pemilihan langsung memberikan ruang bagi rakyat untuk terlibat dalam menentukan masa depan daerah mereka.

Tantangan Pemilihan Langsung

Namun, pemilihan langsung bukan tanpa kekurangan. Salah satu masalah utama adalah tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh calon kepala daerah, baik untuk kampanye maupun "serangan fajar"---istilah untuk praktik membeli suara rakyat menjelang hari pemungutan suara. Praktik ini tidak hanya mencederai integritas demokrasi tetapi juga membuka peluang bagi munculnya kepala daerah yang korup untuk "mengembalikan modal".

Kembali ke DPRD: Solusi atau Masalah Baru?

Usulan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD sering kali dianggap sebagai langkah mundur. Berikut beberapa alasan mengapa usulan ini berpotensi menjadi masalah:

Menghidupkan Kembali Praktik Jual Beli Suara: Pengalaman di era Orde Baru menunjukkan bahwa pemilihan oleh DPRD sangat rentan terhadap transaksi politik.

Melemahkan Kedaulatan Rakyat: Mengembalikan pemilihan kepada DPRD sama saja dengan mencabut hak rakyat untuk menentukan pemimpinnya secara langsung.

Mengkhianati Semangat Reformasi: Reformasi 1998 berjuang untuk membangun demokrasi yang lebih terbuka dan partisipatif. Mengembalikan pemilihan ke DPRD bertentangan dengan semangat ini.

Apa yang Perlu Diperbaiki?

Meskipun pemilihan langsung memiliki kelemahan, solusi bukanlah menghapus sistem ini, melainkan memperbaikinya. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan:

1. Memperketat Pengawasan Pemilu: Lembaga seperti KPU dan Bawaslu harus lebih profesional dalam mengawasi proses pemilu dan memastikan tidak ada praktik suap atau politik uang.

2. Penegakan Hukum yang Tegas: Politikus yang terbukti melakukan kecurangan harus dihukum berat untuk memberikan efek jera.

3. Mengurangi Biaya Politik: Negara perlu menyediakan subsidi kampanye yang transparan untuk mengurangi beban calon kepala daerah, sekaligus mencegah politik uang.

4. Pendidikan Politik bagi Masyarakat: Kesadaran politik masyarakat harus ditingkatkan agar mereka tidak mudah terpengaruh oleh serangan fajar.

Jangan Khianati Reformasi

Mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD adalah langkah mundur yang tidak hanya mengkhianati semangat reformasi, tetapi juga merampas hak rakyat untuk menentukan pemimpinnya. Pemilihan langsung memang memiliki tantangan, tetapi dengan reformasi sistem dan penegakan hukum yang lebih tegas, masalah-masalah ini dapat diatasi tanpa harus mengorbankan demokrasi.

Rakyat Indonesia telah membayar mahal untuk reformasi 1998, dan hak mereka untuk memilih pemimpin secara langsung adalah salah satu buah manis dari perjuangan tersebut. Jangan biarkan semangat reformasi terkikis demi alasan pragmatis yang justru membuka jalan bagi kembalinya oligarki politik.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun